Liputan6.com, Las Vegas - Pada 8 Maret 1972, sejarah mencatat sebuah ledakan bom mengguncang pesawat Boeing 707 milik Trans World Airlines (TWA) yang tengah terparkir di landasan Bandara Las Vegas. Insiden ini tidak menelan korban jiwa, namun ledakan tersebut menghancurkan bagian kokpit pesawat yang dalam keadaan kosong saat kejadian berlangsung.
Beberapa jam sebelum ledakan terjadi, seorang penelepon anonim mengancam akan melakukan serangkaian serangan bom terhadap TWA. Pelaku menuntut uang tebusan sebesar £760.000 atau sekitar Rp15 miliar agar serangan dapat dihentikan.
Advertisement
Berdasarkan laporan yang dikutip dari BBC On This Day Sabtu, (8/3/2025) ancaman pertama diterima oleh petugas bandara di Bandara Kennedy, New York. Penelepon mengarahkan mereka ke sebuah loker yang berisi catatan tertulis. Dalam pesan tersebut, pelaku mengancam akan meledakkan empat pesawat TWA dengan jeda enam jam di antara masing-masing ledakan.
Advertisement
Anjing pelacak berhasil menemukan sebuah bom di dalam salah satu pesawat TWA di Bandara New York, hanya 12 menit sebelum bom itu dijadwalkan meledak. Bom tersebut terdiri dari 3 pon (1,36 kg) bahan peledak plastik dan sebuah perangkat waktu. Benda berbahaya itu ditemukan di dalam sebuah koper bertanda "crew" yang diletakkan di kokpit.
Beberapa jam setelahnya, polisi memeriksa pesawat TWA kedua di bandara yang sama, tetapi tidak menemukan bahan peledak.
Pesawat yang akhirnya meledak di Las Vegas telah diperiksa secara menyeluruh sebelum meninggalkan New York setelah penemuan bom pertama. Pesawat tersebut hanya membawa 10 penumpang dalam penerbangan menuju Las Vegas dan kembali diperiksa setibanya di sana. Setelah itu, pesawat ditempatkan di bawah penjagaan bersenjata sebelum akhirnya meledak tujuh jam kemudian.
Ledakan tersebut menghamburkan puing-puing hingga lebih dari 100 kaki sekitar 30 meter, tetapi dua petugas keamanan yang berjaga berhasil selamat tanpa cedera. Salah satu dari mereka mengatakan, "Ledakannya terdengar seperti dinamit. Saya melihat potongan pesawat berterbangan di udara."
Departemen Keamanan di International Air Transport Association atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional menduga bahwa lima orang yang memegang paspor Timur Tengah mungkin terlibat dalam insiden ini.
Menyusul ancaman bom ini, TWA memerintahkan pemeriksaan ketat terhadap seluruh 240 pesawatnya di seluruh dunia.
Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, menegaskan bahwa pemerintah akan mengerahkan segala sumber daya untuk mengatasi ancaman ini hingga benar-benar dihentikan.
TWA tidak pernah menyerahkan uang tebusan yang diminta oleh penelepon anonim. Setelah ancaman tersebut, pemerintahan Nixon mempertimbangkan untuk mengajukan kebijakan pelarangan bagi maskapai penerbangan dalam membayar uang tebusan kepada pembajak dan pemeras.
Pada April 1972, dua ancaman bom lainnya ditujukan kepada TWA di Eropa, tetapi tidak ada insiden yang terjadi. Setelah itu, tidak ada lagi ancaman serupa yang diterima oleh maskapai tersebut.
TWA kemudian mengalami kebangkrutan pada 2001 dan diambil alih oleh American Airlines.