Jumlah Wanita Lebih Banyak, Pria Semakin Takut Terikat

Kejutan, pria cenderung menjomblo malah ketika jumlah pria lebih sedikit daripada wanita. Kenapa bisa begitu?

oleh Liputan6 diperbarui 10 Nov 2015, 20:00 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2015, 20:00 WIB
Pria Lebih Takut Terikat Kalau Jumlah Wanita Lebih Banyak
Ketika jumlah kaum pria berlimpah, mereka malah ingin berupaya untuk mencari jodoh dan menjadi mapan. Angka pernikahan meningkat dan angka kejahatan menurun. (Sumber Red Pill Room)

Liputan6.com, New York - Sudah lama diketahui bahwa cara seseorang berjodoh akan beragam seturut dengan seberapa banyak pasangan yang dirasakan tersedia. Dan jumlah pria—terutama pria bermutu—semakin sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita, terutama pada usia kuliah ketika orang sedang ‘bersiap-siap’.

Nyatanya, pria ketinggalan daripada wanita dari berbagai segi, mulai dari jumlah yang tamat kuliah, jumlah di S2, dan jumlah partisipasi dunia kerja. Di dunia perkuliahan, setidaknya di AS, sekarang ini ada 60% mahasiswi berbanding dengan 40% mahasiswa.

Perbandingan mendekati 50:50 di universitas yang sangat selektif dengan jumlah peminat yang membludak. Karena itu, pihak universitas punya keluwesan memilih calon siswa untuk mencapai keseimbangan itu.

Lalu, masalah mutu. Mahasiswi banyak yang mengeluhkan mahasiswa yang ‘berkelakuan seperti anak SMA’ atau ‘tidak matang’, dan sejenisnya.

Menurut ulasan di Psychology Today yang dikutip Selasa (10/11/2015), isu yang agak tersamar adalah niat untuk berpasangan, apalagi bagaimana keadaan berpasangan tersebut. Kejutan di sini adalah bahwa pria cenderung menjomblo malah ketika jumlah pria lebih jarang, bukan ketika pria lebih banyak. Pria demikian dikelilingi oleh pasangan potensial, namun tidak tertarik berkomitmen ataupun menikah.

Ketika jumlah kaum pria berlimpah, mereka malah ingin berupaya untuk mencari jodoh dan menjadi mapan. Angka pernikahan meningkat dan angka kejahatan menurun. Padahal, selama ini kita mengira membludaknya hormon testoron mengarah kepada ‘kekacauan’. Ternyata tidak demikian.

Ketika kaum pria sedang sangat sedikit itulah pria menjadi lebih centil dan menebar bayi-bayi di luar pernikahan. Demikian juga dengan kekerasan maskulin, semisal pembunuhan pria atas pria, demikian juga dengan tingkat serangan seksual.

Menurut laporan Ryan Schacht—seorang ahli antropologi University of Utah—melalui jurnal Royal Society Open Science, dalam keadaan demikian pria malah bermalas-malasan mencari jodoh dan lebih menyenangi hubungan tanpa ikatan, dan gemar memiliki sejumlah huhungan.

Ia meneliti masyarakat homogeny di bagian tenggara Guyana di mana anggota masyarakat yang, karena tuntutan pekerjaan, kerap berpindah tempat geografis ke tempat lain dengan aneka ragam komposisi gender.

Di sana, peran jenis kelamin dan upaya perjodohan antara pria dan wanita tidak terikat kepada biologi, tapi amat beragam-ragam tergantung pada jumlah lawan jenis. Itu mirip seperti halnya keadaan di kampus, ketika kaum pria lebih sedikit, atau di kalangan manula.

Menurutnya, temuan ini 'membantah pemaksaan label pada peran reproduktif oleh gender berdasarkan perbedaan jenis kelamin.' Faktanya terbukti dari banyak penelitian bahwa tingkat hormon testosteron amat beragam berdasarkan faktor-faktor situasional. Tingkat hormon ini paling sedikit di antara mereka yang baru menjadi ayah.

Kaum wanita tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif dalam pencarian jodoh. Ketika jumlah mereka lebih banyak, mereka terjerumus dalam persaingan yang terkadang ganas untuk memperebutkan pasangan yang tersedia.

Contoh paling jelas ada di negara bagian Utah yang didominasi kaum Mormon. Secara alamiahnya, kaum pria Mormon cenderung meninggalkan kelompok, sedangkan wanita cenderung memasuki kelompok dan tetap di dalamnya. Kaum wanita menjadi jauh lebih banyak. Kaum wanitanya kesepian sehingga berperilaku yang bahkan tidak nyaman bagi mereka, misalnya menjadi terikat.

Wanita semakin tidak puas dengan hubungannya

Dalam Crisis U, suatu artikel tentang kesehatan mental mahasiswi, ternyata hubungan menjadi penyebab utama tekanan pada mahasiswi. Kaum wanita khususnya tertekan karena putus hubungan, terutama disebabkan ‘masalah komitmen’ di antara kaum pria. Bukan hanya itu, sejumlah laporan kejadian pemerkosaan bermula dari penyesalan hubungan dengan keterlibatan alkohol tanpa ikatan emosional.

Berdasarkan jumlah surel curahan hati yang masuk melalui Psychology Today, semakin banyak wanita muda yang tidak puas dengan hubungan yang bahkan sebetulnya tidak pantas disebut sebagai hubungan. Mereka bertemu dengan seorang pria, pria itu menelepon tiap beberapa bulan, bertemu satu atau dua kali dan kaum wanita itu menderita karena secara emosional telah melekat dengan pria itu dan ingin yang lebih darinya, namun malah dianggap ‘manja’ atau ‘rakus’ ketika pria itu ditanyai tentang hubungan.

Dalam hal inilah karya Shacht membantu menjelaskan. Salah satu yang tidak biasa dalam pendekatannya adalah pandangan ahli ekonomi dalam perjodohan, yaitu bahwa perjodohan bisa dipandang serupa dengan pasar, sebagai tanggapan atas pasokan (supply) dan permintaan (demand) pasangan. Setelah mengerti, peneliti itu juga mendapati bahwa variasi-variasi hal tersebut juga mengubah psikologi.

“Pilihan hubungan dan perilaku seksual seseorang bersifat menanggapi kepada konteks. Kaum pria ingin hal-hal yang secara mendasar berbeda dari suatu hubungan ketika jumlah pria lebih jarang daripada ketika jumlah mereka lebih banyak. Pria yang berada dalam keadaan lebih jarang inilah yang secara stereotip kita duga menjadi peselingkuh. Sedangkan pria yang berada dalam jumlah berlimpah adalah pria yang komit, mengabdi seperti seseorang dari abad pertengahan," jelas Shacht.

Bagi generasi mendatang—dan generasi seterusnya di mana jumlah pria tetap lebih sedikit—kekurangan jumlah pria yang baik pada persimpangan penting dalam hidup memiliki dampak pada kesehatan mental. Misalnya, keberhasilan kencan dan perjodohan berdampak pada kepercayaan diri.

Karena kecenderungan egosentris, kita mengira segala sesuatu dalam hidup terjadi karena kita secara perseorangan atau karena suatu karakteristik. Kita meremehkan seberapa jauh faktor-faktor yang tidak terkait dengan kita mempengaruhi segala sesuatu di lingkungan kita—termasuk demografi—yang kemudian berdampak bentuk hidup kita. (Alx)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya