Liputan6.com, Jakarta - Irritable bowel syndrome (IBS) adalah penyakit saluran cerna fungsional dengan gejala keluhan nyeri perut, kembung, serta diare atau konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik, biasanya tidak ditemukan kelainan anatomi pada pasien-pasien IBS. Pada populasi global, IBS merupakan gangguan sistem pencernaan yang cukup sering dialami.
Baca Juga
Menurut penelitian yang telah dipublikasi di jurnal internasional Journal of Gastroenterology and Hepatology dan beberapa survei daring, dilaporkan bahwa prevalensi IBS di seluruh dunia berkisar antara 3-5 persen populasi dunia.
Advertisement
Menurut hasil penelitian terakhir yang melihat pengaruh COVID-19 terhadap IBS, ditemukan pasien dengan IBS cenderung mengalami kualitas hidup yang lebih buruk dan keengganan untuk mengikuti pembatasan sosial selama pandemi COVID-19 dibandingkan yang tidak mengalami IBS.
Selain itu, pada penelitian yang sama juga menunjukkan pada responden yang melaporkan belum pernah mengalami IBS, sebesar 4,7 persen partisipan mengalami gejala menyerupai IBS dalam 3 bulan pertama pandemi COVID-19.
Kesimpulan ini didasarkan pada penelitian multinasional yang melibatkan peneliti dari berbagai negara di Asia, seperti Singapura, Bangladesh, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Taiwan.
IBS diduga merupakan penyakit yang sensitif dengan stres. Tekanan psikososial akan berakibat negatif pada sistem pencernaan sehingga menyebabkan orang-orang semakin rentan terkena IBS, atau gejala IBS yang akan memburuk.
Kondisi pandemi sendiri menyebabkan perubahan signifikan bagi gaya hidup sebagian besar orang di dunia, hal tersebut dikhawatirkan dapat berdampak pada pasien-pasien IBS ataupun meningkatkan jumlah kasus baru IBS.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Berikut Ini
Menurut Survei Daring
Data lain yang diperoleh dari survei daring selama Mei hingga Juni 2020 menunjukkan 11,5 persen dari 2.704 responden mengungkapkan bahwa mereka mengalami IBS.
Responden yang mengaku memiliki IBS memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dari segi emosional, sosial, dan psikologis. 11,6 persen pasien IBS melaporkan gejala IBS yang memburuk, sedangkan 26,6 persen melaporkan gejala IBS yang membaik, dan 61,6 persen melaporkan tidak ada perubahan dari gejala IBS.
Pada subjek yang dalam penelitian ini mengalami perbaikan pada gejala IBS, salah satu kemungkinan penjelasan terjadinya perbaikan gejala adalah karena dalam pandemi COVID-19 ini pasien IBS ini memiliki kendali yang lebih baik dalam hidupnya. Dengan durasi kerja yang lebih fleksibel, bekerja dari rumah, serta dukungan sosial yang mendukung saat awal pandemi, stres yang dialami akan berkurang dan gejalanya akan membaik.
Dekan FKUI yang juga salah satu peneliti dalam studi tersebut, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, mengatakan bahwa studi yang telah dilakukan akan membantu pengelolaan pasien IBS selama masa sulit ini.
“Selama pandemi COVID-19, pasien IBS mengalami ‘double burden’. Sebagian pasien mengalami perburukan gejala serta merasa kesulitan mengikuti protokol kesehatan selama pandemi yang akan berisiko untuk terkena COVID-19 dengan gejala yang lebih berat,” ujar Ari mengutip keterangan pers FKUI, Jumat (26/3/2021).
“Semoga dari studi yang telah dilakukan ini, tenaga kesehatan turut memerhatikan kualitas hidup pasien-pasien IBS, tidak hanya dari penyakitnya saja, tapi memerhatikan kualitas hidup pasien,” tutup Ari.
Advertisement