Kasus Langka, Wanita Mengalami Kebocoran Cairan Otak Setelah Tes Swab COVID-19

Seorang wanita berusia 40-an yang didiagnosis mengalami kebocoran cairan otak setelah dinyatakan positif COVID-19

oleh Fitri Syarifah diperbarui 06 Okt 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 22:00 WIB
Ilustrasi kesehatan otak
Ilustrasi kesehatan otak (Photo by VSRao on Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Hampir setiap orang di seluruh penjuru dunia menjalani tes COVID-19. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), terdapat lebih dari 79 juta warga AS telah menjalani tes COVID-19 hingga Jumat (2 Oktober 2020). Semuanya dilakukan tanpa masalah. Tetapi sebuah laporan yang diterbitkan Kamis (1 Oktober 2020) menyoroti satu komplikasi yang sangat langka yang terjadi setelah melakukan tes COVID-19 pada seorang wanita, yaitu kebocoran cairan otak.

Seorang wanita berusia 40-an yang didiagnosis mengalami kebocoran cairan otak setelah dinyatakan positif COVID-19, menurut laporan JAMA Otolaryngology-Head & Neck Surgery.

Wanita tersebut menjalani tes COVID-19 sebelum menjalani operasi untuk masalah hernianya. Namun tak lama setelah ia melakukan tes, ia mengalami gejala COVID-19, termasuk hidung meler di salah satu lubang hidung, rasa logam di mulutnya, sakit kepala, leher kaku, muntah, dan kepekaan terhadap cahaya.

Setelah diperiksa, dokter menemukan ada cairan bening yang keluar dari sisi kanan hidungnya. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dengan nasofaringoskopi, prosedur memasukkan tabung teropong fleksibel melalui hidung ke bagian belakang tenggorokan. Namun dokter tersebut hanya melihat massa, tidak menemukan sumber cairan.

Kemudian drainase hidungnya dianalisis dan hasilnya positif untuk beta-2 transferin, yang seharusnya ada dalam cairan serebrospinal (alias otak).

Untuk memastikan hal tersebut, wanita itu menjalani CT scan dan MRI. Baru kemudian jelas bahwa wanita tersebut mengalami encephalocele (ensefalokel), atau cacat di dasar tengkoraknya, yang membuat lapisan otaknya menonjol ke hidungnya. Yang mana itu rentan pecah, terutama saat ditusuk dengan sesuatu seperti perlakuan saat nasal swab (usap hidung).

Kemudian dokter memperbaiki ensefalokelnya dan kini wanita tersebut menjalani perawatan medis di University of Iowa Hospitals and Clinics untuk pemantauan neurologis dan manajemen drainase lumbal.

Ini memang terdengar menakutkan, terlebih lagi tes swab sudah menjadi umum karena COVID-19. Namun, ada poin penting yang lebih perlu dan mendesak untuk Anda perhatikan agar tidak menghalangi Anda menjalani tes COVID-19 nanti.

Pertama, ketahui cara kerja tes nasofaring untuk COVID-19. Pengujian nasofaring menggunakan usap nasofaring, yang memiliki poros panjang dan fleksibel yang terbuat dari plastik atau logam dan ujung yang terbuat dari poliester, rayon, atau nilon menurut New England Journal of Medicine (NEJM). Pada sasarnya terlihat seperti Q-tip (korek kuping) yang sangat panjang.

Selama pengujian, praktisi medis akan meminta Anda memiringkan kepala sedikit ke belakang dan memasukkan kapas ke sepanjang septum (tepat di atas dasar saluran hidung) ke nasofaring (bagian atas tenggorokan yang terletak di belakang hidung) Anda, sampai beberapa resistensi dirasakan, kata NEJM.

Praktisi akan membiarkan kapas di tempatnya selama beberapa detik untuk menyerap sekresi dan kemudian akan perlahan-lahan mengeluarkannya sambil memutarnya. Setelah itu, swab akan dimasukkan ke dalam tabung dan dikirim ke laboratorium untuk diuji.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Juga Video Berikut Ini:


Seberapa umum tes COVID-19 menyebabkan kebocoran cairan otak?

Richard Watkins, MD, seorang dokter penyakit menular di Akron, Ohio, dan seorang profesor penyakit dalam di Northeast Ohio Medical University mengatakan bahwa kondisi seperti ini sangat jarang. Maka dari itu kasus seperti ini hanya ada di laporan kasus-kasus unik/langka.

Para penulis penelitian juga mengakui kelangkaan situasi tersebut, yang merupakan riwayat medis wanita tersebut, sehingga mereka memilih untuk menutupinya. "Kami menerbitkan ini karena itu memang terjadi, tetapi juga perlu menyadarkan orang-orang yang mungkin pernah menjalani operasi dan memiliki faktor predisposisi (memiliki diagnosis ensefalokel)," rekan penulis studi Jarrett Walsh, MD, PhD, asisten profesor otolaringologi di University of Iowa, seperti dilansir Health.com.

"Secara umum, untuk sebagian besar masyarakat, hal ini sangat jarang terjadi. Jika Anda perlu mengambil sampel, Anda bisa melakukannya dengan aman," tambah dr. Walsh.

"Wanita ini secara khusus memiliki beberapa faktor predisposisi yang membuatnya mengalami komplikasi ini," kata dr. Walsh. Ensefalokel secara dramatis meningkatkan risikonya mengalami kebocoran cairan otak. Riwayat operasi sinusnya (polip hidungnya dilaporkan telah diangkat 20 tahun yang lalu), mungkin juga meningkatkan kemungkinan komplikasi.

Dr. Walsh juga mencatat bahwa sebelumnya wanita tersebut juga memiliki diagnosis hipertensi intrakranial, yaitu peningkatan tekanan di tengkorak. "Itu dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal secara spontan. Diagnosis hipertensi intrakranial tersebut mungkin yang membawanya menjalani kondisi ini. Dia hanya sedang tidak beruntung," kata Dr. Walsh.

"Meskipun tes swab untuk COVID-19 tidak diketahui menyebabkan efek samping, karena kebanyakan orang tidak mengalami gejala apa-apa setelahnya, ini adalah pengingat yang baik bahwa orang harus menjalani tes oleh personel terlatih," kata Dr. Watkins.

Benjamin Bleier, MD, direktur operasi dasar tengkorak endoskopi di Mass Eye and Ear, setuju, menambahkan bahwa meskipun kasus ini sangat jarang, itu adalah masalah yang diketahui di komunitas medis. "Ketika dilakukan oleh orang yang terlatih dengan baik, risikonya sangat rendah, tetapi tidak mengherankan bagi kami di komunitas kami bahwa ini tetap bisa terjadi," katanya.

Secara keseluruhan, jika Anda dites COVID-19 dan Anda mengalami sakit kepala atau nyeri parah yang tidak kunjung membaik setelah beberapa jam maka penting untuk memeriksakan diri ke dokter, saran Dr. Watkins. Tetapi sekali lagi, ini adalah komplikasi yang sangat tidak umum dan tidak memvalidasi tes COVID-19 sebelumnya. "Ini sangat jarang, [Itu] seharusnya tidak menghalangi seseorang untuk menjalani tes (COVID-19)," kata Dr. Watkins.


Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona

Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya