Indonesia Minim Dokter Spesialis Hewan Laboratorium

Indonesia kekurangan tenaga dokter spesialis hewan laboratorium bersertifikat

oleh Liputan6 diperbarui 01 Apr 2015, 20:00 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2015, 20:00 WIB
Vaksin Rabies, Seberapa Pentingya Bagi Kesehatan Anjing?
Dokter hewan rekomendasikan vaksin rabies dilakukan setahun sekali. (www.petconnection.com)

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB Prof Dr drh Dondin Sajuthi mengatakan Indonesia kekurangan tenaga dokter spesialis hewan laboratorium bersertifikat sekalipun kebutuhan akan bidang keilmuan tersebut sangat penting dalam penelitian bidang pengobatan dan keilmuan lainnya.

"Di Indonesia itu dokter spesialis hewan laboratorium belum ada. Baru juga ada satu yang sudah bersertifikat saat ini sedang studi di Amerika," kata Prof Dondin dalam orasi ilmiah guru besar IPB di Kampus Dramaga, Kabupaten Bogor, Sabtu.

Menurutnya, belum adanya spesialis hewan laboratorium di Indonesia karena beberapa tenaga ahlinya lebih memilih berkarir di luar negeri yang memiliki jaminan kerja tinggi dengan gaji mencapai 100.000 USD per bulannya.

Ia mengatakan profesi dokter hewan khusus hewan laboratorium sangat dibutuhkan oleh para peneliti, karena penelitian bidang biomedis dan biosains kebanyakan menggunakan hewan-hewan laboratorium, sehingga para peneliti perlu berinteraksi dengan berbagai hewan laboratorium.

"Selain digunakan untuk penelitian, hewan laboratorium juga digunakan dalam jumlah yang banyak untuk kepentingan pendidikan mahasiswa," katanya.

Prof Dondin yang juga Ketua Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Laboratorium Indonesia menyebutkan, ada beberapa dokter hewan praktisi laboratorium lain yang ada di Indonesia tetapi belum memiliki sertifikat resmi. Saat ini mereka tergabung dalam Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Laboratorium Indonesia di bawah payung Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Dikatakannya dalam perkembangan dunia laboratorium yang menggunakan hewan sebagai objek penelitian memiliki permasalahan utama yang harus menjadi perhatian serius yakni pada kesejahteraan hewan-hewan tersebut.

"Apakah peneliti sudah mempertimbangkan bahwa perlakuan yang dipaparkan dapat menimbulkan penderitaan pada hewan tersebut. Seringkali hewan menderita akibat eksperimen yang dilakukan terhadap mereka, seperti menjadi cacat seumur hidupnya, bahkan sampai di-etanasi," katanya.

Namun, disisi lain lanjut dia, penelitian dengan menggunakan hewan laboratorium dapat memberikan solusi terhadap banyak sekali permasalahan penyakit yang terjadi pada manusia. Beberapa penelitian telah terbukti dapat menolong para peneliti untuk memperoleh solusi dalam pemahaman jalannya suatu penyakit, pengobatan bahkan pencegahan sejumlah penyakit berbahaya yang diderita oleh manusia maupun hewan.

"Seperti vaksin polio dihasilkan melalui penelitian menggunakan sel ginjal monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kenapa dipilih jenis hewan laboratorium ini karena kekerabatannya paling dekat dengan manusia," katanya.

Selain menghasilkan obat atau vaksi, hewan laboratorium juga digunakan untuk menghasilkan produk kecantikan dimana hewan yang cocok dijadikan bahan penelitian adalah babi, karena karakter kulitnya mirip dengan kulit manusia.

"Begitu juga dengan uji coba kaki gajah menggunakan hewan Lutung karena hewan ini bisa ditulari oleh nyamuk vilariasis. Ada juga untuk obat menurunkan berat badan dilakukan pada monyet bali, serta Alzaimer juga menggunakan hewan laboratorium monyet," katanya.

Dalam orasi ilmiahnya, Prof Dondin mengatakan tujuan utama memperhatikan kesejahteraan hewan laboratorium adalah mengeliminasi penelitian atau prosedur yang menimbulkan sakit dan nyeri pada hewan tersebut.

Menurutnya harapan tersebut sulit dicapai, akan tetapi usaha-usaha untuk meminimalisir dapat dilakukan dengan selalu berpegang teguh pada pemikiran untuk tetap mendapatkan hasil penelitian yang sahih, melalui pengutamaan penerapan konsep 3R yakni "reduction", "replacement", dan reginement".

"Seorang dokter hwan yang mengambil spesialis dalam hewan laboratorium mempunyai keahlian dan pengetahuan untuk dapat mencapai refiment ini," katanya.

Ia menambahkan, selain konsep 3R dalam manajemen dan melaksanakan penelitian dengan hewan yang dikandangkan, harus juga diingat hewan tersebut diupayakan dapat menikmati lima kebebasan yakni kebebasan dari rasa lapar, haus dan malnutrisi, kebebasan dari rasa tidak nyaman, kebebasan dari nyeri, luka dan penyakit, kebebasan untuk mengekspresikan tingkah laku aslinya dan kebebasan dari ketakutan dan cekaman.

Ketidaktahuan peneliti mengenai hewan laboratorium yang dipilihnya dapat menyebabkan interprestasi hasil penelitian yang tidak akurat. Seperti contohnya, hewan yang hidup secara sosial kemudian ditempatkan dalam kandang individu akan mengalami tingkat cekaman yang tinggi sehingga mempengaruhi jumlah hormon kortisol dalam darah, urin dan fesesnya.

"Jumlah hormon kortisol yang berubah ini berakibat pada keadaan fisiologis tubuh yang mengganggu hasil penelitian," katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya