Paham Efek BAB Sembarangan, Masyarakat Jadi Mau Gunakan Jamban

Efek BAB sembarangan membuat masyarakat rentan kena penyakit. Ketersediaan jamban perlu dimiliki di tiap rumah.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 25 Nov 2018, 17:11 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2018, 17:11 WIB
Potret Suram Sanitasi Ibu Kota
Anak-anak berenang di bawah jamban yang berada di bantaran Kali Ciliwung, Jakarta, Senin (19/11). Tak adanya akses sanitasi yang layak menyebabkan anak-anak menderita stunting. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Alkisah, di sebuah desa bernama Desa Apes, kebiasaan masyarakat buang air besar (BAB) sembarangan berujung pada wabah muntaber. Awalnya, masyarakat belum tahu, kebiasaan BAB sembarangan menjadi penyebab muntaber. Petugas kesehatan tiba untuk melakukan temuan penyebab muntaber.

Masyarakat ditanya petugas soal perilaku dan fasilitas apa saja yang ada di rumah, terutama ada atau tidaknya jamban. Masyarakat pun diajak berkeliling di lingkungan sekitar lantas melihat langsung, desa mereka penuh dengan tinja. Tinja manusia tersebar di mana-mana. Lalat-lalat menggerubungi tinja, yang mana lalat itu hinggap pada minuman dan makanan yang akan dikonsumsi. Tak ayal, penyakit muntaber menyerang warga.

 

Kondisi BAB sembarangan di atas merupakan cuplikan video animasi yang diunggah STBM (Strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) Indonesia pada 2015. Tayangan animasi itu memberikan pembelajaran, efek BAB sembarangan dapat menyebabkan muntaber. Lalat menjadi perantara dan pembawa bakteri penyakit dari tinja ke makanan dan minuman. Untuk mencegah penyebaran penyakit akibat BAB sembarangan, kesadaran masyarakat membangun jamban perlu disosialisasikan.

Sosialisasi pembangunan jamban termasuk program STBM yang digalakkan Kementerian Kesehatan, yang sudah dilakukan sejak tahun 2005. Kemajuan masyarakat punya jamban meningkat. Pada tahun 2006, sebanyak 160 desa dinyatakan bebas BAB sembarangan. Pada tahun 2007, lebih dari 500 desa yang bebas BAB sembarangan.

Program STBM pun semakin kuat dengan adanya kebijakan Kepmenkes No. 852 Tahun 2008 Tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Kementerian Kesehatan memperkuat kebijakan STBM menjadi Permenkes No.3 Tahun 2014. Hasil STBM semakin memuaskan dari tahun ke tahun. Laporan Kementerian Kesehatan memperlihatkan, sanitasi masyarakat sudah meningkat mencapai 65,33 persen. Angka itu dihitung dari tahun 2005 sampai Maret 2017.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perilaku masyarakat BAB di jamban di Indonesia meningkat sebanyak 88,2 persen. Pada Riskesdas 2013, prevalensi sekitar 81 persen.

“Hampir seluruh kabupaten dan kota di Indonesia telah melaksanakan STBM dan 23 kabupaten /kota serta 1 provinsi (DKI Jakarta) yang telah lebih dahulu mencapai ODF (open defecation free-terbebas dari BAB sembarangan," ujar Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari di Kementerian Kesehatan, Jakarta beberapa waktu silam.

 

 

Peringatan Hari Toilet Sedunia pada 18 November 2018 sekaligus menuju target akses universal 100 persen sanitasi layak pada 2019, jurnalis Liputan6.com mengangkat liputan khusus soal jamban dan BAB sembarangan. Hal itu termasuk program Strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yang dilakukan Kementerian Kesehatan.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Keinginan warga gunakan jamban

Potret Suram Sanitasi Ibu Kota
Anak-anak berenang di bawah jamban yang berada di bantaran Kali Ciliwung, Jakarta, Senin (19/11). Saat ini, tercatat sekitar 500 ribu penduduk DKI Jakarta tidak memiliki akses sanitasi yang layak. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Pencapaian STBM di tiap provinsi di Indonesia didukung adanya aplikasi Monev STBM. Sistem aplikasi yang berbasis internet memantau secara realtime, berapa jumlah desa, kota/kabupaten, dan provinsi yang sudah melaksanakan STBM. Daerah yang sudah bebas BAB sembarangan maupun yang perlu diverifikasi STBM juga terlihat.

“Strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Selama program berjalan, kami bangun suatu aplikasi. Aplikasinya diisi masyarakat, diverifikasi sama puskesmas. Verifikasi itu masuk (terdata) ke dalam aplikasi. Bisa dilihat dari aplikasi, sudah berapa banyak desa yang diverifikasi menyatakan, sudah punya jamban di setiap keluarga,” papar Kirana saat bertemu pada puncak peringatan Hari Kesehatan Nasional 2018 di Gelora Bung Karno, Jakarta beberapa hari lalu.

Petugas puskesmas akan melihat langsung, apakah rumah sudah benar punya jamban. Secara keseluruhan, pemeriksaan ketersediaan jamban di desa juga diverifikasi petugas puskesmas. Hal ini juga menentukan, apakah desa itu bebas BAB sembarangan.

“Penilaian verifikasi jamban dan bebas BAB sembarangan dari kelompok bawah, mulai desa - kecamatan – kabupaten, baru ke (pemerintah) pusat. Bukan pusat yang menilai langsung, tapi diverifikasi sendiri oleh tenaga kesehatan setempat,” lanjut Kirana.

Perjuangan setiap provinsi bebas BAB sembarangan dan tiap rumah punya jamban tidak mudah. Hal itu terkait perubahan perilaku warga. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah setempat mendorong semua desa punya jamban. Dalam hal ini pendekatannya melalui desa.

“Jadi, kami dorong desa supaya mereka memiliki jamban. Kalau ada bantuan-bantuan pasang jamban, mereka (warga setempat) juga harus bikin kelompok (mau rumahnya di pasang jamban atau tidak). Artinya, mereka memang menganggap itu (jamban) penting dan dibutuhkan. Ada keinginan warga untuk mulai mau menggunakan jamban,” Kirana menambahkan.

Kirana juga menyampaikan, jangan sampai diberi bantuan jamban lantas tidak dipakai. Pada beberapa kasus, ada masyarakat yang diberi bantuan jamban. Namun, karena tidak terbiasa menggunakan jamban. Jamban pun terlantar, tidak digunakan. Mereka kembali BAB sembarangan di semak-semak, kali atau sungai terdekat.

Baru-baru ini, provinsi yang mendapatkan penghargaan STBM Berkelanjutan Eka Pratama adalah DIY Yogyakarta. Ini karena seluruh kabupaten/kota-nya telah bebas BAB sembarangan. Sementara itu, 23 kabupaten/kota yang sudah sukses melaksanakan STBM adalah Sukoharjo, Karanganyar, Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Wonogiri, Boyolali, Grobogan, Ngawi, Pacitan, Madiun, Magetan, Pare-pare, Banda Aceh, Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Yogyakarta, Sumbawa Barat, Alor, Kupang, Lamongan, Kulonprogo, dan Pringsewu.

 

Lihat efek langsung BAB sembarangan

Ilustrasi jamban
Proses pelaksanaan STBM, masyarakat diajak melihat langsung, bagaimana efek BAB sembarangan. (Wikimedia/Creative Commons)

Provinsi Papua menempati prevalensi terendah perilaku masyarakat BAB di jamban dengan capaian 55,8 persen, dari data Riskesdas 2018, diikuti Kalimantan Tengah dan Sumatra Barat sebesar 60 persen. Belum merata penggunaan jamban dan masih maraknya BAB sembarangan menjadi tantangan tersendiri. Kendala yang ada di daerah tersebut, seperti akses air sulit sehingga tidak memungkinkan pemanfaatan jamban.  

Contoh kasus pada masyarakat Desa Argosari yang terletak di Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Laporan jurnal penelitian Evaluasi Teknologi Sanitasi Masyarakat Dalam Percepatan Pencapaian  Sanitasi 100% Tahun 2019  Kabupaten Malang, yang dipublikasikan Jurnal Teknologi 2015, masyarakat yang BAB di sungai sebesar 87 persen. Persentase lainnya (33 persen) sudah BAB di jamban (MCK komunal). Berdasarkan data dari puskesmas setempat, kepemilikan jamban sehat baru 8 persen, 3 persen lainnya punya jamban yang kurang sehat, dan 89 persen tidak punya jamban di rumah. Mereka BAB di sungai terdekat.

“Memang diakui, di daerah-daerah yang airnya susah itu memperkenalkan jamban sulit. Tantangannya besar sekali buat dikenalkan jamban. Walaupun begitu, masyarakat tetap diajak kenali masalahnya (sanitasi) sendiri,” Kirana menambahkan.

Kirana menjelaskan, ada video instruksi bagaimana STBM dilaksanakan, seperti video STBM Indonesia. Petugas kesehatan akan memetakan desa, berapa jumlah kepala keluarga (KK) yang punya jamban, siapa saja yang tidak punya jamban. Yang tidak punya jamban ditanya, ‘Kamu kalau buang air besar ke mana?’

Ada warga yang bilang, buang air ke sungai dan kebun. Kemudian petugas kesehatan mengajak masyarakat melihat kebun. Lokasi kebun yang biasa dijadikan tempat buang air ditunjukkan. Pada waktu diajak ke kebun, warga mulai sadar. Buang air sembarangan berpotensi mengganggu kesehatan dan lingkungan yang sangat besar.

“Selain bau (tinja), ada lalat juga. Lalu dikasih contoh, seandainya rambut itu kaki lalat terus terbang dari tinja. Kemudian rambut dimasukkin ke air, mau minum enggak? Ternyata masyarakat enggak mau minum. Lalatnya banyak sekali dan sumber penyakitnya ada. Bagaimana cara hindari penyakit? Berarti masyarakat harus punya jamban,” tambah Kirana.

Kesadaran masyarakat terbangun setelah melihat tinja, yang dipenuhi lalat, kemudian masuk ke minuman dan makanan. Ketika mereka punya komitmen untuk tidak lagi BAB sembarangan, bantuan jamban baru dapat diberikan. Simulasi pendekatan kesadaran tidak BAB sembarangan dilakukan Kementerian Kesehatan juga Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR). Kalau partisipasi masyarakat baik, mereka saling kontribusi membuat jamban.

Penyakit yang rentan dialami

Ilustrasi diare (iStockphoto)
Akibat BAB sembarangan dan tidak punya jamban, penyakit bisa rentan dialami masyarakat. (iStockphoto)

Kondisi jamban yang terdapat di Desa Argosari beragam, ada jamban yang sudah dipasang di dalam rumah dan jamban yang hanya ditutup dengan kayu. Jika jamban tidak ditutup, bakteri mudah masuk ke tubuh. Masyarakat masih memanfaatkan sungai untuk mandi, cuci, dan buang air besar. Jarak untuk melakukan aktivitas itu berdekatan, yang memungkinkan bakteri menempel dan masuk ke tubuh.

Bakteri akan mudah berkembangbiak dan masuk ke tubuh saat kekebalan manusia rendah. Akibat dari masyarakat Desa Argosari BAB sembarangan, berbagai penyakit menyerang. Data menunjukkan 35 persen, masyarakat menderita batuk pilek, 30 persen menderita diare, 25 persen menderita penyakit kulit (gatal-gatal), 5 persen mengalami gartritis (radang lambung), dan 5 persen lainnya menderita sakit mata. Bukan hanya karena BAB sembarangan, penyebab lain kurangnya ketersediaan air bersih.

Kasus diare yang disebabkan BAB sembarangan dan lingkungan tempat tinggal yang tidak bersih dipantau dengan baik. Apalagi saat musim penghujan, yang mana volume air kali atau sungai meningkat. Banjir yang terjadi akan membawa segala hal, terutama tinja. Bahkan sumber air bersih bisa tercemar.

“Kalau diare termasuk kasus yang diawasi. Ada waktu tertentu kasus kejadian diare, misalnya musim hujan. Harus hati-hati untuk daerah yang belum melaksanakan STBM sepenuhnya (belum punya jamban). Kami lihat dan awasi, kejadian penyakit itu (diare) tinggi atau enggak,” Kirana menjelaskan.

Kalau angka kejadian diare tinggi akan dilakukan intervensi. Beberapa intervensi di antaranya, air diklorinasi—proses penambahan klorin untuk membunuh bakteri dan mikroba tertentu. Masyarakat juga diajarkan, bagaimana pemanfaatan air yang bersih.

“Airnya harus dimasak, sebelum diminum. Untuk membuat masyarakat sadar soal STBM dan punya jamban memang tidak bisa hanya satu program, dengan kasih jamban saja. Jamban kan perlu air bersihnya juga. Lalu keterkaitan dengan penyakit (diare, muntaber) kalau BAB sembarangan,” tutup Kirana.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya