Mungkin Pemerintah Republik Indonesia (RI) tak pernah menyangka dan tak berniat untuk mengingatkan kembali perseteruan tanah air dengan Singapura pada tahun 1960-an. Kala itu, Singapura masih menjadi bagian Malaysia.
Ketegangan antara Indonesia dan Singapura pada zaman Orde Lama kini terngiang kembali. Penamaan Kapal Militer TNI AL RI (KRI) Usman-Harun menimbulkan sengketa kecil dalam hubungan kedua negara. Usman dan Harun adalah 2 pahlawan RI yang merupakan anggota Korps Komando AL -- kini bernama Marinir TNI AL.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Singapura K Shanmugam memprotes nama KRI Usman-Harun. Dia menilai, penamaan itu menyinggung perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban bom.
"Singapura mempertimbangkan bagian tersulit seperti ini layaknya ketika Perdana Menteri Lee Kuan Yew berziarah ke makam Usman dan Harun," juru bicara (jubir) Departemen Luar Negeri menyampaikan apa yang dibicarakan Menlu K Shanmugam, seperti dimuat Straits Times, 6 Februari 2014.
Jubir Menlu Singapura menambahkan, Menlu K Shanmugam sudah berbicara dengan Menlu RI Marty Natalegawa atas protes tersebut.
Dalam Straits Times, disebutkan Usman dan Harun diperintahkan pemerintah RI yang dipimpin Sukarno untuk melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Singapura, kala itu, merupakan bagian dari Malaysia.
Konfrontasi yang dikenal dengan slogan 'Ganyang Malaysia' itu dilakukan sebagai bentuk penolakan atas masuknya Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia, yang menurut Sukarno, bisa membuat Malaysia menjadi boneka Inggris.
Usman dan Harun kemudian melakukan pengeboman di MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 10 Maret 1965 yang menewaskan 3 orang dan melukai 33 orang.
[Baca: Sosok Usman dan Harun di Balik Ketegangan RI-Singapura]
'Cukup' Mencatat!
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pun angkat bicara. Dia menyatakan pemerintah RI telah menerima dan mencatat dengan cermat apa yang disampaikan Menlu K Shanmugam.
"Mereka menyampaikan rasa keprihatinan mengenai penamaan kapal perang yang dimaksud. Dan kami sudah mencatat keprihatinan itu," ujar Marty di Gedung DPR, Jakarta, 6 Februari 2014.
Lalu apakah Pemerintah Indonesia bakal mengganti nama kapal tersebut? "Kenapa harus seperti itu, kita cukup mencatat keprihatinan dari pemerintah Singapura. Saya rasa demikian," tegas Marty.
Marty menambahkan, dirinya telah berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto dan TNI Angkatan Laut. Menurutnya, masalah ini sudah selesai.
"Saya sudah berkoordinasi dengan bapak Menkopolhukam mengenai adanya indikasi penyampaian keprihatinan pemerintahan Singapura dan ini secara informal sudah disampaikan kepada kami, saya sampaikan semata kepada pihak Singapura, kita mencatat keprihatinan tersebut dan saya kira masalah ini sudah selesai," jelas Marty.
[Baca: Penamaan Usman-Harun Sesuai Prosedur, RI Tak Perlu Menjelaskan]
Djoko Suyanto pun menyayangkan protes Singapura atas penamaan KRI Usman Harun. Dia menilai, Singapura, seharusnya mengerti bila ada perbedaan persepsi dan kebijakan tentang penamaan pahlawan pada masing-masing negara. Apalagi, pemberian nama itu sudah dipertimbangkan sesuai bobot pengabdian 2 tokoh pahlawan itu.
"Bahwa ada persepsi yang berbeda terhadap policy pemerintah RI oleh negara lain (Singapura), tidak boleh menjadikan kita surut dan gamang untuk tetap melanjutkan policy itu dan memberlakukannya," ujar Djoko Suyanto di Jakarta, 6 Februari.
Djoko menegaskan, pemerintah Indonesia memiliki tatanan, aturan, prosedur dan kriteria penilaian sendiri untuk menentukan seseorang mendapat kehormatan sebagai pahlawan. Karena itu, tak boleh ada intervensi dari negara lain.
"Tentu pertimbangan tersebut dinilai sesuai dengan bobot pengabdian dan pengorbanan mereka-mereka yang 'deserve' untuk mendapatkan kehormatan dan gelar itu," tegas Djoko.
Singapura Dinilai Buta Sejarah
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menilai Singapura buta sejarah karena memprotes penamaan Usman dan Harun untuk KRI.
"Singapura lebih buta lagi pada sejarah negara tetangganya yang terdekat ini. Saya rasa keberatan itu tidak perlu kita gubris," tegas Hajriyanto di Jakarta, Jumat 7 Februari.
Menurut dia, kebutaan Singapura karena tidak tahu bahwa Usman dan Harun merupakan pahlawan nasional Indonesia. Ia menilai penolakan atas nama Usman-Harun yang dilancarkan tak sebanding dengan yang pernah dilakukan, ketika Singapura mengeksekusi 2 prajurit itu.
"Singapura itu memang kebangetan kebutaannya kalau sampai tidak tahu bahwa Usman dan Harun itu pahlawan nasional Indonesia. Singapura itu sudah bertindak terlalu berlebihan dan tidak berperasaan telah menghukum gantung 2 prajurit KKO itu," paparnya.
Politisi Golkar ini menyarankan agar pemerintah Indonesia tak pusing memikirkan penolakan Singapura. Bahkan, bila perlu dibuat kembali kapal dengan penamaan yang sama.
"Bahkan kalau perlu kita buat lagi Kapal Perang yang lebih besar dan lebih canggih lagi dan kita namakan KRI Usman-Harun II," ujar Hajriyanto.
Anggota Komisi I DPR bidang Pertahanan, Nuning Susaningtyas melihat diplomasi 2 negara tersebut tak akan terpengaruh. Indonesia harus menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.
"Saya rasa tidak akan menganggu hubungan diplomasi kita. Mereka punya sejarah bangsa, kita juga punya. Kita harus tunjukan wibawa sebagai bangsa berdaulat," kata Nuning di Jakarta, 7 Februari.
Menurut Nuning, Indonesia harus berpegang pada pendiriannya dan tidak mengubah nama dari kapal tersebut. Sebab, Indonesia merupakan negara berdaulat yang berdiri sama tinggi dengan Singapura.
"Yang jelas kita harus teguh pada pendirian termasuk dalam memberi nama KRI sebagai negara yang berdaulat. Saya yakin TNI AL sudah lakukan riset dan uji sejarah untuk memilih nama," terang politisi Hanura tersebut.
Belum ada tanggapan terbaru dari pihak Singapura atas langkah pemerintah RI selanjutnya. Yang pasti, Indonesia akan tetap menggunakan nama KRI Usman-Harun.
Pahlawan atau Teroris?
Nama Usman dan Harun harum di Indonesia, tapi mungkin dibenci di Singapura. Usman dan Harun pahlawan Indonesia, namun disebut teroris di Singapura.
'
Usman dan Harun ditangkap 3 hari kemudian setelah pengeboman, tepatnya pada 13 Maret 1965 di tengah laut, setelah terlihat oleh polisi yang sedang berpatroli laut Singapura. Saat ditangkap, keduanya tidak memakai seragam tentara sehingga tidak disidang sebagai tahanan perang.
Upaya pemerintah Indonesia membebaskan Usman dan Harun gagal. Dan pada akhirnya Usman Harun dinyatakan bersalah atas dakwaan melakukan aksi terorisme. Keduanya dieksekusi mati oleh Singapura pada 17 Oktober 1968, dengan cara dihukum gantung. Jenazah keduanya dikembalikan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Sejak itu, hubungan Indonesia dan Singapura semakin memanas. Hubungan mereda saat PM Singapura kala itu, Lee Kuan Yew menabur bunga di pusara Usman dan Harun di TMP Kalibata, pada tahun 1973 saat melawat ke Jakarta. Ziarah PM Lee itu dilakukan atas permintaan Presiden Soeharto. [Baca:Â Menkopolhukam: PM Lee Sudah Menabur Bunga di Makam Usman Harun]
Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Rl No.050ATK/Tahun 1968, Usman dan Harun diganjar penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. (Riz)
Baca juga:
Bapak Bangsa Singapura, Patung Raffles, dan Komunisme (1)
Lee Kuan Yew: Menikah Diam-diam Sampai Memerdekakan Singapura (2)
Lee Kuan Yew: Alergi Kritik Tapi Singapura Minim Korupsi (3)
Lee Kuan Yew: `Dipaksa` Kunjungi Makam Prajurit Indonesia (4)
Ketegangan antara Indonesia dan Singapura pada zaman Orde Lama kini terngiang kembali. Penamaan Kapal Militer TNI AL RI (KRI) Usman-Harun menimbulkan sengketa kecil dalam hubungan kedua negara. Usman dan Harun adalah 2 pahlawan RI yang merupakan anggota Korps Komando AL -- kini bernama Marinir TNI AL.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Singapura K Shanmugam memprotes nama KRI Usman-Harun. Dia menilai, penamaan itu menyinggung perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban bom.
"Singapura mempertimbangkan bagian tersulit seperti ini layaknya ketika Perdana Menteri Lee Kuan Yew berziarah ke makam Usman dan Harun," juru bicara (jubir) Departemen Luar Negeri menyampaikan apa yang dibicarakan Menlu K Shanmugam, seperti dimuat Straits Times, 6 Februari 2014.
Jubir Menlu Singapura menambahkan, Menlu K Shanmugam sudah berbicara dengan Menlu RI Marty Natalegawa atas protes tersebut.
Dalam Straits Times, disebutkan Usman dan Harun diperintahkan pemerintah RI yang dipimpin Sukarno untuk melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Singapura, kala itu, merupakan bagian dari Malaysia.
Konfrontasi yang dikenal dengan slogan 'Ganyang Malaysia' itu dilakukan sebagai bentuk penolakan atas masuknya Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia, yang menurut Sukarno, bisa membuat Malaysia menjadi boneka Inggris.
Usman dan Harun kemudian melakukan pengeboman di MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 10 Maret 1965 yang menewaskan 3 orang dan melukai 33 orang.
[Baca: Sosok Usman dan Harun di Balik Ketegangan RI-Singapura]
'Cukup' Mencatat!
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pun angkat bicara. Dia menyatakan pemerintah RI telah menerima dan mencatat dengan cermat apa yang disampaikan Menlu K Shanmugam.
"Mereka menyampaikan rasa keprihatinan mengenai penamaan kapal perang yang dimaksud. Dan kami sudah mencatat keprihatinan itu," ujar Marty di Gedung DPR, Jakarta, 6 Februari 2014.
Lalu apakah Pemerintah Indonesia bakal mengganti nama kapal tersebut? "Kenapa harus seperti itu, kita cukup mencatat keprihatinan dari pemerintah Singapura. Saya rasa demikian," tegas Marty.
Marty menambahkan, dirinya telah berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto dan TNI Angkatan Laut. Menurutnya, masalah ini sudah selesai.
"Saya sudah berkoordinasi dengan bapak Menkopolhukam mengenai adanya indikasi penyampaian keprihatinan pemerintahan Singapura dan ini secara informal sudah disampaikan kepada kami, saya sampaikan semata kepada pihak Singapura, kita mencatat keprihatinan tersebut dan saya kira masalah ini sudah selesai," jelas Marty.
[Baca: Penamaan Usman-Harun Sesuai Prosedur, RI Tak Perlu Menjelaskan]
Djoko Suyanto pun menyayangkan protes Singapura atas penamaan KRI Usman Harun. Dia menilai, Singapura, seharusnya mengerti bila ada perbedaan persepsi dan kebijakan tentang penamaan pahlawan pada masing-masing negara. Apalagi, pemberian nama itu sudah dipertimbangkan sesuai bobot pengabdian 2 tokoh pahlawan itu.
"Bahwa ada persepsi yang berbeda terhadap policy pemerintah RI oleh negara lain (Singapura), tidak boleh menjadikan kita surut dan gamang untuk tetap melanjutkan policy itu dan memberlakukannya," ujar Djoko Suyanto di Jakarta, 6 Februari.
Djoko menegaskan, pemerintah Indonesia memiliki tatanan, aturan, prosedur dan kriteria penilaian sendiri untuk menentukan seseorang mendapat kehormatan sebagai pahlawan. Karena itu, tak boleh ada intervensi dari negara lain.
"Tentu pertimbangan tersebut dinilai sesuai dengan bobot pengabdian dan pengorbanan mereka-mereka yang 'deserve' untuk mendapatkan kehormatan dan gelar itu," tegas Djoko.
Singapura Dinilai Buta Sejarah
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menilai Singapura buta sejarah karena memprotes penamaan Usman dan Harun untuk KRI.
"Singapura lebih buta lagi pada sejarah negara tetangganya yang terdekat ini. Saya rasa keberatan itu tidak perlu kita gubris," tegas Hajriyanto di Jakarta, Jumat 7 Februari.
Menurut dia, kebutaan Singapura karena tidak tahu bahwa Usman dan Harun merupakan pahlawan nasional Indonesia. Ia menilai penolakan atas nama Usman-Harun yang dilancarkan tak sebanding dengan yang pernah dilakukan, ketika Singapura mengeksekusi 2 prajurit itu.
"Singapura itu memang kebangetan kebutaannya kalau sampai tidak tahu bahwa Usman dan Harun itu pahlawan nasional Indonesia. Singapura itu sudah bertindak terlalu berlebihan dan tidak berperasaan telah menghukum gantung 2 prajurit KKO itu," paparnya.
Politisi Golkar ini menyarankan agar pemerintah Indonesia tak pusing memikirkan penolakan Singapura. Bahkan, bila perlu dibuat kembali kapal dengan penamaan yang sama.
"Bahkan kalau perlu kita buat lagi Kapal Perang yang lebih besar dan lebih canggih lagi dan kita namakan KRI Usman-Harun II," ujar Hajriyanto.
Anggota Komisi I DPR bidang Pertahanan, Nuning Susaningtyas melihat diplomasi 2 negara tersebut tak akan terpengaruh. Indonesia harus menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.
"Saya rasa tidak akan menganggu hubungan diplomasi kita. Mereka punya sejarah bangsa, kita juga punya. Kita harus tunjukan wibawa sebagai bangsa berdaulat," kata Nuning di Jakarta, 7 Februari.
Menurut Nuning, Indonesia harus berpegang pada pendiriannya dan tidak mengubah nama dari kapal tersebut. Sebab, Indonesia merupakan negara berdaulat yang berdiri sama tinggi dengan Singapura.
"Yang jelas kita harus teguh pada pendirian termasuk dalam memberi nama KRI sebagai negara yang berdaulat. Saya yakin TNI AL sudah lakukan riset dan uji sejarah untuk memilih nama," terang politisi Hanura tersebut.
Belum ada tanggapan terbaru dari pihak Singapura atas langkah pemerintah RI selanjutnya. Yang pasti, Indonesia akan tetap menggunakan nama KRI Usman-Harun.
Pahlawan atau Teroris?
Nama Usman dan Harun harum di Indonesia, tapi mungkin dibenci di Singapura. Usman dan Harun pahlawan Indonesia, namun disebut teroris di Singapura.
'
Usman dan Harun ditangkap 3 hari kemudian setelah pengeboman, tepatnya pada 13 Maret 1965 di tengah laut, setelah terlihat oleh polisi yang sedang berpatroli laut Singapura. Saat ditangkap, keduanya tidak memakai seragam tentara sehingga tidak disidang sebagai tahanan perang.
Upaya pemerintah Indonesia membebaskan Usman dan Harun gagal. Dan pada akhirnya Usman Harun dinyatakan bersalah atas dakwaan melakukan aksi terorisme. Keduanya dieksekusi mati oleh Singapura pada 17 Oktober 1968, dengan cara dihukum gantung. Jenazah keduanya dikembalikan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Sejak itu, hubungan Indonesia dan Singapura semakin memanas. Hubungan mereda saat PM Singapura kala itu, Lee Kuan Yew menabur bunga di pusara Usman dan Harun di TMP Kalibata, pada tahun 1973 saat melawat ke Jakarta. Ziarah PM Lee itu dilakukan atas permintaan Presiden Soeharto. [Baca:Â Menkopolhukam: PM Lee Sudah Menabur Bunga di Makam Usman Harun]
Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Rl No.050ATK/Tahun 1968, Usman dan Harun diganjar penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. (Riz)
Baca juga:
Bapak Bangsa Singapura, Patung Raffles, dan Komunisme (1)
Lee Kuan Yew: Menikah Diam-diam Sampai Memerdekakan Singapura (2)
Lee Kuan Yew: Alergi Kritik Tapi Singapura Minim Korupsi (3)
Lee Kuan Yew: `Dipaksa` Kunjungi Makam Prajurit Indonesia (4)