Liputan6.com, Jakarta - Hadirnya vaksin--termasuk yang paling baru vaksin COVID-19--membawa beberapa istilah penyerta. Dua di antaranya adalah efikasi dan efektivitas vaksin.
Sebagian masyarakat memaknai kedua istilah tersebut sebagai istilah yang mengacu pada arti yang sama. Namun, sebetulnya keduanya memiliki perbedaan.
Baca Juga
Seperti yang disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof dr Tjandra Yoga Aditama Sp P(K), MARS, DTM&H, DTCE, bahwa efikasi dan efektivitas itu berbeda.
Advertisement
"Kita perlu tahu perbedaan efikasi dan efektivitas, seakan-akan sama tapi sebenarnya punya arti yang berbeda. Efikasi itu adalah hasil uji klinik,” ujar Tjandra dalam webinar Kementerian Kesehatan, Rabu (3/2/2021).
"Jadi kalau hasil uji klinik mengatakan 80 persen, 65 persen, 75 persen itu adalah hasil uji klinik. Angka hasil uji klinik disebut efikasi.”
Sedang, efektivitas adalah angka nyata di lapangan. Angka efektivitas berkaitan erat dengan penerima vaksin di lapangan dan proses distribusi vaksin ke pelosok negeri yang melalui perjalanan sampai berjam-jam yang pada akhirnya menurunkan kualitas vaksin.
“Situasi uji klinik tidak sama dengan situasi di lapangan, maka angka efektivitas tentu lebih rendah dari angka efikasi.”
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Berikut Ini
Efikasi CoronaVac
Tjandra juga membahas tentang efikasi vaksin CoronaVac. Sebelumnya, vaksin ini dikatakan memiliki efikasi 65,3 persen.
Walau angka tersebut tidak mencapai 80 atau bahkan 90 persen, tapi angka 65,3 persen bukan hal yang perlu dipermasalahkan.
“Ini tidak masalah, bukan saya, Menkes (Budi Gunadi Sadikin), atau badan pengawas obat dan makanan (BPOM) yang bilang ini tidak masalah tapi badan dunia yang bilang.”
“WHO (badan kesehatan dunia) mengatakan bahwa kita akan menggunakan vaksin kalau efikasinya lebih dari 50 persen. Jadi mau 51, 52, 60, 70, 80, 90, itu valid digunakan menurut WHO.”
Jadi, tegasnya, 65,3 persen itu sudah tidak usah diperdebatkan lagi. Sepanjang itu di atas 50 persen, berarti sudah baik untuk digunakan, tutupnya.
Advertisement