Sensasi Dahsyat Menginap di Honai, Rumah Adat Orang Papua

Pengalaman menginap di Honai yang ada di Desa Auktama, Wamena, Papua sambil berbincang dengan penduduk setempat.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 27 Agu 2017, 12:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2017, 12:00 WIB
Honai
Honai di Desa Auktama, Wamena, Papua (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Wamena, Papua Sebagian besar orang mungkin tidak pernah membayangkan, bagaimana masuk ke dalam honai. Rumah adat Papua yang berbentuk kerucut ini terbuat dari kayu serta ditutupi jerami dan ilalang. Liputan6.com bersama tim Wahana Visi Indonesia berkesempatan menginap semalam di honai, yang berada di Desa Auktama, Wamena, Papua beberapa waktu lalu.

Perjalanan menuju ke Desa Auktama dari Wamena hanya 30 menit menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan, kami disambut pemandangan indah alam Pegunungan Tengah. Hutan hijau, bukit, dan lembah yang terhampar membuat kami betah berlama-lama di tempat ini. Kami tiba di lokasi pada Rabu (16/8/2017) malam pukul 19.30 WIT.

Suasana malam begitu terasa. Tapi kami tidak terasa gelap. Hal ini dikarenakan honai di dalam desa ini sudah dilengkapi dengan listrik. Berbeda dari honai lain yang masih asli menggunakan api untuk penerangan. Honai di Desa Auktama sudah terdapat lampu di dalamnya. Artinya, tidak ada asap di dalam honai.

 

Honai jadi tempat nyaman bersarang kutu babi. (Foto: Wahana Visi Indonesia)

 

Simak video menarik berikut ini:

Pintu honai yang kecil

Saat masuk ke dalam honai, kami harus membungkuk bahkan berjongkok karena pintu berukuran sangat kecil, hanya muat satu orang saja.

Di dalam honai, kami bersepuluh orang saling berbagi tempat duduk dan duduk beralaskan jerami. Alas jerami ini untuk menutupi tanah yang ada di bawahnya. Saat berjalan di dalam honai, tubuh juga harus sedikit membungkuk karena ada atap dari kayu yang menutupi atas.

Untuk masuk ke dalam honai hanya muat satu orang  saja karena pintunya kecil. (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Honai tempat kami menginap terdiri atas dua bagian, yakni bagian bawah dan atas. Di bagian atas bisa digunakan untuk tidur. Di bagian bawah biasa digunakan untuk berkumpul dan menjamu tamu. Sebuah tangga dari kayu berada di sebelah pintu masuk untuk menuju ke atas.

Membangun honai

Kami disambut dengan pemilik honai, yang akrab dipanggil Mama Tiben. Sambil menggendong anak keempatnya, Alfred, kami menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk mengobrol. Tak hanya itu, beberapa penduduk dan tetua di lokasi honai ikut menemani obrolan malam yang hangat.

Kata Mama Tiben, bangun honai membutuhkan waktu tiga hari. Yang membangun honai adalah tugas laki-laki. Laki-laki harus bisa membangun honai, begitulah aturannya. Kayu, jerami, dan ilalang untuk pembangunan honai diperoleh dari hutan yang cukup jauh dari desa.

Pintu gerbang masuk ke honai perempuan.  (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Bahan pembuatan itu banyak terdapat di hutan. Dalam pembangunan pun tidak menggunakan catatan atau konsep gambar bangunan layaknya membangun gedung. Honai dibangun berdasarkan naluri dan pengalaman yang sudah dilakukan.

Honai bisa bertahan lama. Honai yang kami tempati sudah berumur lebih dari 15 tahun.

Aturan yang berlaku

Honai laki-laki dan perempuan terpisah. Meskipun pasangan suami istri, keduanya tidak bisa tidur dalam satu honai yang sama. Artinya, suami dan anak laki-laki tidur di honai laki-laki, sedangkan istri dan anak perempuan tidur di honai perempuan.

Antara honai perempuan dan laki-laki dibatasi pembatas tapi tetap bersebelahan. Tidur harus dilakukan di bagian atas honai. Ada aturan tepat jam 22.00 WIT malam. Para pemilik honai harus naik ke bagian atas honai. Itulah budayanya.

Di antar oleh penduduk setempat setelah menginap di honai. (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Meski beralaskan jerami, udara yang dingin di malam hari tetap menyeruak masuk. Saat tidur terkadang juga pakai selimut, kata Mama Tiben.

Jika pasangan suami istri ingin berhubungan intim, maka harus dilakukan di honai perempuan. Jika ada anak perempuan atau sesama penghuni honai perempuan lain di dalam, mereka diminta keluar sejenak.

Kencing di luar sekitar honai

Di lokasi honai, tidak ada toilet. Toilet tersedia di kantor kepala desa, yang agak jauh dari honai. Diperlukan jalan kaki yang cukup lumayan, terlebih lagi saat malam hari yang cukup gelap di luar. Air menjadi sesuatu yang langka.

Kami sudah tak tahan untuk buang air kecil. Mama Tiben sempat menawarkan mengantar kami ke toilet, tapi karena sudah malam dan kebetulan sempat turun hujan, kami memutuskan tidak ke toilet.

Honai pun dipisahkan, antara honai laki-laki dan perempuan. (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Atas saran dari Mama Tiben, kami pun kencing di luar sekitar honai. Pun begitu dengan Mama Tiben dan penghuni lain, kencing dilakukan di rerumputan. Karena tidak ada air, kami mengandalkan tisu basah.

Serangan kutu babi

Sebelum pergi ke honai, rekan-rekan WVI sudah memperingatkan, menginap di honai berisiko tinggi terkena serangan kutu babi. Seluruh honai menjadi tempat hidup kutu babi.

Jika terkena kutu babi, kulit akan terasa gatal dan muncul bintil-bintil seperti biang keringat. Untuk meminimalisasi hal tersebut, kami harus tidur memakai sleeping bag.

Berbincang dengan penduduk setempat di dalam honai beralaskan jerami. (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Sleeping bag setidaknya membuat tubuh sebagian besar tertutup. Selain itu, kaus kaki harus dilepaskan saat tidur. Hal ini dikarenakan kutu babi bisa menempel di kaus kaki.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya