Liputan6.com, Jakarta Tak seperti biasanya, Fery (bukan nama sebenarnya) sikapnya berubah dari yang biasanya jahil dan suka bercanda, menjadi serius dan tak banyak bicara. Bahkan keringat mulai membasahi dahi, hidung, dan dagunya. Beberapa kali terlihat dia mengusapnya, namun saat kami semakin dalam memasuki gua, Ferry semakin tak tenang. Apalagi saat pemandu gua berhenti di masing-masing cerukan atau ruangan yang ada di dalam Lubang Jepang, menjelaskan sejarah singkat gua berikut fungsi ke 21 ruangan yang saling terhubung bak labirin.
Terdapat 21 lobang/ruangan yang saling terhubung. Ada ruang amunisi, ruang tidur, ruang pengintaian, ruang pelarian, ruang penyiksaan, ruang sidang, ruang rapat, penjara dan dapur. Semuanya terhubung satu dengan yang lain, bak labirin. Tak hanya itu, Fery yang di objek-objek wisata sebelumnya selalu berdiri paling depan saat mendengarkan penjelasan mengenai sejarah tempat yang kami kunjungi, tidak demikian kali ini. Dia memilih berdiri di tengah-tengah rombongan. Keringat semakin deras membasahi tidak hanya wajah, tapi juga leher dan tangannya. Padahal saat itu udara dalam gua lumayan sejuk. Aku yang sejak awal memerhatikannya, jadi bertanya dalam hati, apa yang sedang terjadi dengan Fery.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Baca Juga
Tiba di ruangan yang diberi label penjara, sikap Ferry semakin aneh. Saat itu salah seorang teman ingin berfoto persis di depan pintu jeruji ruang penjara. Tiba-tiba Fery berteriak, “Jangan foto di situ!” Kami semua menoleh ke arahnya, dan teman yang ingin berfoto tersebut akhirnya mengurungkan niatnya tanpa bertanya alasannya.
Seperti dijelaskan oleh pemandu gua, cerukan yang diberi nama ruang penjara itu dulunya adalah ruang penjara bagi para tawanan perang Jepang yang kini difungsikan sebagai kuburan massal bagi ribuan tengkorak dan tulang belulang yang terdapat di gua saat pertama kali ditemukan.
Pemandu bertanya kepada kami,”Adakah di antara bapak-ibu, kakak dalam rombongan ini yang memiliki kemampuan melihat (makhluk halus)?”
Kami semua terdiam, tak ada yang menjawab.
“Jika ada, maka bapak, ibu, kakak akan banyak melihat (makluk halus) disini”, lanjutnya.
Selanjutnya kami dibawa ke sebelah ruangan yang berada tepat disebelah kanan Penjara. Sebuah ruang dengan luas sekitar 2m x1,5m. Di dalam ruangan terdapat tulisan berwarna merah “Dapur”.
Rupanya dapur yang dimaksud bukan untuk tempat memasak. Di tempat ini ada 2 lubang kecil, satu di atas untuk pengintaian, dan satu lubang lagi di bawah yang kala itu difungsikan untuk membuang jenasah para pekerja paksa dan tawanan perang yang mati akibat penyiksaan kejam tentara Jepang. Di empat sisi dinding dapur terdapat guratan-guratan.
Rupanya, dapur dalam gua (atau orang Bukittingi menyebutnya lubang) ini bukanlah dapur pada umumnya, melainkan tempat untuk penyiksaan atau lebih tepatnya memutilasi tubuh para buruh paksa yang sakit atau para tawanan perang lalu dibuang ke Ngarai Sianok seperti layaknya sampah.
Hanya beberapa menit berada dalam dapur ini, saya pun langsung merasakan kengerian saat membayangkan penyiksaan dan pembunuhan ribuan orang yang dilakukan oleh tentara Nipon. Tak ayal kisah horor ini membuatku bergidik dan tanpa diperintah, bulu kuduk pun berdiri.
Di dalam dapur terdapat sebuah meja beton yang menurut cerita pemandu gua, meja ini digunakan untuk mengeksekusi tawanan. Di atas meja inilah tentara Jepang memutilasi para tawanan dan buruh. Tepat diatas meja beton terdapat sebuah kursi berbahan besi yang kosong tanpa alas dudukan.
Masih menurut pemandu, dengan mata telanjang kita hanya melihatnya sebuah kursi kosong, namun bagi yang bisa melihat ada seorang kakek yang sedang duduk di kursi itu. Mendengar hal itu kami semua bergumam, ngeri “hiiiiii”
Aku tak melihat Fery, rupanya saat kami semua berada di ruang dapur, Fery memilih berada di luar, tak berani masuk. Kali ini terlihat jelas, wajah Fery yang pucat dan lemas, keringat dingin terus mengucur di wajahnya. Ketika ditanya kenapa, Ferry hanya terdiam.
Setelah semua ruangan dan lorong kami lalui, sorot cahaya mulai terlihat di ujung lorong. Cahaya hangat matahari menerobos masuk melalui kisi-kisi pintu lorong yang menandakan kami sudah berada di ujung perjalanan.
Tiba di pintu keluar, saya segera menghirup udara sebanyak-banyaknya serasa ingin memuaskan paru-paru saya yang sejak tadi sesak oleh kisah kekejaman penjajah Jepang.
Ada yang Mengikuti
Ada yang Mengikuti
Tiba di bus, terlihat Fery duduk dengan tangan dan kaki gemetar, seorang teman memberinya minum air putih. Setelah tenang, Fery menceritakan semua yang dialaminya di dalam gua. Rupanya dia memilki kemampuan untuk melihat makluk halus yang diwarisi dari kakeknya. Dia menceritakan begitu banyak arwah penasaran. “Wujudnya sangat mengerikan. Banyak yang terluka, wajah mereka benar-benar mengerikan.”jelasnya dengan suara terbata-bata.
Fery juga menceritakan ketika ia berteriak melarang saat seorang teman berfoto di depan jeruji penjara, karena rupanya dari dalam penjara ada sosok yang berhadapan dan memegang tangan teman yang berfoto itu. Jika Fery tidak berteriak, maka sosok itu bisa merasuki tubuh teman kami.
Dia juga bercerita bagaimana horornya suasana dapur. Melihat potongan-potongan tubuh manusia berserakan layaknya sampah. Juga ada sosok wanita mengenakan kemben dan kain yang sudah compang-camping. Darah keluar dari kedua paha wanita itu. Ferry tak kuat melihatnya dan memilih berdiri di luar dapur.
Fery juga mengingatkan Andi yang sempat bercanda saat di dalam dapur. Suaranya yang keras telah membangunkan kakek yang duduk di kursi kosong itu. Wajah kakek itu terlihat marah dan tak suka dengan suara Andi yang menggonggong. Fery melihat ada makhluk halus yang mengikuti Andi.
Sepulang dari Lubang Jepang, bus akhirnya membawa kami ke rumah makan, untuk makan siang. Disana Fery bermaksud mengusir roh yang mengikuti Andi dari Lubang Jepang dengan menyiapkan secangkir air putih yang telah ia doakan supaya diminum Andi. Tapi karena Andi tak percaya hal-hal gaib tersebut. Air itu tidak diminumnya.
Lalu ketika sampai di resort tempat kami menginap. Andi merasakan perutnya tidak enak, seperti kembung dan mual. Saat malam tiba, gangguan demi gangguan mulai dialami Andi. Andi muntah-muntah. Tak cukup di situ, tengah malam, Andi yang saat itu satu kamar sendiri dikunci dari luar. Sehingga ia tak bisa keluar dari kamar. Padahal tidak ada yang menguncinya, bahkan sejak tiba di resort pintu tidak ditutup. Keanehan-keanehan itu menurut Fery adalah ulah roh yang mengikuti Andi sejak dari ruang dapur Lubang Jepang.
Setelah kejadian malam itu, Andi terlihat banyak diam. Dia yang awalnya tak percaya akan cerita Ferry menjadi yakin dan menyadari kekeliruannya.
Menyusuri lorong Lubang Jepang di Bukittinggi, tentu bukan untuk sekedar menguji nyali atau merasakan pengalaman mistis yang mendebarkan hati saja. Akan tetapi juga dalam rangka merekonstruksi sejarah. Betapa kemerdekaan yang sekarang ini kita nikmati adalah hasil pengorbanan harta, bahkan nyawa para pejuang dan pendahulu kita, bukan pemberian gratis penjajah Jepang.
Pendahulu kita telah mengalami penyiksaan yang kejam oleh tentara Nipon, bahkan mati karenanya. Ada baiknya ketika berkunjung ke tempat-tempat bersejarah tak lupa untuk memanjatkan doa bagi para pejuang kemerdekaan.
2 jam perjalanan
Bagi Anda yang penasaran dengan bunker peninggalan Jepang ini, bisa datang ke Sumatera Barat. Dari Padang Anda bisa langsung menuju kota Bukittinggi, dengan jarak tempuh 2 jam menggunakan mobil. Lokasinya berada di dalam Taman Panorama yang terdapat di wilayah Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Sangat mudah untuk sampai ke tempat ini, dari Jam Gadang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit saja.
Selain Lubang Jepang, di Taman Panorama ini juga terdapat lembah raksasa yang sangat elok yang oleh masyarakat setempat diberi nama Ngarai Sianok.
Advertisement