Layanan BPJS Kesehatan untuk Pasien Gagal Ginjal Dinilai Masih Perlu Dikembangkan

Yayasan Jaga GinjaI Indonesia (JGI) menilai implementasi program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) masih perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan dari berbagai sisi.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 16 Feb 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2023, 10:00 WIB
Permenkes No 30 Tahun 2019 Ancam Pelayanan Cuci Darah
Perawat memeriksa kondisi pasien yang sedang cuci darah menggunakan alat Fresenius Medical Care dan B Braun di Ruang Hemodialisis RSUD Tangerang Selatan, Banten, Rabu (6/11/2019). Menurut Permenkes No 30 Tahun 2019, cuci darah hanya boleh dilakukan rumah sakit tipe A dan B. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Jaga Ginjal Indonesia (JGI) menilai implementasi program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) masih perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan dari berbagai sisi.

Beberapa yang perlu diperhatikan misalnya terkait aturan teknis pelayanan kesehatan, pelayanan obat, hingga teknis dalam pelaksanaan terapi tertentu. Salah satunya yaitu dialisis atau cuci darah pada pasien gagal ginjal kronik.

Hal ini penting bagi pasien gagal ginjal kronik mengingat mereka harus melakukan dialisis seumur hidup secara rutin. Maka, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup pasien dialisis ini, JGI menyatakan perlu adanya kolaborasi yang baik. Khususnya terkait standar pelayanan pada fasilitas kesehatan.

Penasihat Yayasan JGI dr. Jonny, SpPD-KGH, MKes, MM, DCN, mengatakan bahwa kolaborasi dari berbagai stakeholders menjadi kunci peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satunya dalam pelayanan terhadap pasien gagal ginjal dalam menjalani dialisis.

Stakeholders yang dimaksud termasuk pemerintah (Kemenko PMK dan Kementerian Kesehatan), BPJS Kesehatan, rumah sakit, asosiasi medis, komunitas pasien, hingga masyarakat.

“Penetapan aturan yang lebih ideal perlu dilakukan, salah satunya seperti dikeluarkannya aturan terbaru mengenai tarif pelayanan Kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Kementerian Kesehatan (dalam PMK no.3/2023),” kata Jonny dalam konferensi pers daring, Rabu (15/2/2023).

Pasalnya, pada pelaksanaan di lapangan, terkadang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan demi pelaksanaan program JKN yang lebih baik.

Usulan Yayasan JGI

Misalnya, lanjut Jonny, aturan terkait menunggu tujuh hari sebelum memeriksakan diri ke dokter yang sama, rawat inap hanya tiga hari, dan perbedaan jenis obat yang diberikan oleh rumah sakit.

“Hal-hal seperti ini mungkin akan membingungkan pasien. Pada akhirnya pengobatannya pun kurang optimal,” Jonny mengatakan.

Hal-hal tersebut, mendorong Yayasan JGI untuk memberikan usulan khususnya dalam pelayanan dialisis.

“Beberapa usulan misalnya seperti menghapuskan rujukan berjenjang bagi pasien yang bersifat tetap, seperti yang tengah menjalani terapi Hemodialisis (HD) maupun Continuous Ambulatory Peritonial Dialysis (CAPD).”

Bagi jenis obat yang digunakan, agar lebih transparan terhadap pasien, ada baiknya segel dializer single use dibuka di hadapan pasien dan dikonfirmasikan bahwa sesuai dengan yang seharusnya. Untuk dosis obatnya pun harus selalu sesuai dengan yang diresepkan, di mana pun rumah sakitnya dan lain sebagainya, usul Jonny.

Wadah Pengaduan

Jonny juga mengusulkan adanya wadah pengaduan untuk mempermudah pelaporan pelanggaran yang bisa terjadi di kemudian hari.

“Ada baiknya disediakan wadah pengaduan apabila ada pelanggaran dalam pelaksanaan program bantuan layanan kesehatan ini, apalagi bagi pasien dialisis. Karena sejauh ini, salah satu tantangannya adalah transparansi dari berbagai pihak.”

“Inilah yang membuat pentingnya forum diskusi, sehingga ke depannya, kita bisa berkolaborasi untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih sehat,” katanya.

Dia menjelaskan, salah satu yang disoroti dalam penyediaan bantuan layanan kesehatan adalah penyakit gagal ginjal.

Penyakit ini masih menjadi masalah serius yang perlu ditanggulangi di Indonesia. Di mana tingkat kejadian gagal ginjal yang kronik meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018.

Dengan demikian, angka kejadiannya sebesar 0,38 persen dibanding jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 252.124.458 jiwa pada 2018. Artinya, terdapat 713.783 orang yang mengidap gagal ginjal kronis di Indonesia dan sangat memerlukan terapi, salah satunya dialisis.

“Oleh sebab itu, penyakit ini menjadi salah satu penyakit yang diutamakan penyelesaiannya oleh Kemenkes RI.”

Termasuk Penyakit Katastropik

Gagal ginjal sendiri termasuk dalam kelompok penyakit katastropik pada program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Artinya, penyakit ini memerlukan perawatan medis jangka panjang dan menguras biaya yang tinggi. Program bantuan layanan kesehatan untuk pasiennya sangat dibutuhkan sehingga bisa menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit ini.

“Agar semuanya berjalan dengan lancar, kembali lagi, setiap aturan yang ditetapkan perlu dijalankan dengan baik agar proses pengajuan program JKN untuk dialisis bisa berjalan secara ideal,” tutup Jonny.

Infografis Penawar Racun & Silang Tunjuk Kasus Gagal Ginjal Akut Anak
Infografis Penawar Racun & Silang Tunjuk Kasus Gagal Ginjal Akut Anak (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya