Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Taliban kembali menangguhkan pendidikan di tingkat universitas untuk semua mahasiswi di Afghanistan. Itu menjadi langkah pembatasan kebebasan perempuan Afghanistan terbaru sejak rezim tersebut berkuasa pada Agustus 2021.
Seorang juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi Afghanistan mengonfirmasi penangguhan tersebut pada CNN, Selasa, 20 Desember 2022. Sebuah surat yang diterbitkan kementerian pendidikan mengatakan keputusan itu dibuat dalam rapat kabinet dan perintah itu akan segera berlaku.
Advertisement
Baca Juga
Anak perempuan dilarang kembali ke sekolah menengah pada Maret 2022, setelah Taliban memerintahkan sekolah untuk anak perempuan ditutup hanya beberapa jam setelah dibuka kembali usai penutupan selama berbulan-bulan. Keputusan itu diberlakukan setelah pengambilalihan Taliban pada Agustus 2021.
Human Rights Watch mengkritik larangan tersebut dengan menyebutnya sebagai "keputusan memalukan yang melanggar hak atas pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan di Afghanistan."
"Taliban memperjelas setiap hari bahwa mereka tidak menghormati hak-hak dasar warga Afghanistan, terutama perempuan," kata pengawas hak asasi itu dalam sebuah pernyataan, dikutip Rabu (21/12/2022).
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengutuk 'keputusan tak terbantahkan Taliban untuk melarang perempuan dari universitas' dalam pengarahan yang berlangsung kemarin. Menurut dia, keputusan Taliban baru-baru ini akan 'memiliki konsekuensi yang signifikan bagi Taliban dan akan semakin mengasingkan Taliban dari komunitas internasional dan menolak legitimasi yang mereka inginkan.'
Penutupan sekolah menengah untuk anak perempuan Afghanistan pada Maret 2022 'berdampak signifikan' pada keterlibatan AS dengan perwakilan Taliban, tambah Price. "Dengan penerapan keputusan ini, setengah dari populasi Afghanistan akan segera tidak dapat mengakses pendidikan setelah sekolah dasar," katanya.
Â
Â
Ingkar Janji
Duta Besar AS Robert Wood, perwakilan alternatif untuk urusan politik khusus, sebelumnya menegaskan kritikan mereka terhadap Taliban dalam pengarahan Dewan Keamanan PBB. Ia mengatakan, "Taliban tidak dapat berharap untuk menjadi anggota yang sah dari komunitas internasional sampai mereka menghormati hak semua warga Afghanistan, terutama hak asasi manusia dan kebebasan dasar perempuan dan anak perempuan."
Taliban, yang memerintah Afghanistan dari 1996 hingga 2001, ketika invasi pimpinan AS menumbangkan kelompok itu dari kekuasaan, dikenal memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Mereka menjadikan perempuan sasaran kekerasan, pernikahan paksa, dan hampir tidak memiliki representasi di negara tersebut.Â
Setelah merebut kekuasaan di Afghanistan tahun lalu, Taliban berusaha memproyeksikan citra lebih moderat untuk mendapatkan dukungan internasional. Mereka berjanji akan bertindak berbeda atas hak-hak perempuan dan anak perempuan Afghanistan.
Faktanya, Taliban justru melakukan sebaliknya, dengan secara sistematis menekan hak dan kebebasan perempuan dan anak perempuan. Wanita di Afghanistan tidak dapat lagi bekerja di sebagian besar sektor, membutuhkan wali laki-laki untuk perjalanan jarak jauh, dan diperintahkan menutupi wajah mereka di depan umum.
Advertisement
Taman Hiburan
Selain pendidikan, gerak perempuan Afghanistan untuk bersenang-senang juga dihambat. Pada November 2022, Kementerian Moralitas yang dibentuk Taliban memutuskan melarang perempuan untuk memasuki taman bermain dan taman publik lainnya.Â
Perempuan sudah dilarang memasuki taman bermain sejak bulan lalu. Taliban berdalih larangan itu lantaran banyak tempat melanggar kewajiban untuk memisahkan area antara lelaki dan perempuan di tempat publik.
"Dalam 15 bulan terakhir, kami berusaha yang terbaik untuk mengatur dan menyelesaikannya, bahkan menentukan hari-harinya," kata Mohammad Akif Sadeq Mohajir, juru bicara Kementerian Pencegahan Kejahatan dan Promosi Kebajikan.
"Tapi tetap saja, di beberapa tempat, pada kenyataannya, kita harus mengatakan di banyak tempat, aturan itu dilanggar," katanya pada AFP, dikutip dari The Guardian. "Ada pencampuran (laki-laki dan perempuan), jilbab tidak diperhatikan, itu sebabnya keputusan diambil untuk saat ini."
Aturan tersebut membuat pemilik taman bermain kelimpungan. Habib Jan Zazai, salah satu pengembang kompleks taman bermain itu telah mengeluarkan 11 juta dolar AS untuk mendanai bisnis tersebut. Dengan aturan baru Taliban, ia terancam harus menutup bisnisnya yang kini mempekerjakan lebih dari 250 orang.
"Tanpa para perempuan, anak-anak tidak akan datang sendirian," ujarnya. Terbukti, pada Rabu, 9 November 2022, segelintir pria yang datang ke tempat itu hanya berputar-putar saja.
Â
Tidak Tinggal Diam
Taliban juga melarang perempuan menggunakan fasilitas kamar mandi umum di provinsi utara. Kabar tersebut disambut kekecewaan oleh kaum perempuan dan operator taman bermain yang telah berinvestasi besar dalam membangun fasilitas tersebut.
"Tidak boleh bersekolah, tidak boleh bekerja. Kami semestinya punya tempat untuk bersenang-senang," kata seorang perempuan yang meminta disebut sebagai Wahida saat dia mengawasi putrinya bermain di taman melalui jendela yang terhubung dengan restoran.
"Kami bosan dan muak hanya berada di rumah sepanjang hari, pikiran kami lelah," ia menyambung.
Aktivis Laila Basim ikut mendirikan perpustakaan untuk perempuan. Ia memiliki ribuan buku dalam berbagai bahasa tentang berbagai mata pelajaran.
"Dengan ini kami ingin menunjukkan pada Taliban bahwa wanita Afghanistan tidak akan tinggal diam dan tujuan kedua kami adalah untuk memperluas budaya membaca buku di kalangan wanita, khususnya gadis-gadis yang tidak mendapatkan pendidikan," katanya.
Dia bertekad menentang para pria yang menjalankan negaranya, dan telah berpartisipasi dalam berbagai protes sejak tahun lalu.
"Kami tidak takut mati atau Taliban akan mengancam keluarga kami. Yang kami takutkan adalah disingkirkan dari masyarakat," katanya. Dia melihat peningkatan pembatasan pada wanita sebagai hal yang mengkhawatirkan dan menyedihkan.
"Saya sangat kesal memikirkan semua kebebasan yang telah hilang. Orang-orang dari negara lain menjelajahi Mars, dan di sini kami masih memperjuangkan hak-hak dasar seperti itu," katanya.
Â
Advertisement