Liputan6.com, Jakarta - "Kita harus maulah sedikit repot," ucap Suzy Hutomo, pendiri The Body Shop Indonesia pada Liputan6.com, Jumat, 26 Maret 2021. Saat itu, ia menjawab kiat menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dalam keseharian.
Pernyataan Suzy bukan tanpa argumen jelas. Ia mengatakan, selama ini kebanyakan orang lebih mementingkan kenyamanan pribadi dengan mengabaikan dampaknya pada lingkungan. Itu juga berlaku saat menentukan preferensi mengonsumsi barang dan jasa.Â
Advertisement
Baca Juga
Padahal, saat memikirkan lingkungan, manusia sebenarnya sedang berinvestasi jangka panjang. "Kalau mau convience, biasanya nggak pikir panjang. Tapi, ending-nya di mana? Konsekuensinya terhadap biota laut gimana?" kata Suzy.Â
Para orangtua punya kewajiban mengajari anak-anak mereka soal siap repot demi Bumi yang lebih baik di masa depan. Ia pun mengambil jalan itu. Karena sadar dengan konsekuensinya, ia menolak penggunaan botol plastik sekali pakai. Saat akan pergi ke mana-mana, barang yang dibawa pun jadi lebih banyak dari orang biasa.
"Haus pun saya nggak minum (dari air minum kemasan), karena saya udah terlalu sadar dengan konsekuensinya. Suami saya sudah tahu itu. Jadi, ia selalu ingetin saya bawa botol air minum sebelum pergi ke mana pun," tutur Suzy sembari tertawa.
Ia juga tak segan mengarahkan anak-anak dan lingkungan sekitar untuk menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Cara penyampaiannya dibuat sedikit santai agar tetap mengena pada orang lain dan tidak membuat segan, apalagi takut berdekatan. Ia memulainya dengan memberi hadiah-hadiah kecil yang bermanfaat untuk mengurangi sampah.
"Kalau ada birthday atau anniversary, kita kasih yang hijau. Kasih sedotan (yang bisa dipakai ulang) atau tas belanja yang lucu-lucu, misalnya, untuk merangsang mereka jadi zero waste," terang perempuan yang pernah dimentori Al Gore untuk kampanye perubahan iklim tersebut.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Salut pada Anak Muda
Suzy pun menyadari bahwa gaya hidup ramah lingkungan bukan hak segelintir orang, tapi semua manusia. Semakin banyak yang peduli, dampaknya akan lebih besar bagi kelangsungan Bumi. Maka itu, ia sangat menyambut baik pihak-pihak yang bergerak ke arah yang sama, terutama dari kalangan sesama pengusaha.
"Bagus dong, it should be the norm. Kita yang pertama dan mau encourage semua orang. Cuma, ini perlu kesabaran, ketekunan, dan suatu maksud yang cukup dalam. It has to be ethical. Kalau ke (kerja) PR (public relation) saja, berat lah," pesan Suzy.
Ia juga mengapresiasi anak-anak muda yang sangat peduli pada lingkungan. Ia bahkan menyebut anak muda saat ini lebih perhatian lantaran mereka lahir di situasi Bumi mengalami perubahan iklim.
Keberadaan generasi ini pun jadi energi baru yang bisa menciptakan solusi-solusi inovatif. "Itu yang diperlukan. Perlu banyak cara untuk kurangi impact," kata dia.
Edukasi jadi elemen yang tak bisa diabaikan. Suzy memulainya dari rumah sebelum melangkah ke perusahaan dan lingkungan sekitar.
Ia mencontohkan, ia dan suami mendidik anak-anak dan pekerja di rumah untuk membiasakan diri memilah sampah. Baginya, pemilahan adalah pokok dari pengolahan sampah. Kalau tidak dipilah, 70 persen sampah akan masuk ke TPA. Di saat yang sama, ia melarang orang di rumah untuk menggunakan kantong plastik, styrofoam, dan minuman kemasan.Â
Dari pemilahan itu berkembang jadi komposting. Hasilnya dimanfaatkan untuk menghijaukan kebun organiknya di rumah. "Saya punya garden farm. Ada alpukat, terong, tomat, cabai," tutur perempuan yang kini menetap di Bali itu.
Prinsip lain yang diterapkannya adalah sedapat mungkin memperbaiki barang yang rusak agar bisa dipakai kembali. Menurut Suzy, asalkan biaya perbaikannya tidak lebih mahal dari harga barang baru, hal itu tak jadi masalah.Â
"Kalau kita beli baru saat barang kita sebenarnya masih bisa diperbaiki, kita itu jadi pakai resource dua kali, satu resource barang lama dan barang baru, dan nambah sampah satu lagi," ucapnya menjelaskan.
Advertisement