Jangan Salahkan Orang dengan Gangguan Jiwa Saat Ada Kekerasan

Stigma negatif sering muncul pada kasus-kasus kekerasan. Beberapa menganggap, kasus kekerasan dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 09 Mar 2018, 17:00 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2018, 17:00 WIB
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStock Photo)

Liputan6.com, Jakarta Stigma negatif sering muncul pada orang dengan gangguan jiwa atau disabilitas mental. Terutama dengan mereka yang melakukan kekerasan.

"Ini merupakan stigma yang luar biasa. Karena biasanya orang dengan disabilitas mental malah yang sering mengalami kekerasan," kata Yenni Rosa Damayanti, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, ditemui Health-Liputan6.com pada sela acara "Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia" di Jakarta, ditulis Jumat (9/3/2018).

"Mereka sering dihina, diejek, dilempar batu, dikucilkan dari sekolah, dikeluarkan dari sekolah, tidak diberi pekerjaan, dipasung, dimasukkan di panti, diikat di rantai, jadi kuli dan sebagainya. Kekerasan yang mereka alami itu luar biasa," tambah Yenni.

Walaupun begitu, kekerasan mereka terkadang tidak dianggap pelanggaran. Seolah-olah orang dengan gangguan jiwa sah diperlakukan seperti itu.

Ini berbeda ketika ada satu atau dua orang yang melakukan pidana, hal tersebut menjadi heboh di masyarakat.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

Bisa Berprestasi

Ilustrasi Kekerasan Pada Anak
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStock Photo)

Yenni mengatakan, banyak masyarakat yang menganggap disabilitas mental atau gangguan jiwa adalah aib.

Padahal menurut data World Health Organization (WHO), ujar Yenni, ada sekitar setengah hingga 1 persen dari total penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa.

"Masyarakat harus bisa ubah pikiran ini. Punya gangguan jiwa itu bukan akhir dunia," tambah Yenni.

Menurutnya, dengan bantuan medis, sosial, ekonomi, yang tepat, penderita gangguan jiwa bisa berprestasi sama seperti orang lain.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya