RS Tolak Kerjasama BPJS, Kurang Sosialisasi Atau Tenaga Medis yang Cuek?

"Jamkesmas pakai InaCBGs sejak tiga tahun lalu. Tapi apa yang terjadi? Kenapa nggak semua dokter tahu?," kata Dirjen Kemenkes RI

oleh Fitri Syarifah diperbarui 13 Mar 2014, 16:30 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2014, 16:30 WIB
peserta-bpjs-140219a.jpg

Liputan6.com, Jakarta Pola tarif paket atau dikenal dengan INaCBGs (INdonesia Case Base Group) yang merupakan sistem baru pada pembayaran pasien di RS, akhir-akhir ini memang jadi pusat perhatian. Alasannya, selain tarifnya dinilai terlalu kecil untuk rata-rata penyakit yang dialami pasien, sistem ini membuat tenaga medis masih melihat sebelah mata karena khawatir merugi. 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Akmal Taher, Sp.U(K) pun menerangkan bahwa proses sosialisai pola tarif paket bukan baru kali ini dikenalkan di Rumah Sakit. Menurutnya, sejak program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang ditetapkan pemerintah tiga tahun lalu, tarif paket sudah dijalankan di beberapa Rumah Sakit.

"Jamkesmas pakai InaCBGs sejak tiga tahun lalu. Tapi apa yang terjadi? Kenapa nggak semua dokter tahu? dulu itu masih dianggap sebagian kecil dari atensi mereka. Itu bukan sosialisasi namanya? 1.200 Rumah Sakit dengan InaCBGs dulu nggak ada yg ribut," tegas Akmal saat temu media Evaluasi 3 Bulan JKN di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, ditulis Kamis (13/3/2014).

Akmal menilai, saat Jamkesmas masih berlaku, manajemen Rumah Sakit masih bisa melakukan subsidi silang ke pasien lain karena sistem pembayran masih fee for service (setiap jasa atau alat dikenakan biaya). Sekarang, dengan pola tarif paket tidak bisa seperti itu.

"Sekarang mereka harus menanggung 112 juta peserta BPJS yang baru berjalan beberapa bulan, mereka baru perhatian. Jadi bukan masalah sosialisasi tapi sistem ini memang nggak sederhana karena mendorong RS untuk melakukan remunerasi. Tapi sistem ini jauh lebih sehat, maka itu perlu ada perubahan pola pikir," ujarnya.

Yang perlu diketahui, lanjut Akmal, adalah mengapa ada kelemahan atau kerugian di Rumah Sakit sementara di beberapa Rumah Sakit lain bisa untung.

"Kenapa ada kelemahan? Kita kumpul data selama satu bulan dari 1 Januari 31 Januari dari 13 RS ada 9 RS yang untung (surplus). Tapi ini roda tarif jadi belum tentu akan seperti ini terus kedepannya. Untuk itu kita tidak bisa klaim ini data paling bagus," terangnya.

Menambah penyataan dari Kementerian Kesehatan, Wakil Ketua National Casemix Center Achmad Soebagio menyampaikan, kedepannya akan ada perbaikan tarif."Revisi tarif diharapkan akhir bulan ini selesai per 1 april dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)".

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya