Liputan6.com, Jakarta - Analis menilai, pasar modal di Asia membutuhkan katalis untuk mendorong penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) dari perusahaan terkemuka.
Mengutip CNBC, ditulis Kamis (6/2/2025), Pendiri dan Senior Managing Partner Granite Asia, Jenny Lee menuturkan, solusi untuk mendorong lebih banyak pencatatan saham di Asia melibatkan lebih banyak produk, informasi, manajer dan penerbit yang bagus.
Advertisement
Baca Juga
Ia menuturkan, memiliki “Taylor Swift dalam penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO)” di Asia juga akan membantu, mengacu pada potensi percepatan di pasar IPO dari pencatatan perusahaan terkemuka.
Advertisement
Lee optimistis tentang bagaimana kinerja perusahaan swasta pada 2025 setelah tahun yang buruk pada 2024. Ia mengaitkan kemungkinan peningkatan dengan fundamental perusahaan swasta yang kuat dan membuka peluang pencatatan saham,
"Suku bunga yang tinggi pada 2024 berarti jendela IPO “relatif tertutup di pasar yang matang seperti Amerika Serikat (AS), China dan Hong Kong, dan beberapa bagian Asia kecuali Jepang dan India,” ujar Lee.
Ia menambahkan, banyaknya pemilihan umum yang diadakan pada 2024 juga meningkatkan ketidakpastian tentang bagaimana ekonomi akan berjalan.
Dibandingkan 2023, aktivitas IPO di Asia turun tajam pada 2024. Berdasarkan data dari EY, terjadi penurunan transaksi sebesar 35 persen dan hasil penjualan sebesar 51 persen year on year (YoY).
Namun, ada beberapa titik terang di kawasan tersebut. India mencatatkan 327 pencatatan, jumlah tertinggi di pasar IPO utama. Pasar Asia lainnya seperti Jepang, ada 84 pencatatan. Lalu Korea Selatan dengan 75 pencatatan, dan juga mencatat aktivitas IPO yang substansial.
Sektor Teknologi Kesehatan dan Perawatan
Chief Executive Officer (CEO) dan salah satu pendiri Gaia Investment Partners, Sereta Tan melihat alpa dalam area pertumbuhan tinggi di Asia seperti teknologi kesehatan dan perawatan. Alpha dalam konteks pasar termasuk ukuran kinerja investasi relatif terhadap tolok ukur.
Tan menambahkan, sekitar USD 2,3 triliun atau sekitar Rp 37.556 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.328) untuk layanan kesehatan pada 2026. Sektor ini kemungkinan tumbuh karena satu dari empat orang di kawasan Asia Pasifik akan berusia 60 tahun pada 2025, demikian data dari Asian Development Bank.
Tan menuturkan, dana yang akan dihimpun mencapai USD 30 milair dalam ekuitas swasta di Asia pada 2025 yang dipimpin oleh perusahaan-perusahaan antara lain Blackstone, KKR, dan EQT. Sejumlah besar modal yang dikumpulkan kemungkinan akan mengalir ke India dan Jepang.
Namun, ia menuturkan tetap penting untuk mengawasi China dan peluang yang akan muncul dari dislokasi global.
Dislokasi global muncul dari berbagai peristiwa antara lain perubahan kepemimpinan dan terobosan teknologi. Dalam konteks saat ini contohnya termasuk ancaman tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan peluncuran model kecerdasan buatan oleh perusahaan rintisan China Deep yang biaya pelatihannya hanya jutaan dolar Amerika Serikat.
Advertisement
Investasi di Modal Ventura
Tan menuturkan, aset private market antara lain ekuitas swasta dan modal ventura dianggap kurang fluktuaktif dibandingkan pasar publik dan menawarkan pengembalian yang stabil dalam jangka panjang.
“Investor harus investasi melalui siklus dan pertumbuhan perusahaan dari swasta hingga public. Jika investor ingin mengalami pertumbuhan, mereka perlu eksposur di private markets,” kata Tan.
Ia menambahkan, perusahaan investasi swasta semacam itu di Asia memberikan tingkat pengembalian internal stabil antara 10 persen-20 persen tergantung pada strategi investasi, geografi dan industri.
Ada 140.000 perusahaan swasta dengan pendapatan tahunan melebihi USD 100 juta dibandingkan hanya 19.000 perusahaan publik yang meraup jumlah yang sama. Tan menuturkan, peluang di sektor ekuitas swasta Asia terletak pada pelaku pasar kecil dan menengah di berbagai industri mulai dari perusahaan daur ulang limbah hingga produsen bahan kemasan.