Bolehkah Berwudhu dengan Air Satu Gayung, Sah atau Tidak?

Wudhu atau bersuci dari hadis kecil merupakan salah satu syarat sah sholat. Air sebagai sarana utama untuk berwudhu. Ini ketentuan ukuran air wudhu yang disepakati oleh para ulama.

oleh Putry Damayanty diperbarui 08 Agu 2024, 09:30 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2024, 09:30 WIB
Wajah Baru Masjid Istiqlal
Jemaah mengambil air wudhu di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (22/2/2021). Di bagian dalam renovasi dimulai dari tempat wudhu, pemasangan 3500 lampu LED, dan kipas angin pada pilar serta Mihrab setinggi 17 meter dengan ornamen Asmaul Husna. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kebersihan dan kesucian merupakan aspek yang sangat diperhatikan dalam Islam. Salah satunya kewajiban untuk bertaharah sebelum melaksanakan sholat. Rasulullah SAW bersabda:

"Allah tidak menerima sholat salah seorang di antara kamu sampai ia berwudhu." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Berdasarkan hadis riwayat di atas maka jelas bahwasanya wudhu adalah bagian yang sangat penting dalam ibadah dan termasuk bentuk kegiatan bersuci yang disyariatkan Islam.

Dalam berwudhu kita membutuhkan air. Air adalah sarana utama untuk bersuci baik dari hadis maupun najis.

Namun, ada satu hal yang menjadi polemik di masyarakat tentang orang yang berwudhu hanya dengan air satu gayung saja. Bagaimanakah hukumnya?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Jumlah Keabsahan Air dalam Berwudhu

20161202-Aksi-2-Desember-Jakarta-FF
Peserta aksi damai 212 mengambil air wudhu dengan botol air minum untuk berwudhu di Monas, Jakarta, Jumat (2/12). Dikarenakan penuhnya tempat wudhu yang telah disediakan Peserta mengambil wudhu dengan botol air minum. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Melansir dari laman NU Online, mengenai jumlah air wudhu dan mandi besar, Imam Nawawi menukil kesepakatan ulama sebagai berikut:

أجمع المسلمون على أن الماء الذي يجزئ في الوضوء والغسل غير مقدر بل يكفي فيه القليل والكثير إذا وجد شرط الغسل وهو جريان الماء على الأعضاء

Para Ulama Muslimun sepakat bahwa air yang dianggap mencukupi dalam wudhu dan mandi tidaklah ditentukan, tetapi dianggap cukup air sedikit atau banyak ketika sudah memenuhi syarat mandi [dan wudhu], yaitu mengalirkan air ke anggota tubuh.” (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz IV, halaman 2).

Jadi, jumlah batas keabsahan air sebenarnya tidak ditentukan. Selama mencukupi untuk menunaikan rukun wudhu maka tak masalah. Tetapi para ulama seluruhnya juga sepakat bahwa jumlah air wudhu tidak boleh berlebihan.

Imam Nawawi juga menukil kesepakatan ini dalam kitabnya yang lain sebagai berikut:

اتفق أصحابنا وغيرهم على ذم الإسراف في الماء في الوضوء والغسل

“Para sahabat kami (Syafi’iyah) dan selain mereka sepakat untuk mencela praktek berlebihan dalam menggunakan air, dalam wudhu dan mandi”. (an-Nawawi, al-Majmû’, juz II, halaman 190)

Makruh Berwudhu dengan Air Berlebihan

20161202-Aksi-2-Desember-Jakarta-FF
Peserta aksi damai 212 mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat jumat dalam Bela Islam III di Monas, Jakarta, Jumat (2/12). Adapun peserta massa aksi damai 212 menggunakan botol air minum untuk berwudhu. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Setelah sepakat bahwa berlebihan adalah tercela, maka pertanyaannya berapakah ukuran berlebihan ini? Ukuran tidak berlebihan ini harus dikembalikan pada kebiasaan Rasulullah ﷺ, bukan kepada selera masing-masing orang sebab akan berbeda-beda.

Dalam hal ini diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ berwudhu dengan jumlah air seperti berikut:

كَانَ النَّبِىُّ ﷺ يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ

“Nabi Muhammad ﷺ mandi besar dengan air satu sha’ hingga empat mud dan berwudhu dengan air satu mud.” (HR. Bukhari)

Jumlah satu mud air adalah sejumlah air yang diambil dengan dua telapak tangan orang dewasa ketika disatukan. Telapak tangan yang menjadi patokan adalah telapak tangan standar orang Arab, sedikit lebih lebar dari telapak tangan orang Indonesia. Dalam kitab Fath al-Qadîr Fî ‘ajâ’ib al-Maqâdîr karya Kyai Maksum bin Ali disebutkan bahwa satu mud air adalah setara dengan 786 gram. Adapun menurut kitab al-Fiqh al-Islâmiy Wa’adillatuh karya Dr. Wahbah az-Zuhaily disebutkan bahwa satu mud setara 675 gram (Juz I, halaman 533). Sedikit perbedaan jumlah ini bisa dibilang wajar mengingat ukuran sebenarnya adalah telapak tangan. Sedangkan satu sha’ adalah empat mud, inilah yang menjadi jumlah air yang dipakai Rasulullah ﷺ untuk mandi besar.

Jumlah yang sangat sedikit inilah yang menjadi patokan standar untuk berwudhu sehingga berwudhu dengan air yang jauh lebih banyak dapat dianggap berlebihan. Menjaga agar tidak berlebihan memakai air ini tetap harus diperhatikan meskipun berwudhu dari air laut sekalipun, seperti perkataan Syaikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad-nya:

مَكْرُوهُهُ فِي الْمَاءِ حَيْثُ أَسْرَفَا # وَلَوْ مِنْ الْبَحْرِ الْكَبِيرِ اغْتَرَفَا

“Makruhnya air wudhu adalah sekiranya berlebih, meskipun ia mengambil dari lautan besar.” (Nadham Zubad Ibnu Ruslân)

Kesimpulan

Keceriaan Ratusan Yatim Saat Berwudhu di Istana Negara
Sejumlah anak yatim mengambil air wudhu sebelum memasuki Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2015). Jokowi mengundang 400 anak yatim dari 12 panti asuhan yang ada di Jabodetabek untuk berbuka puasa bersama.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dengan demikian, tentang ukuran berwudhu dengan air satu gayung tidak bermasalah. Bahkan jumlah ini tergolong baik sebab lebih dekat pada aturan sunnah.

Satu mud sendiri sebagaimana dicontohkan Rasulullah ﷺ tidak sampai satu gayung dalam ukuran gayung standar yang tak terlalu kecil.

Perlu dicatat di sini bahwa jumlah yang terlalu sedikit juga makruh sebab mengkhawatirkan airnya tidak merata. Para ulama fiqih menyebut contoh yang terlalu sedikit itu misalnya dengan taqtîr atau meneteskan-neteskan air pada anggota wudhu. (lihat misalnya: al-Bujairami, Hasyiyat al-Bujairamî ‘ala al-Khathîb, Juz I, halaman 175).

Meskipun sebelumnya dinukil adanya kesepakatan ulama bahwa jumlah air wudhu tidak ditentukan, hanya saja dalam menurut satu riwayat dari Imam Abu Hanifah, jumlah satu mud adalah batas minimal berwudhu sehingga tidak boleh kurang dari itu (Muhammad Na’im, Mausû’ah Masâ’il al-Jumhûr Fi al-Fiqh al-Islâmî, juz I, halaman 89).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya