Cerita Akhir Pekan: Mengapa 5 Kuliner Nasional Jadi Wajah Diplomasi Indonesia?

Diplomasi Indoneisa terus dikembangkan kewat jalur kuliner dan tahun ini mengangkat tema Indonesia Spice Up The World.

oleh Komarudin diperbarui 13 Mar 2021, 10:18 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2021, 08:32 WIB
ilustrasi rendang ayam (Jilly Cheung/Asia One/AP Photos)
ilustrasi rendang. (Jilly Cheung/Asia One/AP Photos)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia terdiri dari 34 provinsi yang memiliki beragam suku dan budaya. Dari 34 provinsi itu, Indonesia memiliki bermacam-macam kuliner. Keragaman kuliner itu jadi wahana untuk diplomasi.

"Ada lima makanan Indonesia yang dipromosikan karena alasan-alasan populer, bisa ditemui di restoran Indonesia di banyak negara dan itu sudah lengkap," ujar Founder Indonesia Gastronomy Network, Vita Datau kepada Liputan6.com, Kamis, 11 Maret 2021.

Lima makanan itu, kata Vita, soto seperti sup, gado-gado seperti salad. Sementara satai mengandung protein, rendang dan nasi goreng mengandung karbohidrat.

"Jumlah dan macam makanan kita terlalu banyak serta beragam. Agar pemasarannya efektif, maka teori low hanging fruit perlu diterapkan, yaitu yang mudah dan dikenal," tutur perempuan yang pernah menjadi Presiden Akademi Gastronomi Indonesia (AGI) itu.

Dari situ, Vita akhirnya bersama teman-teman Restoran Indonesia Diaspora yang tergabung dalam Wonderful Indonesia Restaurant mempromosikannya di media sosial. Mereka kemudian menggunakan hastag #5NationalFood.

"Sampai saat ini lumayan animonya, bahkan sekelompok chef Korea bikin 5 National Food Challenge pada Januari lalu. Harus dilakukan terus secara konsisten (makanan Indonesia) agar hasilnya terlihat," ungkap Vita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Indonesia Spice Up The World

Ilustrasi rempah-rempah
Ilustrasi rempah-rempah (Dok.Unsplash/ Marion Botella)

Perempuan yang pernah menjadi Tenaga Ahli Menteri Pariwisata RI untuk wisata kuliner dan belanja ini menambahkan, diplomasi kuliner tahun ini akan fokus mengangkat tema Indonesia Spice Up The World. Target besarnya bukan hanya pariwisata, tapi juga perdagangan dan investasi.

"Saat ini program bersama lintas kementerian dan lembaga serta pemangku kepentingan di bawah kordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), tepatnya Deputi V, Bidang Parekraf. Jadi, sudah tidak lagi fokus di Kemenparekraf," ujar Vita.

Tujuannya adalah meningkatkan devisa melalui hulu hilir industri gastronomi, khususnya rempah-rempah (spices), termasuk mempopulerkan makanan Indonesia melalui bumbu-bumbu siap pakai juga resto-resto Indonesia.

"Pada akhirnya menciptakan demand terhadap bumbu jadi makanan Indonesia di resto-resto Indonesia, sampai dengan perdagangan, baik bumbu paste, dry spice, hingga komiditas rempa-rempah kita," kata Ketua Tim Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) Prototip Destinasi Gastronomi di Ubud, Bali.

Vita menilai, pada dasarnya orang-orang luar negeri sangat senang mencoba makanan Indonesia. Hanya saja ekosistem hulu hilir serta infrastruktur pengembangan internasional bisnis kuliner Indonesia belum terbentuk karena kita baru memulai.

"Hulu hilir itu supply bahan mentah, bahan olahan hingga restoran. Artinya, pertanian, perikanan, perkebunan sebagai industri hulu juga harus siap. Infrastruktur itu meliputi distribusi, luar negeri, izin, dan lain-lain," kata Vita.

Banyak yang perlu dibenahi, lanjut Vita, termasuk gerakan bersama lintas Kementerian Lembaga, makanya hasilnya belum masif. Mudah-mudahan dengan adanya kerja sama lintas Kementerian Lembaga, maka hasilnya akan lebih cepat dan luas lagi. "Selama ini kerjanya masih sendiri-sendiri. Masing-masing kementerian punya program, kadang tumpang tindih," imbuh dia.

Terlambat 20 Tahun

Ilustrasi Sate
Ilustrasi Sate (Photo by Nita Anggraeni Goenawan on Unsplash)

Hal senada diungkapkan pakar kuliner William Wongso. Ia menyebut kuliner Indonesia saat ini masih belum sebanding dengan Vietnam, apalagi dengan Thailand di kancah dunia. Perbedaannya kuliner Indonesia dan Thailand sangat jauh.

"Kita tak perlu membandingkan dengan Thailand, karena bedanya sekitar 20 tahun lebih," kata William saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 12 Maret 2021.

Vietnam itu bebas baru pada 1960-an, lanjut William, tapi sekarang kulinernya sudah mendunia. Indonesia masih gonjang-ganjing, salah satunya dilema bumbu. Indonesia belum secara aktif ekspor dan masyarakat Indonesia juga belum secara aktif mengakomodasinya, tergantung mereka tinggal di mana.

Program Indonesia Spice Up The World itu upaya untuk mengantisipasi keterlambatan dalam dunia kuliner itu. Lewat program itu, Indonesia ingin memperkenalkan bumbu Indonesia, kemudian cara masak Indonesia bukan dengan resep, tapi aplikasi bumbu yang praktis untuk konsumen non-Indonesia. Artinya, menurut William, jika restoran di luar negeri mau pakai bumbu Indonesia, maka mereka bisa memesannya dari Indonesia.

"Kalau mereka bikin di luar negeri, itu mahal biayanya, tenaga kerjanya pun mahal. Apalagi, kalau resep warisan dari Indonesia, mereka yang di luar negeri belum tentu bisa menyamakan. Bahan-bahannya belum tentu sama, kualitasnya pun berbeda," ujar William yang menyebut program yang sedang dikembangkan itu, spice up Afrika dan Australia.

"Buat aku, sejauh aplikasi bumbu itu nggak lancar, maka itu sulit tercapai. Karena sekarang itu semua negara selalu berlomba-lomba untuk gastro diplomasi, memperkenalkan tradisi kulinernya dengan rasa yang otentik. Kalau kita tidak bisa bersaing soal itu, maka kita akan ketinggalan," sambungnya.

Dalam pandangan William, Thailand itu sudah total dalam dunia kuliner, mereka juga sangat holistik sistem kerjanya dari semua segi dan bekerja secara menyatu. Dari bahan makanan, bumbu, bahkan mereka bisa bikin deal dengan New Zealand.

"Koki-koki yang memiliki sertifikat, mereka bisa bekerja di New Zealand. Tentu pemerintah New Zealand senang, karena win-win solution. Merek bisa masak dengan bumbu Thailand, tapi bahan-bahan makanannya menggunakan dari New Zealand. Itu yang terjadi," kata William.

Tak Ada Perkampungan Indonesia di Luar Negeri

Soto Betawi H Ma'ruf
Soto Betawi H Ma'ruf. (Liputan6.com/Henry)

Selain belum total, menurut William, masyarakat Indonesia tidak pernah berkelompok dan tidak punya perkampungan Indonesia di luar negeri. Orang Indonesia itu migrasinya bersifat individu, tidak ada yang migrasi satu desa, karena Indonesia termasuk negara yang aman.

William menambahkan, di Vietnam, banyak penduduknya yang kabur keluar negeri akibat perang. Di sana mereka hidup berkelompok dan mendirikan perkampungan. Mereka tetap memakan makanan Vietnam. Mereka mengolah sendiri dan dilihat potensinya oleh pemerintah sehingga mereka ekspor bahan-bahan baku, seperti ikan, kulit lumpia, dan segala macam kebutuhan.

Mereka juga menamakan makanannya dengan bahasa Vietnam, kalau Indonesia masih ragu-ragu. Orang Indonesia itu, sebut William, kalau menyebut makanan pertama kali menggunakan bahasa Inggris.

"Pernah dengar namanya Banh Mi? Itu sandwich Vietnam, semua dunia tahu itu dari Vietnam. Indonesia sudah bagus punya rendang, tapi kalau sate, cuma satay tokh namanya dalam bahasa Inggris. Padahal, ada sate tegal, sate kambing. Kita harus menggunakan bahasa Indonesia dulu, setelah itu baru bahasa asing. Kalau kita masuk restoran Jepang, kan bukan pakai bahasa Inggris nama makanannya, tapi bahasa Jepang. Semua orang itu tahu sabu-sabu dari mana," imbuh William.

Kata William, kalau resep Indonesia harus otentik, maka harus disebutkan asal-usulnya, seperti soto ayam lamongan, soto ayam semarang, soto ayam kudus. "Saat ini kita masih terlalu meremehkan kuliner Indonesia. Kuliner itu budaya bangsa, makanya negara-negara lain menjunjung tinggi kulinernya," tandas William.

Diplomasi Lewat Jalur Kuliner

Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Diplomasi Lewat Jalur Kuliner (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya