Woolmark Prize 2022, 7 Desainer Dunia Jadi Finalis Penghargaan Fesyen Ramah Lingkungan

Sebelumnya, desainer tenar seperti Karl Lagerfeld, Giorgio Armani, Yves Saint Laurent, dan Gabriela Hearst telah mencatatkan namanya di Woolmark Prize.

oleh Asnida Riani diperbarui 25 Nov 2021, 13:01 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2021, 13:01 WIB
Pakaian Menjadi Lebih Sempit
Ilustrasi fesyen ramah lingkungan. Credit: pexels.com/Sam

Liputan6.com, Jakarta - Woolmark Prize 2022, penghargaan bergengsi untuk desainer baru yang berkomitmen mengurangi dampak lingkungan telah merilis tujuh finalisnya. Dalam daftarnya, mengutip CNN, Kamis (25/11/2021), ada label Inggris Ahluwalia and Saul Nash, serta desainer Amerika Peter Do.

Disusul label China Rui, bersama merek pakaian perempuan Afrika Selatan MMUSOMAXWELL, label Prancis EGONlab, dan desainer Australia Jordan Dalah. Mereka dijuluki "creative game-changers" oleh CEO The Woolmark Company, John Roberts, atas dedikasi pada praktik pengadaan dan desain berkelanjutan.

Tahun ini, para desainer akan menginterpretasikan tema "permainan" sambil menciptakan koleksi baru yang seluruhnya terbuat dari wol Merino, sambil merinci keberlanjutan rantai pasokan mereka. Penghargaan ini dimulai pada 1936 oleh merek Australia The Woolmark Company dalam upaya membawa bahan tersebut ke pasar barang mewah.

Sejak kompetisi pertama 85 tahun lalu, desainer tenar seperti Karl Lagerfeld, Giorgio Armani, Yves Saint Laurent, dan baru-baru ini, Gabriela Hearst, semuanya berkompetisi dan mencatatkan namanya di Woolmark Prize. "Seiring berkembangnya penghargaan, tujuan kami mendukung para desainer untuk berpikir lebih jauh hari ini," kata Roberts.

Ini terutama menyoroti inovasi, keserbagunaan, dan keberlanjutan wol Merino, tambahnya. Di luar pendanaan, kompetisi ini menghadirkan sejumlah peluang bagi para desainer yang terlibat, termasuk kesempatan untuk bereksperimen.

"Pengetahuan saya tentang wol sangat terbatas, karena saya lebih fokus pada bahan denim dan pakaian olahraga," kata Priya Ahluwalia, figur di balik label Inggris Ahluwalia and Saul Nash yang merupakan pemenang penghargaan desain Ratu Elizabeth II 2021. "Namun, saya pikir ini adalah masalah yang bagus karena memberi saya kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin dan menghadapi tantangan dengan perspektif segar."

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Platform bagi Bakat Baru

Ilustrasi benang wol | pexels.com
Ilustrasi benang wol | pexels.com

Selain hadiah utama senilai 200 ribu dolar Australia (Rp2 miliar), Karl Lagerfeld Award for Innovation berhadiah 100 ribu dolar Australia (Rp1 miliar) juga diperebutkan. Para pemenang akan dipilih panel pakar industri, termasuk editor-at-large Business of Fashion Tim Blanks dan chief brand officer Farfetch Holli Rogers.

Karya mereka akan dievaluasi berdasarkan bakat artistik dan inovasi lingkungan. Selain membantu memperjuangkan praktik mode lebih berkelanjutan, Woolmark Prize juga menyediakan platform bagi bakat baru.

"Memenangkan hadiah akan membantu kami mendapatkan akses ke ekosistem mode yang sering kali tidak terjangkau oleh merek-merek Afrika," kata desainer MMUSOMAXWELL, Mmuso Potsane dan Maxwell Boko. "Dukungan keuangan akan berkontribusi pada pengembangan dan melanjutkan kerja sama kami dengan perajin lokal. Tapi, yang paling penting, menciptakan peluang kerja di komunitas kami."

Gaung Fesyen Berkelanjutan

KaIND
Petani ulat sutra yang diberdayakan merek lokal, KaIND. (dok. Ist)

Selain lewat penghargaan, upaya membawa fesyen berkelanjutan jadi gaya hidup nyatanya telah dilakukan banyak pihak. Indonesia pun jadi salah satu yang beberapa tahun belakangan menyuarakan gagasan itu lewat karya sejumlah desainer lokal.

Praktiknya tidak jarang bersinggungan dengan pelestarian wastra dan pemberdayaan perajin lokal. KaIND misalnya, yang ingin memberdayakan petani ulat sutra dalam praktik fesyen ramah lingkungan.

Pemberdayaan ini juga punya benang merah dengan kebiasaan mereka membudidayakan ulat sutra tanpa membunuh pupa. Bagi petani, untuk menghasilkan serat sutra sesuai standar mesin pintal fabrikasi, diperlukan serat yang bersih, dan hal ini hanya bisa dicapai dengan proses budidaya yang baik.

Kemudian, semangat fesyen berkelanjutan juga jadi salah satu napas penyelenggaraan Jakarta Fashion Week (JFW) 2020. Chairwoman-nya, sekaligus CEO GCM Group, Svida Alisjahbana menegaskan bahwa implementasinya tidak hanya soal penggunaan material lebih ramah lingkungan.

"Harus dilihat dari berbagai angle. Material memang penting, tapi bagaimana manufaktur berjalan juga penting. Apakah merek itu membayar pekerjanya secara adil, misalnya," ucapnya.

Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion

Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion
Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya