Bikin Ngakak, Alasan Habib Jindan Suka dengan Gerakan 'Cangkem Elek' Gus Baha

Rupanya ini alasan yang mendasari Habib Jindan bin Salim sangat menyukai gerakan cangkem elek Gus Baha.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Jun 2024, 14:30 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2024, 14:30 WIB
Gus Baha (SS: YT ALBA TV)
Gus Baha (SS: YT ALBA TV)

Liputan6.com, Cilacap - Ulama kharismatik yang merupakan Pengasuh Ponpes Tahfidzul Qur’an LP3IA, Narukan, Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menceritakan perihal Habib Jindan yang menyukai gerakan cangkem elek.

Ketika menyampaikan hal ini, Gus Baha sendiri merasa heran sendiri, sebab sosok dzuriyah Rasul yang satu ini tersohor dengan ucapan dan perangainya yang sangat sopan dan santun.

Cangkem elek sendiri sebenarnya istilah yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya mulut jelek atau mulut pedas.

Istilah ini dilekatkan kepada murid kesayangan Mbah Moen sebab cara ini kerap digunakannya untuk membantah sikap beragama kaum literal yang terkadang usil.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Alasan Habib Jindan Suka Gerakan Cangkem Elek

Gus Baha (SS: YT ALBA TV)
Gus Baha (SS: YT ALBA TV)

Gus Baha menuturkan rasa herannya kepada Habib Jindan yang menyukai dirinya. Adapun salah satu hal yang menyebabkan dirinya suka sebab dalam dakwah-dakwahnya menggunakan gerakan cangkem elek.

“Habib Jindan terkenal sopan, Bib anda itu sopannya seperti itu kok sama saya seneng?” terang Gus Baha sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Short @CintaRasul, Jumat (07/06/2024).

“Kulo seneng Gus dengan cangkem elek anda,” demikian jawab Habib Jindan sebagaimana dituturkan ulama asal rembang ini.

“Ha..ha..ha..aku ya bagaimana, kok bisa Bib?” kisah Gus Baha yang langsung menimpali pertanyaan kepada Habib Jindan.

Rupanya yang membuat dirinya gerakan cangkem elek Gus Baha ini sebab ayahnya sendiri melakukan hal yang sama tatkala ada orang yang usil soal wiridan menggunakan tasbih.

“Abah saya Habib Salim, itu kan aslinya orang Sasak, Surabaya, wiridan pakai tasbih dan ada orang dulu yang agak memiliki paham komunis, ditanya: “menghitung apa itu Bib,”  kisah Gus baha.

“Menghitung mbah kamu yang ada di dalam neraka,” sambungnya.

“Ha..ha…ha…,” sahut tawa hadirin.

Sekilas tentang Gerakan Cangkem Elek Gus Baha

Gus Baha dikaplok Kiai Agus Ali Mashuri, saking lucunya. (Foto Istimewa: SS YT)
Gus Baha dikaplok Kiai Agus Ali Mashuri, saking lucunya. (Foto Istimewa: SS YT)

Menukil pandangan Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M.Si  yang tertuang dalam tulisannya yang berjudul "Pentingnya Cangkem Elek dalam Beragama” via laman kemenag.go.id, menegaskan pentingnya gerakan ini untuk mengatasi sekelompok orang yang memiliki pemahaman yang sempit dalam beragama (literal).

Thobib menegaskan gerakan ini dilakukan untuk merespon sikap beragama kaum literal yang mengandung logika (critical) yang perlu diajukan untuk menghentikan keusilan mereka. Dalam membahas hal ini, Thobib juga mengulas gaya ceramah Gus Baha.

Dalam ceramahnya, Gus Baha menceritakan kejadian di Jakarta. Ada seorang yang konon berpaham keagamaan literal mempersoalkan dalil tentang "salaman" dan "wiridan" jamaah di masjid setelah salat. Mereka mempertanyakan tuntunan dari Rasulullah tentang amaliyah tersebut.

Menurut Gus Baha tentu kita kesulitan mencari hadis Nabi tentang hal itu. Kalau toh ada itu dipastikan hadisnya dhaif atau maudlu'.

Lalu kepada mereka yang usil tersebut diajukan pertanyaan dengan "cangkem elek". Pertanyaannya gini: setelah salat boleh apa tidak kita langsung main HP? Atau ke toilet untuk buang hajat? Jawaban mereka "boleh". Lho kalau boleh main HP dan buang hajat ke toilet, kenapa setelah salat tidak boleh "salaman" atau "wiridan" yang nota bene zikir (ingat) kepada Allah? Berarti habis salat tidak boleh ingat kepada Allah? Dengan pertanyaan "cangkem elek" seperti itu baru mereka diam seribu bahasa.

Ada lagi yang usil mempersoalkan tentang dalil-dalil ziarah kubur. Mereka sering mengolok-olok, kok kuburan didatangi, minta-minta kok sama orang mati, dan seterusnya. Mereka menuduh sebagai perbuatan syirik, khurafat, dan tahayyul. Intinya, amaliah-amaliah yang secara literal tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadis nabi dikategorikan sebagai perilaku bid'ah, dan setiap bid'ah itu dlalaalah (sesat).

 

Merespons Serangan Usil tentang Amaliah

Sikap keberagamaan yang "usil" dan "menyerang" amaliah orang lain seperti itu perlu direspons dengan "cangkem elek". Orang-orang ziarah ke makam itu bukan meminta-minta kepada mayyit. Mereka datang ke makam untuk membaca kalimat thayyibah, ayat-ayat Al-Qur’an, dan mendoakan kepada orang yang sudah meninggal sebagai cara untuk mengingat akan datangnya kematian. Demikian juga orang tahlilan itu yang dibaca ayat Al-Qur’an dan doa-doa kebaikan untuk si mayyit. Bukan main gaple atau remi.

Jika cara beragama kita hanya mencela amaliah orang lain, lalu apa yang bisa diamalkan dari sunnah Nabi agar kita menjaga silaturrahim, menjaga lisan agar orang lain tidak tersinggung, dan larangan untuk merasa paling benar sendiri? Janganlah mudah kita menuduh sesat dan bid'ah kepada orang lain yang sebenarnya kita tidak memahami hakikat amaliah itu.

Bukankah orang yang membaca kalimat thayyibah yang awalnya kafir secara otomatis menjadi mukmin? Kenapa begitu mudah menuduh orang lain yang "berbeda" amaliyah sebagai kelompok sesat dan pengamal khurafat? Apakah membaca tahlil (laa ilaaha illallah) dan ayat-ayat Al-Qur’an disebut khurafat? Bukankah membaca kalimat-kalimat mulia dapat dilakukan kapan pun sebagai ungkapan iman dan ketaatan kita kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an, menghadapi komentar orang usil dalam beragama yang disebabkan karena tidak memiliki pemahaman utuh sebenarnya tidak perlu direspon. Imam Syafii bernah bilang: "Aku mampu berhujah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah paham landasan ilmu." Karenanya, beliau berpesan: "Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi."

Namun, di era media sosial dan tradisi viral seperti saat ini, tetap perlu "counter narasi" sebagai upaya untuk membangun tradisi berpikir dalam beragama agar lebih bisa menerima perbedaan. Meskipun dalam kondisi tertentu, berdiam itu penting agar kita tidak terjebak dalam framing media. Akan tetapi, dalam hal-hal lain menggunakan "cangkem elek" sebagai cara untuk menyadarkan tetap diperlukan agar kita tidak dalam posisi "seakan-akan" salah. Wallahu a'lam.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya