Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 sudah genap dua tahun berjalan. Tak dapat dipungkiri, penanganannya di Indonesia terutama pada fase awal begitu membingungkan dan mengkhawatirkan.
Segenap aturan dan persiapan belum digodok secara matang di kota-kota besar maupun yang jauh dari jangkauan seperti Papua Barat.
Baca Juga
Selang waktu berjalan, kisah salah satu dokter yang bertugas di sana sejak awal untuk menghadapi pandemi COVID-19 pun diungkapkan ke publik.
Advertisement
Dokter spesialis penyakit dalam di RSUD Fakfak, Papua Barat, dr Subhan Rumoning mengungkapkan bahwa saat COVID-19 mulai melanda dirinya bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyelamatkan sekitar 97 ribu warga Kabupaten Fakfak.
"Dokter dan nakes jumlahnya terbatas di Fakfak. Sehingga memang mereka sudah diprogram untuk di IGD saja, tapi COVID-19 di tempat lain, di ruang perawatan, di tempat karantina, di puskesmas, saya yang harus pergi sendiri ke sana," ujar Subhan dalam webinar bertema Membangun Kesehatan Indonesia dari Tapal Batas belum lama ini.
"Jadi enggak pakai jam. Merawat pasien COVID-19Â itu setiap ada kegawatdaruratan harus naik, harus lihat. Mau jam tiga pagi, mau jam dua pagi, modalnya apa, masuk dan periksa,"Â dia menambahkan.
Dokter Subhan menjelaskan kondisi tersebut dialaminya pada fase awal COVID-19Â saat seluruh masyarakat masih begitu ketakutan. Bahkan, rumah yang ditinggalinya pun terus-menerus didatangi pasien.
"Jadi rumah itu ya bunyi saja terus. Dok, dok... Kalau di telpon enggak bisa, pasti ke rumah. Rumahnya kan di dalam rumah sakit. Jadi jam berapapun saya harus siap," kata Subhan.
Memakamkan pasien
Menurut Subhan, salah satu pengalaman yang membekas adalah ketika harus memakamkan pasien COVID-19 tengah malam. Dimana lokasinya berada jauh di hutan dan tak ada petugas yang siap di tempat untuk melakukannya.
"Awal-awal pemakaman COVID-19 begitu luar biasa. COVID-19 itu masih susah pemakaman. Kami harus memakamkan di sebuah tempat, di hutan gitu di atas yang memang sudah disiapkan," ujar Subhan.
Akhirnya Subhan dan rekan-rekannya yang adapun mengerjakannya sendiri selama beberapa jam. Pemakaman yang disediakan pun hanya berupa tanah kosong yang belum digali.
"Pasiennya meninggal tengah malam, jadi makamnya harus kita siapkan. Sampai di sana petugasnya juga tidak ada, jadi kita tinggal berlima saja (mengurus pemakaman) hanya ditinggalkan senter dan sekop --- digali pakai sekop dari jam 11 sampai jam tiga pagi untuk menguburkan itu," ujarnya.
Advertisement