[OPINI] Kulot Dulu dan Sekarang

Celana kulot kini kembali menjadi trend. Bagaimana perjalanan celana kulot yang juga pernah trend di masa lalu?

oleh Liputan6 diperbarui 18 Mar 2016, 18:30 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2016, 18:30 WIB
Debbie S Suryawan
Ilustrasi Debbie S Suryawan (Liputan6.com/Deisy Rika Yanti)

Liputan6.com, Jakarta - Ketika akan menulis opini tentang celana kulot atau cullotes, ingatan saya melayang ke 23 tahun lalu. Saat itu saya masih kuliah jurusan desain di sebuah perguruan tinggi di Bandung.

Pada suatu hari, saya datang ke kampus untuk mengikuti kuliah memakai kulot warna krem yang panjangnya di bawah lutut. Kulot tersebut memang sengaja saya buat di tukang jahit langganan teman-teman kos, karena saya ingat betul saat itu tak ada yang menjual celana model ini.

Yang membekas dari memori tersebut pada diri saya justru adalah reaksi teman-teman sesama mahasiswa, ketika melihat saya melenggang di area kampus bercelana kulot.

Ada yang menganggapnya keren, ada yang menganggapnya terlalu santai, ada juga yang terang-terangan mengatakan kepada saya bahwa celana itu tak pantas dipakai untuk kegiatan belajar di kampus.

Saya tidak akan mendiskusikan reaksi sesama mahasiswa terhadap celana kulot yang saya pakai waktu itu. Saya justru lebih tertarik membahas bahwa ternyata ada korelasi kuat antara perubahan wujud dan reaksi terhadap celana kulot dalam tiap masa.

Saya bahkan bisa mengambil kesimpulan awal bahwa kecenderungan dan gaya suatu busana pada satu masa, bisa berjalan pararel dengan perubahan sosial budaya suatu masyarakat. Contohnya, ya celana kulot!

Sebab, jika saya perhatikan dalam lima tahun belakangan ini, kulot menjadi busana andalan banyak perempuan (termasuk saya) untuk banyak aktivitas. Saya yakin sepenuhnya bahwa kulot mengalami banyak proses dalam perjalanannya hingga seperti sekarang ini.

Fakta yang terjadi sekarang, dapat saya anggap sebagai pembuktian adanya perubahan signifikan terhadap celana yang pada tahun '30-an dicipta oleh Elsa Schiaparelli untuk petenis wanita, Lili de Alvarez, yang saat itu akan bertarung di lapangan hijau Wimbledon.

Artinya, pada awal mula diperkenalkan kepada kaum perempuan, kulot diperlakukan sebagai busana untuk aktivitas luar ruangan, termasuk di antaranya adalah tenis.

Tentu saja saya menyempatkan diri untuk mencari informasi dan sejarah mengenai kulot. Tercatat bahwa pasca Perang Dunia II di Eropa, celana kulot yang wujudnya sekilas mirip rok, menjadi busana yang sangat awam dipakai.

Besar kemungkinan popularitas kulot di masa itu terdongkrak karena adanya kebutuhan akan busana multi fungsi. Apalagi saat itu perang baru usai, artinya kondisi ekonomi belumlah pulih. Busana yang bisa berfungsi ganda, tentu jadi pilihan terbaik, sehingga dapat dipakai untuk berbagai aktivitas.

Dalam hal ini, kulot adalah busana pilihan yang nyaman untuk dipakai mengayuh sepeda ke tempat kerja, cukup rapi untuk dipakai bekerja di belakang meja, dan menjadi busana yang tidak mengekang kebebasan bergerak jika dipakai bekerja di pabrik.

Kulot juga sempat populer pada tahun '80-an. Masih terekam jelas dalam ingatan saya melihat penampilan kakak saya yang saat itu sudah "bergelar" mahasiswi, memakai celana kulot yang panjangnya setengah betis. Celana kulot yang ia kenakan berpotongan lurus selebar pinggul atau melebar di bagian ujung.

Halaman mode beberapa majalah remaja yang terkenal pada masa itu juga kerap menampilkan celana kulot dalam beragam gaya. Ada yang sporty berbahan denim aneka warna, ada juga yang bergaya etnik. Namun setelah masa tersebut, kulot pun menghilang.

Keberadaan kulot belakangan ini yang menjadi begitu akrab dengan dinamisme dan rutinitas kehidupan kaum perempuan masa kini, menyentil ingatan saya pada sebuah catatan mengenai teori kecenderungan busana.

Dalam dunia fashion, ketika sebuah gaya atau busana sudah begitu mendominasi, artinya titik jenuh akan segera tercapai.

Kondisi ini memungkinkan segelintir trendsetter untuk melihat gaya dan busana yang less-desireable, untuk kemudian secara tidak langsung memberi pengaruh secara global dan menjadi tren. Mungkin itu kira-kira yang terjadi pada si kulot.

Sebab, terbukti kulot yang sempat "raib" kini menjadi begitu sangat populer. Saya yang kebetulan penggemar celana kulot, tentu sangat menikmati kembalinya si kulot. Apalagi kini, kulot hadir dengan model yang lebih beragam, material yang lebih bervariasi, dan detail yang lebih menarik.

Ada yang terbuat dari bahan bertekstur pleats, ada yang berdetail draperi, ada yang modelnya dekonstruksi, bahkan yang terbuat dari batik dan tenun pun terlihat begitu atraktif.

Mungkin karena keberagaman tersebut, kulot jadi layak dipakai sesuai acara dan kegiatan. Kulot yang terbuat dari spandex, mungkin lebih cocok untuk santai atau busana ke kantor (untuk Anda yang bekerja di sebuah kantor industri kreatif).

Kulot yang terbuat dari bahan jersey atau katun, pasti akan terlihat apik dipakai mereka yang bidang pekerjaannya lebih formal. Sedangkan yang terbuat dari batik, tenun atau bahan pleats, akan tampak apik dipakai ke acara khusus.

Keragaman material, warna, detail, dan desain dari kulot tentu wajib diimbangi dengan kecerdasan dan kecermatan dalam memilih yang tepat sesuai kegiatan. Jadi selama saya maupun Anda bersedia menjadi "korban mode" penggemar kulot yang cerdas dan cermat, saya yakin seratus persen ucapan sinis seperti teman saya 23 tahun tak akan terdengar.

Unless, you meet some "old-school" people who only appreciate women who wear appropriate skirt.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya