Pelaku Ujaran Kebencian terhadap Jokowi Diganjar 'Kartu Merah'

Psikolog dan praktisi hipnoterapi klinis membeberkan alasan tentang pelaku ujaran kebencian di media sosial yang tak pernah jera.

oleh Doddy Irawan diperbarui 08 Feb 2018, 18:30 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2018, 18:30 WIB
Tiga Tersangka Penyebar Ujaran Kebencian Lewat Internet Ditangkap
Tersangka kasus penyebaran ujaran bernada kebencian lewat internet digiring polisi usai rilis di Jakarta, Rabu (23/8). Tiga tersangka masuk dalam satu kelompok. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Ujaran kebencian di dunia maya seolah tak ada habisnya. Baru-baru ini Kepolisian RI kembali menciduk pelaku hate speech berinisial G (58). Tersangka ditangkap karena terbukti melakukan penyebaran penghinaan terhadap Presiden Ir. H. Joko Widodo (Jokowi). Hal ini terungkap dalam keterangan tertulis yang disiarkan oleh Divisi Humas Polri melalui akun Instagram @divisihumaspolri. 

Tersangka dijemput polisi setelah ketahuan mengirim gambar Presiden RI melalui WhatsApp dan postingan SARA melalui media Facebook. Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 16 Jo pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis atau pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Penghinaan kepada Jokowi melalui sosmed dan berujung penangkapan pelaku, bukan kali ini saja terjadi. Entah mengapa, orang tetap nekat menyebarkan ujaran kebencian. Apakah 'kartu merah' alias hukuman penjara yang diberikan pengadilan kurang memberikan efek jera? 

Psikolog Dr. M.M. Nilam Widyarini, M.Si, mengakui memang sulit membuat pelaku perundungan atau ujaran kebencian menjadi kapok. 

"Tidak mudah untuk membuat mereka jera, khususnya karena ujaran kebencian di Indonesia hampir menjadi budaya. Pelaku ditiup kuat-kuat oleh kepentingan politik atau kelompok yang menghalalkan kampanye hitam untuk menjatuhkan seseorang atau lawan politik," jelas Nilam saat dihubungi Health-Liputan6.com, Kamis (8/2/2018).

 

Simak juga video menarik berikut :     

 

Ujaran kebencian bikin orang mudah tersulut

Penyebar Kebencian pada Presiden Diancam 3 Pasal Sekaligus
Tersangka kasus ujaran kebencian pada Presiden menyebar konten negatif sejak 20 Juli 2017 sampai 24 September 2017. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Nilam melanjutkan, munculnya para pemfitnah, pembenci, penghasut, dan penyebar hoaks, ditenggarai oleh ramainya pengguna media sosial dan emosional pelaku yang mudah dipancing.

"Adanya agen hoaks dan ujaran kebencian seperti Saracen, yang telah menyebarkan ujaran kebencian secara masif dan diikuti oleh masyarakat yang kurang matang. Potret ini menjadi sangat parah karena pengguna media sosial begitu luas. Banyak di antaranya mudah dihasut dan disulut emosinya oleh gosokan info yang menyinggung identitas (SARA) mereka," tutur praktisi hipnoterapi klinis tersebut.

Kepolisian RI juga mengimbau kepada masyarakat agar semakin bijak dalam menggunakan media sosial.

"Dengan adanya kasus seperti ini, semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk tidak melakukan hal tersebut, yang dapat merugikan diri sendiri," tulis divisi Humas Polri pada keterangan foto.

Promosi budaya cinta damai

Tiga Tersangka Penyebar Ujaran Kebencian Lewat Internet Ditangkap
Karobibamitra Humas Mabes Pol Kombes Pol Awi Setiyono (kedua kanan) memberi keterangan terkait penangkapan tersangka kasus penyebaran ujaran bernada kebencian lewat internet di Mabes Polri Jakarta, Rabu (23/8). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kepolisian RI juga menyampaikan pesan untuk memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif.

"Diharapkan pada seluruh masyarakat agar selalu bijak dalam bermedia sosial dan menyikapi hate speech," tulis akun IG @divisihumaspolri.

Senada dengan aparat penegak hukum, Nilam juga menegaskan bahwa 'kartu merah' yang diberikan kepada pelaku melalui hukuman kurungan, akan membuat insyaf. 

"Berhubung skalanya yang luas, maka pemberantasan materi ujaran kebencian perlu menggunakan pendekatan hukum. Kepastian dan konsistensi hukum sangat diperlukan," lontar doktor psikolog jebolan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. 

Nilam juga menyarankan agar pemerintah melalui instansi terkait perlu melakukan pendekatan budaya.

"Fungsinya memromosikan perilaku etis dan saling menghormati, serta memromosikan budaya damai secara terus-menerus," tukas Nilam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya