Anak Berhak Bersuara tapi Budaya Patriarki Kadang Jadi Hambatan

Namun, budaya patriarki sering kali menjadi tembok penghalang yang membuat suara anak tidak dianggap penting.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 04 Des 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2024, 18:00 WIB
Contoh ilustrasi Overthinking
Anak berhak untuk bersuara namun terkadang karena dianggap masih anak-anak membuat suara mereka dianggap tak penting. (Photo by Unsplash.com/ 胡 卓亨)

Liputan6.com, Jakarta Suara anak adalah hak yang diakui dalam berbagai regulasi nasional maupun internasional. Namun, budaya patriarki sering kali menjadi tembok penghalang yang membuat suara anak tidak dianggap penting.

Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu, menjelaskan bahwa anggapan ini berakar dari pandangan yang menempatkan orang dewasa terutama pria sebagai pihak yang lebih tahu segalanya termasuk soal anak. 

“Budaya patriarki menciptakan anggapan suara anak dianggap tidak penting sebab orang dewasa dianggap lebih memahami kondisi, padahal anak lebih tahu kondisinya saat ini,” ungkap Pribudiarta dalam edisi pertama Serial Dialog Perlindungan Anak bersama Wahana Visi Indonesia secara daring akhir November 2024. 

Padahal dalam mewujudkan sebuah kebijakan terkait anak, penting untuk melibatkan anak-anak. Termasuk soal kebijakan untuk melindungi anak dari kekerasan. 

"Sebagai wujud dari hak partisipasi, anak sebagai pemegang peran utama perlu dilibatkan dan didengar sebagai salah salah satu referensi kebijakan. Tiap anak memiliki hak yang perlu diperhatikan, dihargai, dan dipenuhi,” kata Technical Sectors Director Wahana Visi Indonesia, Yacobus Runtuwene di kesempatan sama. 

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah dan berbagai lembaga terus berupaya membuka ruang partisipasi anak. Termasuk lewat serial Dialog Perlindungan Anak dengan dukungan dari KemenPPPA, yang dilakukan secara bertahap hingga April 2025.

"Kegiatan ini telah menambah ruang bagi anak-anak Indonesia untuk menyampaikan aspirasi, sehingga semakin inklusif perencanaan yang dibuat oleh pemerintah,” kata Pribudiarta.

 

 

Griselda Wakili Anak Indonesia di Konferensi Internasional

edisi pertama Serial Dialog Perlindungan Anak bersama Wahana Visi Indonesia secara daring akhir November 2024.
Edisi pertama Serial Dialog Perlindungan Anak bersama Wahana Visi Indonesia secara daring akhir November 2024.

Salah satu inisiatifnya adalah pelibatan anak-anak dalam forum-forum diskusi kebijakan, seperti Konferensi Tingkat Menteri di Kolombia yang dihadiri perwakilan anak Indonesia, Griselda.

"Konferensi ini membahas tentang pengakhiran kekerasan pada anak. Saya mendapat kesempatan untuk berdiri di hadapan Menteri seluruh dunia untuk menyampaikan suara saya dan teman-teman saya untuk pelibatan anak-anak secara aktif dalam mengakhiri kekerasan pada anak," kata Griselda.

Pengalaman ini menjadi bukti bahwa suara anak tidak hanya mampu memberikan perspektif segar, tetapi juga memperkaya perencanaan pembangunan. Griselda, yang juga seorang difabel, menyampaikan tekadnya untuk terus memperjuangkan kesetaraan.

“Saya bangga dapat menyampaikan suara saya dan teman-teman saya untuk pelibatan anak-anak secara aktif dalam mengakhiri kekerasan pada anak,” katanya.

 

Pemerintah Desa Perlu Dengar Aspirasi Remaja

Di tingkat lokal menurut Ridya, anggota Dewan Penasihat Anak Wahana Visi Indonesia, menekankan pentingnya dukungan pemerintah desa dalam mendengar aspirasi anak. 

"Pemerintah kecamatan dan desa sudah mendukung suara anak dengan mendengar dan mendanai kegiatan. Perlu perhatian khusus pemerintah desa untuk bersama-sama mengevaluasi kegiatan Posyandu Remaja karena anak-anak remaja masih kurang berminat bergabung," kata Ridya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya