Liputan6.com, Jakarta - Hukum menjual kulit hewan kurban diantara para ulama saling berbeda pandangan. Akan tetapi, mayoritas di antara mereka melarang menjual kulit hewan kurban. Ini termasuk ada yang melarangan menjual kulit hewan kurban untuk kepentingan masjid oleh para panitia kurban, bahkan untuk keuntungan pribadi.
Baca Juga
Advertisement
Menjual kulit hewan kurban haram dan dilarang dalam Islam, tetapi jika ditukarkan dalam arti bukan menjual maka diperbolehkan. Dalam penelitian berjudul Studi Jual Beli Kulit Hewan Kurban oleh Panitia Pelaksana Kurban dalam Konsep Fikih (Studi Kasus Di Masjid Jami Assalafiyah Depok) (2020) oleh Farhan Yazid, dijelaskan sejumlah sebab larangan kulit hewan kurban dijual dan sebab diperbolehkannya dijual.
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dalam keterangan resmi yang dikutip pada, Rabu (7/6/2023) telah menegaskan pandangan terkait penerimaan dan penjualan kulit hewan kurban. Menurut para ulama fikih, jika penerima kulit hewan kurban adalah orang kaya, maka tidak boleh menjualnya. Hukum menjual kulit hewan kurban pada kesimpulannya tergantung dengan status sosial penjual.
Namun, jika penerima kulit atau daging tersebut adalah orang fakir dan miskin, maka hukum menjual kulit hewan kurban diperbolehkan dan penjualannya sah. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan dan penjualan kulit hewan kurban memiliki pertimbangan berdasarkan kondisi sosio-ekonomi penerima, sesuai dengan pandangan ulama.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hukum menjual kulit hewan kurban menurut pandangan mayoritas ulama berdasarkan penelitian Farhan Yazid, Rabu (7/6/2023).
1. Boleh Dijual dengan Syarat
Pandangan beberapa ulama, seperti Abu Hanifah, Atho, al-Auza'i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan salah satu ulama Syafi'iyah, menyatakan bahwa hukum menjual kulit hewan kurban boleh. Ketentuannya, hasil penjualan harus diberikan kepada penerima yang membutuhkan (mustahik) daging kurban.
Dalam pandangan mereka, penggunaan kulit hewan kurban sebagai sumber pendapatan yang dapat membantu mereka yang membutuhkan dianggap sah dan bermanfaat. Pendapat ini menggarisbawahi kebolehan untuk memanfaatkan seluruh bagian hewan kurban, termasuk kulitnya, sebagai cara untuk membantu orang-orang yang kurang mampu.
2. Hanya Boleh Ditukar
Imam Hanafiyah mempercayai sunnah dalam pembagian daging kurban adalah membaginya menjadi tiga bagian. Pertama, sepertiga daging kurban dikonsumsi oleh pemilik hewan tersebut. Kedua, sepertiga diberikan kepada teman-teman akrab, meskipun mereka termasuk golongan yang kaya. Ketiga, sepertiga sisanya diberikan kepada orang-orang miskin.
Selain itu, Imam Hanafiyah juga memandang bahwa kulit dan jeroan (bagian dalam) hewan kurban dapat ditukar dengan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi penerima. Dalam pandangan ulama Hanafiyah, menukar kulit dengan sesuatu yang lebih bermanfaat diperbolehkan, namun istilah "menjual" tidak digunakan secara eksplisit.
3. Tidak Boleh Dijual
Hukum menjual kulit hewan kurban menurut pandangan Maliki dan Hanbali, dilarang dan diharamkan. Menjual bagian hewan kurban tersebut tidak boleh dilakukan. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Al Mundzir dari Atho', An-Nakho'i, dan Ishaq.
"Dari Ali, beliau berkata: "Rasulullah memerintahkanku untuk mengurusi hewan kurban beliau. Aku pun lantas membagikan dagingnya, kulitnya dan pakaiannya. Beliau memerintahkan ku untuk tidak memberi upah kepada jagal dari hewan kurban, sedikit pun. Beliau bersabda, 'Kami akan memberi upah untuk jagal dari harta kami yang selainnya.''(HR. Bukhari No. 1717 dan Muslim, no. 1317)
Pandangan ini merujuk pada hadis dari Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa dalam pengurusan hewan kurban, Ali diperintahkan oleh Nabi untuk membagikan daging, kulit, dan pakaian kurban tersebut, sementara tidak memberikan upah kepada tukang potong sedikitpun. Hadis tersebut menyiratkan bahwa tukang potong tidak boleh menerima sebagian daging hewan kurban.
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa dalam konteks pembagian hewan kurban, tidak ada bagian daging yang boleh diberikan kepada tukang potong sebagai upah. Pandangan ini mencerminkan larangan menjual kulit hewan kurban.
Advertisement
4. Diharamkan dan Jual Beli Tidak Sah
Imam Syafi'i berpendapat hukum menjual kulit hewan kurban diharamkan dan jual belinya dianggap tidak sah jika penjualnya adalah orang yang berkurban atau orang kaya yang menerima kulit tersebut. Jika kulit tersebut dijual kepada pihak yang tidak berhak menerimanya (non-mustahiq), maka penjual wajib menggantinya.
Namun, jika kulit tersebut dijual kepada mustahiq, maka penjual harus mengembalikan uang yang diterima serta daging atau kulit yang telah diberikan sebagai sedekah. Namun, jika penjualnya adalah fakir miskin yang menerima kulit tersebut, maka hal ini diperbolehkan dan jual belinya dianggap sah menurut pandangan Imam Syafi'i.
Imam Syafi'i juga berpendapat, wajib bagi pemilik hewan kurban untuk menyedekahkan sebagian daging kurban kepada orang miskin, meskipun jumlahnya sedikit. Sementara itu, bagian yang tersisa diberikan kepada kerabat atau teman, baik mereka kaya maupun miskin. Pemilik hewan kurban sendiri disunnahkan untuk mengkonsumsi daging kurban tersebut sekadar satu suap.
5. Boleh Ditukar Alat Rumah Tangga
Menurut Imam An-Nakha'i dan Imam Al-Auza'i, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarhu An-Nawawi 'alaihi Shahihi Muslim, diperbolehkan untuk menukar kulit hewan kurban dengan peralatan rumah tangga yang dapat dipinjamkan, seperti timbangan dan bejana. Itu artinya hukum menjual kulit hewan kurban dilarang atau diharamkan.
Hal yang sama ditegaskan oleh Imam Nawawi. Imam Nawawi menjelaskan dalam teks-teks Mazhab Syafi'i bahwa tidak diperbolehkan menjual daging, kulit, tanduk, dan bahkan rambut hewan kurban. Selain itu, kulit juga tidak boleh digunakan sebagai upah bagi tukang jagal. Namun, orang yang berkurban diperbolehkan untuk mengambil kulit hewan kurban guna dimanfaatkan.
Â
Â