Liputan6.com, Jakarta Usai istri mencabut laporan polisi terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan pasangan, lalu suami meminta maaf dan mengaku menyesal. Apa benar pelaku KDRT akan berubah alias tidak melakukan kekerasan lagi ke pasangan?
Psikolog klinis Nirmala Ika menjelaskan bahwa bisa saja pelaku berubah tidak lagi melakukan kekerasan. Namun, ada beberapa hal yang perlu dilalui seorang perilaku.Â
Baca Juga
Hal pertama dan mendasar adalah pelaku sadar bahwa yang selama ini lakukan itu salah. Kalau tidak merasa bersalah ya tidak akan terjadi perubahan alias kembali melakukan kekerasan.
Advertisement
Kemudian ketika mau berubah, ada proses panjang yang ditempuh pelaku. Hal ini lantaran pelaku harus membongkar nilai-nilai yang selama ini dia anut seperti disampaikan Ika via telepon dengan Health-Liputan6.com pada Sabtu, 15 Oktober 2022.
Dalam banyak kasus pelaku kekerasan biasanya juga korban kekerasan. Misalnya saat kecil, ibunya melakukan kekerasan ke dirinya ketika tidak menuruti perintah. Contoh lain, pelaku biasa melihat ayahnya melakukan kekerasan saat mengontrol sang ibu. Bagi dia, kekerasan adalah hal biasa yang ia alami sejak kecil. Padahal itu hal yang keliru.
"Berarti disini mesti ada perubahan perilaku yang harus dilakukan yakni kalau marah itu harus seperti apa? Bukan tidak boleh marah tapi kalau marah itu seperti apa? Mengubah marah tidak harus dengan teriak dan lempar-lempar barang itu enggak gampang," kata Ika.
Ika menganalogikan saat seseorang mengubah kebiasaan makan. Biasanya makan mi ayam itu udah enak banget. Kemudian harus ganti jadi bihun ayam. Nah, perubahan seperti itu saja tidak mudah.
"Butuh waktu dan kerja keras juga dari pelaku sendiri untuk mau merubah itu."
Membongkar Masa Lalu
Selain itu, terapi konseling bisa dilakukan untuk membantu. Namun, proses ini tidak gampang dan butuh waktu. Ini berarti harus membongkar masa lalu dia untuk menemukan penyebab luka di masa lalu.
"Itu memang enggak nyaman banget bagi pelaku membongkar masa lalu. Ada orang yang untuk membongkar detil-detil luka di masa lalu itu terasa berat. Namun kalau luka itu tidak dihadapi itu makin akan sulit untuk mengontrol diri," tutur Ika.
Maka dari itu diperlukan kerja keras dari pelaku untuk melakukan perubahan perilaku dan mengubah nilai-nilai yang selama ini dia anut.
Advertisement
Faktor Penyebab KDRT
Mengutip laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anaka, terdapat empat faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan. Keempat faktror ini diketahui lewat Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016, yakni:
Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini berisiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.
Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain berisiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Lalu, perempuan yang memiliki suami menganggur, minum miras, pengguna narkoba juga rentan mengalami kekerasan fisik maupun seksual
Â
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan.
Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.
Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan
Advertisement