Jangan-Jangan Selama Ini Anda Tak Sadar Jadi Pelaku Perundungan

Perundungan yang dianggap biasa-biasa saja akhirnya membudaya dan membuat pelaku tak sadar tengah melakukannya.

oleh Asnida Riani diperbarui 01 Sep 2019, 14:30 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2019, 14:30 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi perundungan. (dok. unsplash.com/@pwign)

Liputan6.com, Jakarta - Berbicara perundungan, Dosen Psikologi London School Public Relation (LSPR) Jakarta Khotimatus Sholikhati mengibaratkannya seperti fenomena gunung es. Pasal, ia terlihat kecil di permukaan, tapi di bawahnya bisa jadi sangat besar.

"Makanya kita harus bareng-bareng memutus mata rantainya," tutur perempuan yang akrab disapa Otim itu di acara screening film Violet Violance di kawasan SCBD, Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.

Memutus kebiasaan buruk yang sudah terlanjur membudaya ini, kata Otim, salah satu cara paling efektifnya adalah mengetahui mana perilaku tergolong perundungan. "Karena pelaku (perundungan) bisa tidak sadar dengan apa yang dilakukan," tambahnya.

Ciri pertama, pelaku memiliki perilaku yang bersifat agresif dan sarat akan kekerasan. Dalam poin ini, verbal abuse juga masuk dalam kategori perundungan. Kemudian, adanya imbalance of power.

"Jadi mulai ada yang merasa disakiti dan menyakiti. Ada kesenjangan posisi di sana," jelas Otim. Ketiga, mulai muncul niat untuk menyakiti, baik secara fisik maupun perkataan, dari si pelaku perundungan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Berkelanjutan

Ilustrasi
Ilustrasi perundungan. (dok. unsplash.com/@zach_guinta)

Tindakan termasuk perundungan memiliki ciri lain, yakni berkelanjutan. "Misal, kayak saya suka dibilang kurus. Kalau cuma sekali ngomong, ya mungkin mengejek. Tapi, kalau terus-terusan dan saya tersinggung, itu sudah kategori perundungan," paparnya.

Volunteer Komunitas Sudah Dong yang aktif menyebarkan gerakan antiperundungan, Fabelyn Baby Walean, menuturkan, fenomena perundungan ini bisa diputus dengan menimbulkan kesadaran, baik dari korban maupun pelaku.

"Karena banyak juga yang bisa survive dari fenomena bully. Tapi, ketebalan mental setiap orang kan beda, makanya kesadaran perilaku dari pelaku juga sangat berpengaruh," tuturnya.

Karena tak bisa mengendalikan orang lain, tambah Fabelyn, kesadaran ini bisa dimulai dari diri sendiri. "Jangan juga ragu buat stand up buat para korban bully. Kalau belum berani tegor pelaku, setidaknya dekati si korban," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya