Liputan6.com, Jakarta - Bulan Rabiul Awal merupakan bulan ke tiga dalam tahun Hijriah yang memiliki keistimewaan tersendiri. Di dalamnya, terdapat beberapa kejadian serta hal-hal penting dalam sejarah umat Islam.
Pada bulan ini, Rasulullah SAW dilahirkan, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal pada tahun gajah (570 M). Bulan Rabiul Awal juga dikenal dengan bulan sholawat yang mana ditujukan untuk Nabi Muhammad SAW.
Advertisement
Baca Juga
Mayoritas umat islam memperingati maulid nabi dengan berbagai cara. Beberapa daerah di Indonesia merayakannya dengan melakukan berbagai kegiatan seperti tradisi Bungo Lado di Minangkabau, tradisi Muludhen di Madura, tradisi Kirab Ampyang di Kudus, dan masih banyak lainnya.
Namun, bagaimana sebenarnya hukum memperingati maulid Nabi Muhammad SAW? Apakah merayakannya termasuk bid’ah? Berikut penjelasannya menurut pandangan Ustadz Adi Hidayat (UAH).
Saksikan Video Pilihan ini:
Pendapat Ustadz Adi Hidayat
Merujuk kepada ceramah Ustadz Adi Hidayat pada kanal YouTube @Kita Berhijrah, beliau mengatakan bahwasanya maulid memiliki arti waktu kelahiran. Sedangkan maulud berarti bayi yang dilahirkan (dalam hal ini adalah Rasulullah SAW).
“Ketika seseorang menolak maulid atau maulud Nabi Muhammad SAW, dapat dikatakan bahwa ia menolak kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.” Ucap Ustadz Adi Hidayat.
Karena, seharusnya ketika Nabi Muhammad lahir, umat Islam bergembira dan bahagia seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isa saat mendengar kabar kedatangan Nabi Muhammad SAW jauh sebelum beliau lahir.
Berita gembira tentang lahirnya Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Al-Qur’an dan ajaran Islam, terdapat dalam QS. Yunus ayat 57-58:
“Wahai seluruh manusia, telah datang kepadamu tuntunan dari Tuhanmu, obat bagi penyakit-penyakit yang terdapat dalam dada, hidayat dan rahmat bagi orang-orang mukmin. Sampaikanlah wahai Nabi Muhammad, bahwa itu adalah anugerah Allah dan rahmat-Nya dan karena itu hendaklah mereka bergembira (menyambutnya), itu lebih baik daripada apa yang mereka senantiasa kumpulkan.”
Advertisement
Ekpresi Kegembiraan dan Rasa Syukur atas Kelahiran Nabi SAW
Pada umumnya, para ulama membolehkan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan maulid adalah bentuk ekspresi kegembiraan umat atas lahirnya Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan.
Dalam menyikapi maulid Nabi Muhammad SAW, umat Islam hendaknya bergembira dengan kabar tersebut. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri sebagai wujud syukur atas kelahirannya, beliau melaksanakan puasa pada hari Senin tanggal 12 rabiul awal.
Mengutip dari NU Online, dalam shahih Muslim dari hadis Abu Qatadah:
“Diriwayatkan dari Abi Qatadah al-Ansari, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu diturunkannya Al-Qur’an kepadaku.” (HR. Muslim).
Kegembiraan akan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW bahkan dirasakan oleh Abu Lahab yang merupakan paman Nabi Muhammad. Meskipun Abu Lahab membenci Nabi Muhammad SAW, akan tetapi ia pernah sangat bergembira atas lahirnya Rasulullah.
Mendengar kabar Siti Aminah melahirkan anak laki-laki, Abu Lahab segera meneriakkan puji-pujian atas kelahiran keponakannya sepanjang jalan. Saking gembiranya, Abu Lahab mengundang tetangga serta kerabat untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Dan sebagai tanda syukurnya, Abu Lahab memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah. Sehingga, sebab kegembiraan tersebut, Abu Lahab mendapat keringanan siksaan setiap hari Senin.
Maka, dalam menyikapi hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, umat Islam dianjurkan untuk bersholawat kepada Rasulullah serta memaknai nilai-nilai yang diajarkan oleh Rasulullah agar setiap waktu dapat mengingat Nabi Muhammad SAW, memperbanyak doa, dzikir, serta bersedekah.