Liputan6.com, Islamabad - Peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, mendesak para pemimpin Muslim untuk menantang kebijakan represif Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan.
Pernyataan itu disampaikan Malala dalam konferensi internasional tentang pendidikan perempuan di negara-negara Muslim yang diselenggarakan di Islamabad, Pakistan, oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Dunia Muslim, dan Pakistan.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari laman Independent, Kamis (16/1/2025), Malala menegaskan bahwa tindakan Taliban "bertentangan dengan segala sesuatu yang diajarkan oleh agama Islam".
Advertisement
Dalam pidatonya, ia menyatakan, "Taliban di Afghanistan tidak melihat perempuan sebagai manusia."
Aktivis berusia 27 tahun itu juga menegaskan bahwa tidak ada hal yang "islami" dalam kebijakan Taliban yang melarang pendidikan dan akses perempuan ke ruang publik.
Malala menyebut Taliban menciptakan "sistem apartheid gender" yang menghukum perempuan dan anak perempuan yang melanggar aturan mereka. Ia mengungkapkan bahwa Taliban menggunakan alasan budaya dan agama untuk membenarkan tindakannya, tetapi "tindakan mereka bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam".
Taliban, yang kembali berkuasa di Afghanistan sejak 2021 setelah penarikan pasukan Amerika dan Inggris, telah melarang perempuan bekerja, belajar di luar kelas enam, berolahraga di tempat umum, dan mengakses ruang publik lainnya.
"Afghanistan adalah satu-satunya negara di dunia yang sepenuhnya melarang pendidikan untuk anak perempuan di atas kelas enam," kata Malala.
Ia pun memperingatkan bahwa seluruh generasi perempuan di Afghanistan akan kehilangan masa depannya jika kebijakan ini terus berlanjut.
"Sebagai pemimpin Muslim, saatnya untuk angkat suara dan menggunakan kekuatan Anda."
Seruan Malala bagi Dunia
Selain menyoroti situasi di Afghanistan, Malala juga mengkritik kehancuran sistem pendidikan di Gaza akibat perang Israel.
"Di Gaza, Israel telah menghancurkan seluruh sistem pendidikan," ujarnya.
Ia menyebut bahwa lebih dari 90 persen sekolah telah dirusak, semua universitas dihancurkan, dan serangan tanpa pandang bulu dilakukan terhadap warga sipil yang berlindung di gedung-gedung sekolah.
Adapun konferensi yang dihadiri Malala ini mempertemukan pemimpin politik dan cendekiawan dari dunia Muslim untuk memperjuangkan hak atas pendidikan perempuan. Meski para pemimpin Taliban diundang, mereka tidak hadir dalam acara tersebut.
Malala, yang pernah menjadi korban serangan Taliban di Pakistan karena berbicara tentang pendidikan perempuan, mengakhiri pidatonya dengan menyerukan solidaritas umat Muslim untuk melindungi hak perempuan.
"Kini saatnya bertindak untuk menghentikan ketidakadilan ini," tegas Malala.
Advertisement