Liputan6.com, Washington, DC - Gencatan senjata yang diumumkan pada Rabu (15/1/2025) dan akan diberlakukan pada Minggu (19/1) di Jalur Gaza tidak diragukan lagi merupakan upaya yang didorong oleh Amerika Serikat (AS), bersama dengan Qatar dan Mesir.
Namun, dengan AS yang sedang dalam periode transisi dan hanya beberapa hari menjelang pelantikan presiden baru, pemerintahan mana yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan kesepakatan ini?
Advertisement
Baca Juga
Presiden terpilih Donald Trump dengan cepat bersikeras bahwa timnya yang mengamankan kesepakatan tersebut.
Advertisement
"Kesepakatan gencatan senjata yang LUAR BIASA ini hanya bisa tercapai berkat kemenangan bersejarah kami pada bulan November, yang memberi sinyal kepada dunia bahwa pemerintahan saya akan mengutamakan perdamaian dan merundingkan kesepakatan untuk memastikan keselamatan semua warga AS dan sekutu-sekutu kami," tulis Trump di platform TruthSocial.
"Tim Keamanan Nasional saya, dengan bantuan Utusan Khusus untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, akan terus bekerja sama dengan Israel dan sekutu-sekutu kami untuk memastikan Gaza tidak lagi menjadi tempat persembunyian teroris. Kami akan terus mempromosikan perdamaian melalui kekuatan di seluruh kawasan."
Witkoff memang termasuk yang pertama kali dipuji karena telah mengamankan kesepakatan tersebut oleh Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, pada Rabu, sebelum dia mengucapkan terima kasih kepada Utusan Timur Tengah Presiden Joe Biden, Brett McGurk. Demikian seperti dikutip dari Middle East Eye, Kamis (16/1).
Haaretz melaporkan minggu lalu bahwa Witkoff muncul pada hari Sabat di kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu – sebuah langkah yang sangat tidak biasa – untuk mendesak Netanyahu menandatangani kesepakatan gencatan senjata.
Sejumlah diplomat Arab kemudian mengungkapkan bahwa tim Trump berhasil memberi tekanan pada Israel dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh Biden atau mungkin tidak mampu dilakukan sama sekali.
Sebelumnya, Trump memperingatkan bahwa akan ada "konsekuensi mahal yang harus dibayar" jika kesepakatan untuk membebaskan semua sandera Israel yang ditahan oleh kelompok bersenjata di Jalur Gaza tidak tercapai sebelum pelantikannya pada 20 Januari. Kesepakatan yang baru saja ditandatangani ini memastikan pembebasan semua sandera Israel yang bukan kombatan laki-laki.
Klaim Biden
Presiden Joe Biden, bersama dengan wakil presiden dan menteri luar negerinya, mengeluarkan pernyataan bahwa kesepakatan gencatan senjata ini dibangun atas dasar proposal yang diajukan oleh pemerintahannya pada 31 Mei.
Namun, tanpa memberikan tekanan pada Israel, proposal tersebut tidak membuahkan hasil, dan sejak saat itu, 20.000 orang Palestina telah tewas.
Seorang pejabat senior pemerintahan Biden mengatakan kepada wartawan pada Rabu bahwa utusan Timur Tengah yang baru dan lama bekerja sama untuk mewujudkan kesepakatan ini, dengan Witkoff menangani pihak Israel dan McGurk berurusan dengan mediator lainnya. Ini digambarkan sebagai "kemitraan yang sangat produktif dan belum pernah terjadi sebelumnya."
"Ini luar biasa dan menunjukkan apa yang bisa dicapai ketika negara ini memiliki tujuan yang sama," tutur pejabat tersebut.
Biden juga mengungkapkan, "Bagi Anda yang mengikuti negosiasi ini, Anda tahu bahwa jalan menuju kesepakatan ini tidak mudah."
"Saya telah berpengalaman di kebijakan luar negeri selama beberapa dekade. Ini adalah salah satu negosiasi tersulit yang pernah saya alami dan kami mencapai titik ini karena tekanan yang diberikan Israel terhadap Hamas, didukung oleh AS," sebut Biden.
Biden menegaskan bahwa pemerintahannya telah meletakkan dasar bagi tujuan utama kebijakan luar negeri mereka sebelum serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023, yakni "normalisasi dan integrasi Israel dengan semua negara Arab, termasuk Arab Saudi."
Proses normalisasi ini sendiri dimulai oleh Trump pada tahun 2020 melalui Kesepakatan Abraham.
Menanggapi pertanyaan dari wartawan di akhir pernyataannya mengenai siapa yang seharusnya mendapat kredit atas kesepakatan gencatan senjata ini, Biden dengan ringan menjawab, "Apakah itu lelucon?"
Di sisi lain, Netanyahu menelepon kedua presiden pada Rabu untuk mengucapkan terima kasih atas "bantuan" mereka dan menyatakan bahwa dia akan segera pergi ke Washington.
Advertisement
Reaksi Hamas dan Dunia
Pemimpin sementara Hamas, Khalil al-Hayya, menyatakan bahwa Israel akhirnya mengalami perang kelelahan dan gagal mencapai tujuannya.
"Atas nama semua korban, setiap tetes darah yang tertumpah, dan setiap air mata rasa sakit dan penindasan, kami katakan: Kami tidak akan melupakan, dan kami tidak akan memaafkan," tegas Hayya.
Reaksi global datang dari Qatar, tempat di mana putaran negosiasi Hamas dan Israel terakhir dilakukan. Qatar menyatakan akan menjadi penjamin kesepakatan gencatan senjata bersama Mesir dan AS.
"Para mediator akan bekerja sama untuk memastikan pihak-pihak melaksanakan kewajiban mereka dalam kesepakatan dan bahwa ketiga tahap tersebut dilanjutkan dengan penuh," kata Kementerian Luar Negeri Qatar.
Mereka juga akan bekerja sama dengan PBB, penyedia bantuan lainnya, dan mitra global untuk mendukung peningkatan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dengan cepat dan berkelanjutan. Qatar mengajak negara-negara lain untuk bergabung dan mendukung upaya ini.
Yordania dan Arab Saudi juga menyatakan dukungan mereka terhadap kesepakatan ini. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pernyataannya di X, memberikan penghormatan kepada "rakyat Gaza yang heroik dan putra-putra berani yang dengan gagah berani membela tanah mereka."
Erdogan menegaskan, "Kami tidak akan pernah meninggalkan saudara-saudara Palestina kami dalam perjuangan mereka melawan penindasan dan tirani. Insyaallah, kami akan terus berdiri di sisi rakyat Gaza dan menggunakan semua sumber daya kami untuk membantu Gaza menyembuhkan lukanya dan bangkit kembali."
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyoroti keberhasilan pembebasan para sandera Israel yang kini bisa kembali ke keluarga mereka setelah kondisi yang sangat sulit.
"Namun, kita juga harus memberi penghormatan kepada mereka yang tidak akan pulang, termasuk warga Inggris yang dibunuh oleh Hamas. Kami akan terus berduka dan mengenang mereka," katanya.
Starmer juga menyerukan pembentukan "Negara Palestina yang berdaulat dan layak" berdampingan dengan Israel sebagai bagian dari solusi dua negara.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan tidak ada pembenaran atas penderitaan yang dialami semua korban.
"Setelah 15 bulan penderitaan yang tidak terbayangkan, ada kelegaan besar bagi rakyat Jalur Gaza dan harapan bagi para sandera dan keluarga mereka," ujarnya. "Para sandera harus dibebaskan. Rakyat Gaza harus diselamatkan. Solusi politik harus ditemukan."
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan masih ada "pekerjaan yang harus dilakukan, namun perkembangan terakhir memunculkan harapan."
"Kami akan mendukung setiap upaya untuk melihat (kesepakatan) ini dilaksanakan," ujar Macron. "Kami mendesak pihak-pihak untuk bertindak segera. Semua sandera harus dikembalikan ke rumah. Kekerasan dan penderitaan yang mengerikan harus berakhir. Bencana kemanusiaan di Jalur Gaza harus berakhir."
Presiden Kolombia yang dikenal sebagai suara vokal pro-Palestina, Gustavo Petro, menyebut kesepakatan ini sebagai "berita baik bagi umat manusia."
"Kolombia siap mengirim tim medis ke Gaza untuk merawat anak-anak yang terluka, dan juga akan menawarkan layanan medis di Kolombia," tulisnya di X.