Perjalanan Panjang Ari si Kulit Ular Mencari Kesembuhan

Perjalanan pengobatan Ari si Kulit Ular sungguh panjang. Berbagai cara telah dilakukan demi kesembuhan Ari, meskipun belum ada hasilnya.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 29 Sep 2014, 07:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2014, 07:00 WIB
Ari Wibowo, Remaja Berkulit Ular
osok Ari Wibowo, remaja 16 tahun asal Tangerang sedang jadi sorotan dunia. Dia menderita kelainan kulit sejak lahir, bersisik mirip kulit ular. (Foto : Benedikta Desideria)

Liputan6.com, Jakarta Hati siapa yang tidak terenyuh melihat Ari Wibowo, remaja berusia 16 tahun asal Pondok Pucung, Tangerang. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, kulitnya nampak bersisik dan mengelupas seperti ular. Kondisi semacam ini membuat Ari dijuluki Ari si Kulit Ular. Keluarga telah mencoba beragam cara demi kesembuhan Ari, mulai dari pengobatan medis biasa hingga pengobatan altenatif. Sayang, hasilnya nihil.

Kondisi kelainan kulit tersebut diketahui sesaat setelah Ari dilahirkan pada tahun 1997 lewat operasi caesar di Rumah Sakit Muhammadiyah, Kebayoran Baru, Jakarta. Menurut tante Ari, Eva, kondisi kulit Ari saat itu sangat merah, berbeda dengan keadaan anak lain yang baru lahir, ungkapnya kepada Health-Liputan6.com pada Jumat (26/9/2014).

Karena kondisi Ari berbeda dengan bayi pada umumnya, pihak RS Muhammadiyah segera merujuk agar Ari dibawa ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, untuk ditangani dokter spesialis.

“Di Harapan Kita dulu dirawat selama satu bulan lima hari lah,” terang Sarpan, kakek Ari saat ditemui di kediamannya di Jalan Palem Indah, Pondok Aren, Tangerang.

Menurut Sarpan, dokter menyatakan bahwa Ari tak bisa disembuhkan. “Dokter bilang ini bawaan lahir, jadi gak bisa disembuhin,” terang Sarpan.

Ketika Ari lahir, belum ada jaminan kesehatan ataupun asuransi untuk kaum tidak mampu. Alhasil, untuk membayar biaya rumah sakit sekitar tiga juta rupiah keluarga Ari mengupayakan beragam cara. Ayah Ari yang bekerja sebagai tukang ojek dibantu pihak keluarga pun akhirnya berupaya berbagai cari membayar dari mulai menjual televisi hitam putih satu-satunya hingga kambing.

Meski tak bisa disembuhkan, untuk mengurangi kulit tubuh Ari yang keras dokter meminta untuk menggunakan salep. “Dikasih salep harganya satu juta yang cuma bisa buat dua hari,” terang Sarpan.

Mahalnya biaya obat kala itu membuat keluarga memutuskan untuk membeli salep dengan harga yang  murah. Terdiri dari salep kulit, juga obat tetes mata dan telinga.

Bantuan medis dan alternatif



Bantuan Medis dan Alternatif Datang

Mahalnya biaya salep membuat keluarga berniat mencari pertolongan. Sarpan, kakek Ari akhirnya menuliskan kisah Ari si kulit ular di salah satu media massa pada sekitar tahun 2005. Tak disangka respon yang muncul cukup besar. Banyak stasiun televisi skala nasional datang meliput sehingga pemberitaan tentang Ari menyebar.

Pihak RSUD Tangerang yang mendengar informasi ini langsung menuju ke rumah Ari untuk membawanya ke rumah sakit dan merawatnya. Selama 12 hari Ari dirawat gratis oleh dokter spesialis kulit. Namun sayang, dokter pun angkat tangan tak bisa menyembuhkan. “Hasilnya sama aja kayak dulu, dokter bilang ini bawaan lahir, sehingga tak bisa disembuhkan namun tak menular,” terang Sarpan.

Tak hanya pihak medis yang ingin menolong Ari si kulit ular, ‘orang pintar’ dengan pengobatan alternatif pun banyak yang datang untuk mencoba menyembuhkan. Tidak hanya berasal dari kawasan Jabodetabek, tetapi juga hingga Surabaya. Namun lagi-lagi hasilnya sama, tak bisa disembuhkan.

Bahkan, Ari pun pernah dibawa sang kakek ke Bali untuk bertemu 'orang pintar' lainnya. Namun angkat tangan juga, tak mampu menangani ini.

Akhirnya, pihak keluarga pun menerima bahwa kelainan kulit di tubuh Ari tak bisa disembuhkan. “Ya gimana, kita udah usaha. Tapi semua bilang tak bisa sembuh,” ujar Sarpan.

Kini, yang mampu dilakukan oleh keluarga hanyalah membelikan salep untuk dioleskan ke seluruh tubuh Ari agar kulitnya tak mengeras sehingga tubuhnya tak kaku dan mampu melakukan aktivitas normal.

Selain itu, keluarga Ari pun berharap pemerintah bisa membantu mereka. “Buat beli salepnya nggak murah, sebulan bisa habis dua juta,” terang sang nenek, Masnah yang sehari-hari berjualan di toko kelontong kecil depan rumahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya