Liputan6.com, Jakarta - Semangat untuk melestarikan kebaya tiada henti digaungkan beragam pihak. Begitu pula dengan Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia yang tengah berupaya memperjuangkan penetapan Hari Berkebaya Nasional.
Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia, Rahmi Hidayati menjelaskan pihaknya telah mulai berproses dalam penetapan dan telah bertemu dengan Dirjen Kebudayaan. Pertemuan membuahkan surat dukungan sebagai rekomendasi tim nasionai pengajuan Hari Berkebaya Nasional.
"Memang sudah mulai bergerak secara formal untuk penetapan hari berkebaya ini, karena memang banyak persyaratan untuk akhirnya ditetapkan oleh pemerintah, itu yang sedang kami siapkan," kata Rahmi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 7 April 2022.
Advertisement
Baca Juga
Pihaknya juga merangkul organisasi-organisasi lain yang juga berfokus terkait pelestarian kebaya. Terakhir, dikatakan Rahmi, telah ada 77 organisasi perempuan seluruh Indonesia yang mendukung dan jumlahnya masih akan bertambah lagi ke depannya.
"Kita coba tahapan-tahapan itu persiapkan sekarang, kita ajak sebanyak mungkin, kita maunya ini nanti jadi pakaian yang bukan hanya dikagumi atau suka dipakai atau dicintai oleh para orang tua tapi anak muda juga pada mau kebayaan," tuturnya.
Rahmi menyebut memang bukan perkara mudah mengajak generasi muda untuk kembali mengenakan kebaya dalam berbagai kesempatan. Menjadi tantangan tersendiri kembali mendorong semangat kaum muda kembali berkebaya.
"Itulah tantangan kita karena kebaya itu sering dianggapnya kuno dan ribet," kata Rahmi.
Ia menambahkan, "Kayak saya pakai kebaya setiap hari saat keluar rumah, naik gunung, paralayang pakai kebaya juga, pokoknya dipakai ngapain saja bisa."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Gaet Kaum Muda
Rahmi mengatakan, "Cuma gimana caranya mengajak anak-anak muda ini mau juga ikutan, paling tidak coba dulu, memang tantangan ada di cara pemakaian kainnya, itu yang dianggapnya ribet."
Dikatakannya, saat sudah mengetahui cara pemakaian kain yang tepat tentunya akan memudahkan seseorang untuk berjalan. Rahmi ingin setidaknya generasi muda mau mencoba dahulu untuk berkebaya.
"Tantangan kita soal kebaya, bagaimana supaya anak muda paling tidak mau coba dengan cara pakai kain yang memungkinkan mereka untuk bergerak," terangnya.
Sementara, dahulu perempuan Indonesia menggunakan kebaya dalam menjalankan berbagai aktivitas sehari-hari. Namun hal tersebut kian memudar seiring berjalannya waktu hingga kebaya saat ini lebih banyak digunakan dalam kesempatan tertentu.
Advertisement
Dipakai Acara Tertentu
Rahmi melihat pergeseran ini karena gaya busana yang berubah karena ingin bergerak lebih praktis dan leluasa. Sedangkan, disebutnya, pakem kebaya membentuk lekukan tubuh atau pas badan dan relatif lebih menempel.
"Sekarang ada kebaya longgar, tapi secara pakem kebaya membentuk tubuh, bukan yang longgar. Aslinya pakainya kain dulu dilipat sampai kaki melangkah susah, sementara kita (sekarang) perlu naik bis, mobil, atau kereta. Kalau pakai kain ikatan zaman dulu jadinya lebih susah," tambahnya.
Ia mengungkapkan, "Sekarang gimana caranya lilit-lilit kain dan pakai kebaya tapi kaki bisa bergerak leluasa karena kebutuhan untuk lebih praktis itulah dan dianggapnya modis dan intervensi budaya asing juga tinggi di kita waktu penjajahan itu."
"Akhirnya, kita bergerak, (kebaya) mulai ditinggalkan sekarang benar-benar dipakainya kebanyakan rata-rata cuma acara formal, entah kawinan, peresmian atau pelantikan. Awalnya kepraktisan dan intervensi budaya," kata Rahmi.
Selasa Berkebaya
Dalam upaya melestarikan kebaya, Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia juga memiliki gerakan bernama Selasa Berkebaya. Ide tersebut timbul ketika para anggota tengah berdiskusi terkait pentingnya berkebaya pada hari-hari tertentu.
"Kepikiran kebaya yang pas kata-katanya adalah Selasa karena kebaya ada rimanya, akhirnya bikin gerakan Selasa Berkebaya," jelas Rahmi.
Tak disangka, gerakan ini tenyata mendapat banyak apresiasi, termasuk dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang ikut Selasa Berkebaya. Gerakan ini gaungnya bahkan sampai di luar negeri.
"Teman-teman di luar negeri juga ikut Selasa Berkebaya, kemarin ngobrol ada teman di Swiss, cerita pada ikut Selasa Berkebaya. Kita juga mau bikin Kebaya Goes to the World. Sebelumnya sudah saya kalau kebetulan lagi ke luar negeri, saya hubungi kedubes untuk ajak bikin acara diskusi dan kumpulin warga Indonesia, pernah di Bangkok, Tokyo, Korea, dan Nepal," terangnya.
Rahmi menuturkan, "Selama kita bisa mempromosikan kebaya itu kita lakukan dan Selasa Berkebaya jadi sesuatu yang memudahkan kita karena ada sesuatu yang beda di hari Selasa."
"Kedua, Selasa sama Kebaya menarik akhirnya banyak yang ikutan dan ketiga, media promosi yang paling gampang karena kita pasti pakai baju," kata Rahmi.
Advertisement
Jenis-Jenis Kebaya
Ketua Umum Kebaya Foundation Tuti Roosdiono soal jenis-jenis kebaya yang berkembang di Indonesia. "Kebaya ada empat, Kebaya Kutu Baru, Kebaya Kartini, Kebaya Encim, dan Kebaya Noni karena dulu zaman Belanda, Belanda enggak mau kalah sama China, jadi dia bikin putih dan banyak bordirannya, lebih cantik, dan mewah," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 7 April 2022.
Tuti melanjutkan bahwa Kebaya Kutu Baru dahulu tidak hanya digunakan di Jawa, namun seluruh Indonesia. Menurut literatur, sejak zaman dahulu kebaya telah digunakan dalam berbagai aktivitas, termasuk saat bekerja di ladang.
"Kutu Baru itu sebenarnya dalamnya kayak kamisol. Kutu Baru ada bagian (penghubung) di depannya dan di tengahnya pakai angkin, bisa pakai kendit," terangnya.
Sedangkan Kebaya Kartini tidak lagi menggunakan stagen atau kendit dan hanya pakai kancing hingga ke bawah. Kebaya Encim hadir dengan sentuhan lebih longgar dengan nuansa rendanya.
"Kalau Kebaya Noni mewah karena Belanda dulu ingin lebih dari yang lain," tambahnya.