Liputan6.com, Jakarta - Banyaknya hoaks tentang vaksin COVID-19 membuat sebagian masyarakat ragu menerimanya. Dalam hal ini, para pemimpin menjadi kunci perubahan perilaku dan sudut pandang masyarakat terhadap vaksin.
Seperti disampaikan praktisi kesehatan masyarakat Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, DR. Dr. Budi Laskono, MHSc. Ia melihat bahwa pemberian contoh oleh para pemimpin dalam vaksinasi COVID-19 perdana dapat mengubah keraguan masyarakat.
Baca Juga
“Yang menarik adalah bagaimana LEADERSHIP menjadi kunci perubahan persepsi dan perilaku masyarakat dalam penerimaan vaksinasi,” tulis Budi dalam pesan teks yang dibagikan kepada Liputan6.com, Senin (25/1/2021).
Advertisement
Setelah tahap penyuntikan perdana, masih ada banyak tahapan dalam perjalanan vaksinasi baik dari sisi pengadaan, distribusi, hingga kelola kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
Budi menambahkan, dalam teori perubahan perilaku ada beberapa fase orang untuk bisa memahami pengetahuan baru. Fase-fase ini membutuhkan waktu lama untuk dilalui, apalagi jika ditambah hoaks.
Ketika informasi baru sudah menjadi pengetahuan baru dan persepsi sehat, belum tentu akan mengubah perilakunya. Di sinilah fenomena perubahan perilaku yang dipelajari ahli kesehatan ternyata tidak sederhana, katanya.
Pengetahuan, pendidikan, status sosial dan ekonomi mendasari bagaimana informasi membentuk persepsi. Ketika informasi sudah di otak, maka persepsi yang muncul adalah persepsi untung dari rugi.
“Bila seseorang menemukan keuntungan vaksinasi maka akan terdukung perubahan perilaku menerima vaksinasi. Bila persepsi rugi yang muncul, maka akan menjadi penghalang penerimaan.”
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Berikut Ini:
Faktor Enable
Ketika persepsi sudah terbentuk positif pun, belum tentu perubahan perilaku akan terjadi, lanjut Budi.
Saat ini, banyak orang sudah sadar pentingnya penggunaan masker. Namun, masih ada beberapa orang yang tidak taat. Dalam kajian perubahan perilaku hal ini disebut faktor enable. Faktor ini membuat seseorang mungkin bisa atau gagal melakukan sesuatu.
Faktor ini juga disebut sebagai “pemungkin”. Seseorang akan melakukan vaksinasi atau mentaati penggunaan masker jika faktor pemungkinnya mendukung.
Misal, orang lebih mungkin melakukan vaksinasi jika ia dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah, jaraknya dekat, ada transportasi untuk datang ke fasilitas tersebut dan faktor lain yang memudahkannya.
“Dalam vaksinasi sepertinya tidak ada masalah karena vaksinasi bisa dilakukan di puskesmas atau bahkan bila pada fase massal, bisa dilakukan di posyandu atau RT masing-masing.
Kendala akses vaksinasi biasanya ditemui di daerah pedalaman. Akses yang jauh dan tidak bisa dijangkau menyulitkan warga untuk melakukan vaksinasi. Pada akhirnya, mereka lebih memilih untuk tidak divaksinasi.
“Secara umum perilaku masyarakat belum menunjukkan ketaatan yang maksimal. Keadaan ini bukan terjadi di satu kota atau provinsi tetapi hampir pada semua provinsi,” pungkasnya.
Advertisement