Liputan6.com, Jakarta Dokter gigi itu sebuah profesi. Seperti halnya seseorang yang memilih jadi dosen, ada yang kerja di rumah sakit, ada yang di klinik, tapi kalau sebagai dokter gigi yang praktik sehari-hari, menghadapi pasien yang berbeda karakter adalah sebuah tantangan bagi saya.
Begitu diungkapkan dokter gigi Haidy I Wicaksono saat diwawancarai Health-Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Usai lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada pada 2008 silam, Haidy, sapaan hangat dokter gigi ini langsung bergabung dalam Dentes klinik di Yogyakarta yang membuka cabang di bilangan Bekasi, Jawa Barat. Hanya dua tahun lamanya, Haidy bergabung dengan manajemen tersebut dan memutuskan untuk mengelola klinik baru.
Advertisement
Selama lima tahun menghadapi pasien, Haidy masih harus mengenali karakter pasien terkait tentang tingkat pengetahuan yang berbeda. Mengingat masyarakat Indonesia yang heterogen, Haidy perlu berkali-kali memberikan edukasi terlebih dahulu sebelum pasien mengajukan kemauannya.
"Saya pribadi sih selain memberikan pekayanan yang bagus ya saya juga keep in touch sama pasien aja ya. Kalau pasien nanya-nanya, misalkan chat atau telepon ya kita harus jawab dan selalu bales mereka," katanya.
Haidy tak segan menceritakan beberapa pasien istimewa yang pernah ia tangani secara langsung. Salah satunya pada pasien anak yang memiliki keterbatasan pengelihatan.
"Namanya Ira Christy. Ia salah satu anak yang ikut dalam ajang Indonesia mencari bakat gitu. Dia mau pasang behel. Dia jago main piano tapi dia enggak bisa melihat. Anaknya tuh ceria dan orangtuanya sabar banget ngurusin dia," ungkap Haidy.
Menangani pasien yang memiliki keterbatasan, sambungnya, diperlukan komunikasi yang berbeda. "Pastinya kan komunikasi berbeda ya, tapi waktu itu anak ini udah belasan tahun jadi ya aman-aman aja sih. Setiap bulan juga saya kontrol jadi enggak ada kendala selama itu," katanya.
Cari pasien cacar
Masuk ke studi program Ilmu Kedokteran Gigi bukanlah pilihan pertama Haidy saat mendaftarkan kuliah di UGM. Awalnya, pria kelahiran 30 Juli ini justru ingin mengambil dokter umum.Â
Tak banyak kendala bagi Haidy menjalankan pendidikan di FKG UGM, kecuali saat Koas (dokter muda) ia harus mencari pasien, mulai dari menjemput pasien bahkan sampai membayar pasien untuk diperiksa. Satu hal yang tak pernah dilupakan Haidy, yaitu saat mencari pasien yang mengalami cacar mulut.
"Biasanya dari sekian bulan kita ada sekian kasus, yang susah itu penyakit mulut, seperti cacar. Cacar itu kan musiman. Sebenernya satu pasien itu satu dokter koas tapi ya kadang kita gantian, kadang dokter koas yang lain suka bilang ke pasien (dalam hati) 'jangan sembuh dulu, jangan sembuh dulu," ucapnya sambil tertawa.
Untuk mempermudah mendapatkan pasien, Haidy dan rekan biasanya mengadakan pemeriksaan gratis sekaligus mengedukasi masyarakat setempat. Terkadang ia juga mengikuti program-program penyuluhan di berbagai sekolah dasar di Yogyakarta.
Tes masuk Polri hingga agen asuransi
Pria muda berdarah Solo ini juga memiliki ketertarikan di bidang bisnis. Dengan ketekunan dan jerih payahnya, ia berhasil membangun tiga klinik di usia 33 tahun. Namun, sebelum fokus mengelola klinik pribadi milik sendiri, Haidy sempat beradu nasib dengan mengikuti tes masuk Polri.
"Sekitar tiga atau empat tahun lalu, saya sudah lolos di Polri, tapi ditempatkannya bertugas di Papua. Karena kejauahan dan orangtua juga kurang setuju jadi ya fokus di klinik aja," kata pria berkacamata ini.
Pada dasarnya, Haidy adalah pribadi yang giat bekerja. Ia selalu suka menyibukan dirinya, "Saya tuh enggak suka diem aja. Mulai dari agen asuransi, agent properti, itu sudah saya coba belum lama ini. Saya juga main saham. Menurut saya, dari terjun ke bidang asuranasi saja, ya saya jadi tahu apa itu sebenarnya asuransi dan investasi. Semua saya pelajari disitu".
Meski segala bidang pekerjaan sudah ditelusuri olehnya, tetapi Haidy mengaku tetap memilih untuk menangani pasiennya sendiri. "Walaupun katanya kalau punya usaha itu kita enggak perlu terjun langsung, tapi kalau saya kan memang suka bekerja, jadi saya tetap memutuskan berpraktik juga," ujarnya.
Di era yang semakin berkembang ini, mencari klinik gigi bukanlah suatu perkara lagi. Setiap sudut kota di tempat tinggal Anda saja, pasti klinik gigi sudah bertebaran. Kondisi ini rupanya menjadi tantangan besar bagi Haidy untuk mempertahankan ketiga klinik giginya.
"Membangun tuh mudah, mempertahankannya yang sulit. Belum lagi kalau dokter gigi, ya kita enggak bisa menentukan sebagai karyawan ya, mereka punya hak untuk praktik di tempat lain. Nah, apalagi kalau ada yang keluar dan praktik sendiri gitu kan jadi kompetitor juga tapi ya saya enggak bisa menghalangi itu," ungkapnya.
Keseruan Yoga
Hobi yoga sampai buka kelas
Olahraga sudah menjadi aktivitas harian dokter Haidy, ia mengaku tidak pernah absen dari gym dan yoga. Bahkan di lantai tiga klinik gigi miliknya, ia juga membuka kelas yoga setiap akhir pekan.
"Saya hobinya yoga, jadi saya ambil certified teacher yoga pada Mei lalu di Indonesia Yoga School, Kuningan. Awalnya tuh karena sering mengalami low-back pain ya, karena posisi kerja yang salah. Jadi saya belajar yoga dan mulai memahami seperti apa postur-postur yang benar," kata pria penyuka traveling ini sambil tersenyum.
Peserta di kelas yoga Haidy juga bervariatif. Tak hanya para ibu, tetapi anak-anak belasan tahun juga sering kali mengikuti kelas ini.
Dengan yoga, kata dia, individu dapat melatih napasnya dengan baik. Karena gerakan yoga yang beragam memiliki manfaat dan keuntungan yang baik untuk kesehatan. Lagipula, mempelajari yoga itu tidak sulit.
"Yoga itu kan banyak ada basic, ada hatta yang satu gerakan lima napas. Ada viyasa yang di mana satu napas satu gerakan jadi gerakannya flowing kayak menari gitu. Yoga tuh banyak levelnya. Ada yang bertahap, ada yang berbeda," katanya.
Jangan takut ke dokter gigi
Dalam setahun, Haidy selalu mengikuti seminar atau talk show terkait perkembangan dalam bidang kesehatan gigi dan mulut. Apalagi, kini bidang gigi sudah layaknya bidang estetika. "Ada tren setiap tahunnya kayak sekarang bleaching gigi atau veneer gigi," kata Haidy.
Namun, Haidy sama sekali tidak pernah lupa memberikan edukasi yang paling tepat kepada pasien tiap kali ingin mempercantik gigi. Umumnya pada pasien wanita.
"Saya memberikan harapan yang rasional sih, kalau misalnya bleaching, ya kita bilang dahulu, kalau misalnya bleaching itu tidak bisa putih banget. Ya komunikasi di awal sebelum treatment itu paling penting," katanya.
Bukan hanya pada pasien dewasa, Haidy juga mengedukasi orangtua untuk menghilangkan ketakutan anak mereka untuk memeriksakan gigi dan mulutnya ke dokter gigi.
Hingga kini, lanjut Haidy, masih banyak anak-anak yang takut pergi ke dokter karena ucapan-ucapan orangtua yang mengubah presepsi anak.
"Orangtua si anak secara tidak sengaja membuat paradigma kalau dokter gigi itu menakutkan. Seperti 'kalau nakal nanti disuntik dokter loh!' Nah itu gak boleh itu membuat ketakutan si anak," Haidy menuntaskan.
Advertisement