UNICEF: COVID-19 Ancam Masa Depan Anak-anak Indonesia

Laporan UNICEF, situasi COVID-19 dapat mengancam masa depan anak-anak Indonesia.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 13 Mei 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2020, 20:00 WIB
Anak menangis
Laporan UNICEF, situasi COVID-19 dapat mengancam masa depan anak-anak Indonesia. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Tanpa tindakan segera, situasi COVID-19 dapat mengancam keselamatan, kesejahteraan, dan masa depan anak-anak di Indonesia. Hal ini termaktub dalam pernyataan yang baru diterbitkan UNICEF mengenai dampak sosial dan ekonomi pandemi serta rekomendasi untuk mengatasinya.

Pernyataan UNICEF berjudul COVID-19 and Children in Indonesia: An Agenda for Action to address Challenges beyond Public Health menyajikan bukti, virus Corona telah secara luas mengganggu kestabilan pendapatan keluarga-keluarga Indonesia. Sebagian besar dari mereka tidak tercakup dalam sistem jaminan sosial yang menargetkan masyarakat dalam kemiskinan ekstrem.

Perwakilan UNICEF Debora Comini menerangkan, orangtua yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan secara mendadak dapat memicu situasi kemiskinan bagi jutaan anak. Kondisi ini mengancam kinerja gizi, pendidikan, dan perlindungan anak sekaligus dapat memperparah ketimpangan yang sudah ada terkait gender, pendapatan, dan kelompok rentan seperti anak dengan disabilitas.

“Setelah pandemi pun, anak-anak di seluruh Indonesia akan terus merasakan dampaknya selama bertahun-tahun ke depan,” kata Debora dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Rabu (13/5/2020).

“Jika kita tidak bertindak dari sekarang untuk menanggulangi dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, krisis kesehatan bisa menjadi krisis yang lebih luas, sehingga menghambat, bahkan menimbulkan kemunduran, dari kemajuan kondisi anak yang sudah dicapai Indonesia melalui kerja keras selama bertahun-tahun.”

 

Mengurangi Porsi Makan

Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Kinanti Pinta Karana dari UNICEF Indonesia melaporkan, ancaman COVID-19 terhadap anak meliputi kemiskinan anak, gizi, pembelajaran jarak jauh, pengasuhan, dan keamanan. Indonesia menghadapi beban malnutrisi (kurang gizi, kelaparan tersembunyi akibat kekurangan nutrien esensial, dan kelebihan berat badan pada kelompok balita).

Kondisi ini dapat berkembang kian buruk seiring dengan hilangnya pendapatan dan terbatasnya akses kepada makanan sehat.

"Di sektor gizi, kami bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan lembaga pemerintah lain untuk mengembangkan berbagai pedoman atau kebijakan terkait pemenuhan anak," terang Kiki, sapaan akrabnya dalam diskusi daring beberapa hari lalu.

"Tentunya, untuk antisipasi dampak COVID-19 pada anak. Misalnya, soal nutrisi apa dan pemberian makanan yang sehat buat anak di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini."

Kemiskinan yang luas akibat COVID-19 berdampak pada pemenuhan gizi anak. Faktor yang memperparah kemiskinan, yaitu pengangguran, dan tingkat pendidikan yang rendah.

Isi pernyataan UNICEF menyebut, keluarga dan anak-anak yang jatuh miskin dalam waktu singkat akan mengalami dampak berat dalam hal keamanan pangan rumah tangga dan keterbatasan terkait akses, ketersediaan, dan keterjangkauan bahan makanan sehat.

Survei daring menunjukkan bahwa kebutuhan pangan semakin tidak aman. Sebanyak 36 persen dari responden menyatakan, mereka “sering kali” mengurangi porsi makan karena masalah keuangan. Hilangnya pendapatan rumah tangga meningkatkan risiko anak mengalami kurus dan kekurangan zat gizi mikro. Gizi buruk merupakan salah satu bentuk kekurangan gizi yang membahayakan.

 

Kekurangan Gizi

Melihat Kondisi Anak-Anak Kurang gizi di Pandeglang
Anak balita menangis saat ditimbang di Puskesmas, Kaduhejo, Pandeglang (14/9). Dengan puluhan penduduk mengalami gizi kurang, gizi buruk dan beberapa anak sudah divonis stunting, ini menjadi gambaran bagaimana sulitnya mencegah stunting. (Foto:Istimewa)

Jurnal berjudul Kekurangan Gizi pada Ibu dan Anak: Paparan global dan regional serta konsekuensinya terhadap kesehatan yang dipublikasikan di The Lancet, risiko kematian pada anak dengan kondisi tersebut nyaris 12 kali lipat lebih tinggi daripada risiko kematian pada anak dengan gizi baik.

Anak-anak yang pulih dari gizi buruk mungkin akan terus mengalami masalah perkembangan dan pertumbuhan selama hidupnya.

Berbagai upaya untuk menekan infeksi COVID-19 dapat mempersulit identifikasi dan pemberian perawatan serta layanan penting bagi anak-anak yang mengalami gizi buruk. Pandemi ini berpotensi meningkatkan kekurangan gizi pada ibu.

Ketidakamanan pangan rumah tangga, ditambah dengan ketidaksetaraan gender dalam hal distribusi pangan dalam rumah tangga dan praktik perawatan ibu yang tidak memadai. Kondisi ini diperkirakan akan meningkatkan prevalensi kekurangan gizi, khususnya anemia dan kurangnya berat badan.

"Dinyatakan juga dampak jangka panjang krisis COVID-19, prevalensi stunting bisa naik. Ada juga peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas akibat terbatasnya aktivitas fisik dan meningkatnya konsumsi makanan olahan secara terus-menerus yang mengandung kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi," Kiki melanjutkan.

 

 

Hilangnya Waktu Belajar di Sekolah

Masa Belajar di Rumah Diperpanjang hingga 19 April
Orang tua mengajari anaknya belajar di rumah di kawasan Cinere, Jakarta, MInggu (5/4/2020). Hal itu sesuai dengan perpanjangan status tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 bagi DKI hingga 19 April. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Data UNICEF juga mencatat, hampir 60 juta anak Indonesia tidak dapat bersekolah karena COVID-19. Namun, pembelajaran jarak jauh secara daring masih terasa menantang.

Hilangnya waktu belajar di sekolah dalam periode yang cukup lama bisa membuat para siswa gagal memenuhi standar pengetahuan dan kompetensi yang perlu diraih untuk tingkat kelasnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam tulisan Risalah Kebijakan, Dampak COVID-19 pada Anak-anak dapat menimbulkan risiko terhadap pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Jumlah anak yang putus sekolah juga dapat meningkat akibat kesulitan yang dihadapi anak dan remaja untuk kembali dan tetap bersekolah setelah penutupan sekolah dan kontraksi ekonomi yang berlangsung dalam waktu lama.

Pernyataan UNICEF juga memperingatkan, aturan pembatasan dan lockdown meningkatkan potensi bertambahnya angka kekerasan, pelecehan, dan pembiaran terkait pengasuhan anak di rumah ataupun panti asuhan.

Ada beberapa faktor risiko, misal tingginya tingkat kekerasan terhadap anak dan toleransi terhadap kekerasan rumah tangga dan perkawinan anak, dipadukan dengan tingkat stres yang lebih tinggi akibat situasi pandemi. Hal-hal ini bisa mengarah pada lonjakan laporan kasus kekerasan terhadap anak di ranah rumah tangga.

Laporan dari negara-negara lain menunjukkan, adanya peningkatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak-anak akibat pemberlakuan karantina wilayah.

Sebagaimana tulisan berjudul Mengembalikan Ketahanan: Dampak COVID-19 terhadap Kesehatan Mental dan Penggunaan Obat, ada kekhawatiran terkait pendapatan ditambah dengan meningkatnya tekanan bagi orang tua dan pengasuh untuk mengurus dan membantu mereka belajar.

Akibatnya, menimbulkan stres yang tidak biasa yang dapat berujung pada terjadinya kekerasan.

Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat

anak bahagia
Agar anak tidak kena dampak panjang COVID-19. /Photo by Nghĩa Phạm from Pexels

Agar pandemi COVID-19 tidak menyebabkan kerugian jangka panjang terhadap masyarakat Indonesia, UNICEF memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah, antara lain:

1. Dukung keluarga memenuhi kebutuhan dan mengasuh anak: Segera perluas cakupan dan manfaat jaminan sosial agar bisa melayani semua keluarga yang terdampak secara ekonomi oleh pandemi.

2. Dukung keluarga memenuhi kebutuhan gizi anak: Sosialisasikan panduan dan sediakan sarana pelayanan gizi esensial berkelanjutan untuk remaja, perempuan usia subur, ibu hamil dan menyusui, dan balita.

Misalnya, pengawasan dan dukungan pertumbuhan, pemberian suplemen nutrien mikro, konseling gizi untuk ibu, konseling pemberian makan untuk bayi dan balita, pembagian biskuit tinggi energi, dan penapisan serta perawatan untuk kasus kurus parah (severe wasting).

3. Dukung anak agar tetap belajar: Perluas opsi metode belajar dari rumah agar tersedia pula metode yang minim atau tanpa teknologi, awasi pembelajaran dan partisipasi murid melalui platform daring, kedepankan prinsip “lebih sedikit namun berkualitas” yaitu dengan berfokus mengajarkan keterampilan dan pengetahuan paling esensial dalam situasi keterbatasan sumber daya, dan berikan guru dukungan dan bimbingan terkait pengajaran jarak jauh.

4. Lindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan: Berikan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial kepada anak yang rentan; rumuskan strategi untuk menjawab risiko kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak, termasuk pemetaan layanan, penyediaan panduan rujukan, perluasan mekanisme pelaporan dan respons.

Pastikan pekerja sosial dapat bekerja dengan aman menggunakan alat pelindung agar pelayanan dan manajemen kasus bisa terus diselenggarakan untuk kelompok yang paling rentan.

5. Sediakan pendanaan publik untuk anak: Pastikan bahwa pengurangan pendanaan dan pengalokasian ulang anggaran pemerintah dalam rangka penanggulangan pandemi tidak mengganggu pelayanan untuk anak di sektor seperti pendidikan dan pelayanan sosial.

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya