Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per 24 Oktober, setidaknya terdapat 255 anak Indonesia yang mengalami gagal ginjal akut. Sebelumnya, pihak pemerintah pun telah memberikan rumah sakit rujukan untuk pasien.
Selain itu, Juru Bicara Kemenkes RI, dr Mohammad Syahril memastikan bahwa seluruh biaya pengobatan gagal ginjal akut sendiri akan ditanggung oleh pihak pemerintah.
Baca Juga
"Pembiayaan memang ini melalui skema jaminan kesehatan nasional atau BPJS bagi yang memang anggota. Kedua, bagi yang betul-betul tidak mampu, maka pemerintah daerah atau pusat akan menanggung semuanya," ujar Syahril dalam konferensi pers Perkembangan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia, Selasa (25/10/2022).
Advertisement
Begitupun dengan obat-obatan untuk gagal ginjal akut. Syahril mengungkapkan bahwa obat-obatan untuk gagal ginjal akut seperti obat antidotum juga akan ditanggung oleh pemerintah sepenuhnya.
"Untuk obat antidotum yang didatangkan dari Australia, Singapura, mungkin nanti rencana Jepang dan Amerika, sudah disampaikan oleh Bapak Menteri Kesehatan, menjadi tanggungan dari pemerintah," kata Syahril.
Syahril menjelaskan, obat antidotum digunakan karena memang ketersediaan dan efektivitasnya. Obat tersebut pun telah mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan efektivitas mencapai 90 persen.
"Dari 11 pasien yang diberikan pengobatan, itu 10 memberikan perbaikan klinis yang sangat bermakna," ujar Syahril.
Sejauh ini, terdapat 14 rumah sakit rujukan untuk gagal ginjal akut yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Salah satunya berada di Jakarta yakni di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
255 Kasus, 143 Meninggal Dunia
Dalam kesempatan yang sama, Syahril mengungkapkan bahwa penambahan kasus gagal ginjal akut dilaporkan oleh 26 provinsi. Selain itu, angka kematian dari kasus gagal ginjal akut pun ikut bertambah.
"Perkembangan kasus gagal ginjal akut per 24 Oktober terdapat 255 kasus, yang berasal dari 26 provinsi. Dan yang meninggal sebanyak 143 atau angka kematiannya 56 persen," ujar Syahril.
Syahril menjelaskan, penambahan tersebut sebenarnya bukan merupakan kasus gagal ginjal akut baru. Melainkan kasus yang baru saja dilaporkan dan datanya baru ikut dimasukkan dalam daftar.
"Ini adalah kasus yang lama terlambat dilaporkan, yang terjadi pada bulan September dan awal Oktober 2022. Jadi bukan kasus baru," kata Syahril.
"Kasus gagal ginjal ini terjadi setiap tahunnya. Namun demikian jumlahnya sangat kecil yaitu 1-2 kasus setiap bulan. Kasus gagal ginjal baru menjadi perhatian pemerintah setelah terjadi lonjakan pada akhir bulan Agustus dengan jumlah kasus lebih dari 35."
Advertisement
Gagal Ginjal Akut Tidak Jadi KLB
Di tengah tingginya kasus yang terjadi secara mendadak dan ditambah dengan angka kematian yang jumlahnya mencapai ratusan, gagal ginjal akut belum ditetapkan menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).
Syahril mengungkapkan bahwa respons yang diberikan oleh pihak pemerintah sebenarnya telah mengacu pada KLB.
"Respons-respons cepat dan secara komprehensif itu sudah kita lakukan sebagai respons dalam kasus atau keadaan KLB. Sebagai contoh, kita melakukan koordinasi yang ketat antara pusat dan daerah, antara Kementerian Kesehatan dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), kemudian juga dengan IDAI, dan seterusnya," kata Syahril.
Penelitian dan larangan terkait obat sirup juga telah diberikan. Serta, pihak Kemenkes RI pun mendatangkan obat-obatan untuk gagal ginjal akut dari luar negeri.
"Nah istilah KLB memang di dalam UU wabah dan Permenkes memang hanya disebutkan sebagai penyakit menular. Dengan keadaan begini, maka kita sudah menyiapkan bahwa keadaan ini sama dengan KLB, cuma namanya saja biar tidak melanggar UU atau peraturan sebelumnya yang mendasari penetapan KLB," ujar Syahril.
Lonjakan Kasus Akibat Intoksikasi Obat
Lebih lanjut Syahril menjelaskan bahwa lonjakan kasus gagal ginjal akut diduga terjadi karena adanya cemaran senyawa kimia pada obat tertentu. Sebagian obat itu kini telah teridentifikasi oleh pihak Kemenkes RI.
"Jadi kasus gagal ginjal akut ini bukan disebabkan oleh COVID-19, vaksinasi COVID-19, atau imunisasi rutin. Kementerian Kesehatan telah bergerak cepat, merespons cepat," kata Syahril.
"Di samping melakukan surveilans atau penyelidikan epidemiologi, terus melakukan penelitian-penelitian untuk mencari sebab terjadinya gagal ginjal akut."
Syahril menjelaskan, diantaranya Kemenkes RI telah mengidentifikasi kasus yang disebabkan oleh adanya infeksi, dehidrasi berat, pendarahan berat, keracunan makanan dan minuman.
"Dengan upaya itu, Kementerian Kesehatan dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan organisasi profesi terkait telah menjurus kepada salah satu penyebab yaitu adanya keracunan atau intoksikasi obat," ujar Syahril.
Advertisement