Dr. Sardjito, Pejuang dengan Gelar Lulusan Terbaik dari STOVIA

Terbakar semangat nasionalismenya saat belajar di STOVIA, dr. Sardjito menjadi ketua Budi Utomo Jakarta dan berjuang melawan penjajah.

oleh Umi Septia diperbarui 14 Agu 2017, 07:00 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2017, 07:00 WIB
Dokter Pejuang Kemerdekaan
Dokter Pejuang Kemerdekaan - Dr. Sardjito (via: arsip UGM)

Liputan6.com, Jakarta Melanjutkan kumpulan tulisan Dokter Pejuang Kemerdekaan, setelah kemarin membahas tentang dr. Boentaran Martoatmodho, untuk edisi Minggu (13/8/2017) Health-Liputan6.com akan membahas salah satu tokoh penting di masa penjajahan Belanda yaitu Prof. dr. M. Sardjito.

Prof. Dr. M. Sardjito Lahir pada tanggal 13 Agustus 1889 di Purwodadi, Kawedanan Magetan, Karisidenan Madiun. Sardjito mengawali jenjang pendidikan pada usia 6 tahun dengan belajar ngaji sekaligus belajar di Sekolah Rakyat. Hingga pada akhirnya dia melanjutkan pendidikan kedokteran STOVIA serta meraih gelar dokter dengan predikat lulusan terbaik pada 1915.

Di STOVIA, jiwa nasionalisme mulai tumbuh dalam diri dr. Sardjito. Dokter Sardjito bersama dengan dr. Wahidin menjadi anggota Budi Utomo dan ikut berjuang melawan penindasan kolonial Belanda. Saat itu dr. Sardjito ditunjuk menjadi ketua Budi Utomo cabang Jakarta.

Pada masa kemerdekaan, dr. Sardjito turut berjasa dan mengobati para pejuang kemerdekaan. Sardjito membantu menyediakan obat-obatan dan vitamin bagi prajurit. Selain itu, dr. Sardjito juga membangun pos kesehatan untuk tentara di Yogyakarta dan sekitarnya.

Dokter Sardjito memiliki karier yang gemilang. Beliau mengepalai beberapa laboratorium di Jakarta dan Semarang. Dr. Sardjito juga belajar dan meneliti penyakit Lepra di Berlin, German.

Beliau juga dipercaya menjadi Rektor pertama Universitas Gajah Mada, Yogyakarta selama 12 tahun, dan UII Yogyakarta yang pada masa jabatannya itulah UII berhasil membuka banyak fakultas di beberapa lokasi. Dari sini juga, Sardjito berhasil membangun kerjasama antara UII dan UGM.

Semasa hidupnya, Dokter Sarjito tak hanya berjasa dalam mengobati masyarakat, dirinya juga telah menghasilkan karya berupa obat batu ginjal Carcusol.

Sardjito wafat pada usia 80 tahun ketika masih menjabat sebagai rektor UII pada 5 Mei 1970. Untuk mengenang jasa beliau, kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito di Yogyakarta, dan sebuah nama gedung Kuliah Umum (GKU) di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya