Liputan6.com, Jakarta - Berawal dari kebiasaan warganya menanam Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di pekarangan rumah, Dusun Kiringan akhirnya membentuk citra baru sebagai Desa Wisata Jamu Kiringan. Sesuai namanya, potensi desa wisata yang berlokasi di Kiringan, Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta ini adalah jamu tradisionalnya.
Melansir laman Jadesta Kemenparekraf, Jumat, 3 Maret 2023, awalnya, penanaman tanaman obat tersebut hanya bertujuan mempermudah perolehan bahan baku jamu tradisional warga setempat. Namun, seiring waktu, produk jamu Dusun Kiringan mulai dikenal di daerah sekitar, membuat permintaan minuman tradisional itu makin tinggi.
Advertisement
Baca Juga
Akhirnya, Desa Wisata Jamu Kiringan diresmikan pada 2016. Di sini, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan jamu tradisional, mulai dari memilih empon-empon, sampai diracik jadi jamu. Setelahnya, pengunjung boleh meminum jamu racikan mereka sendiri memakai bathok atau dibawa pulang.
Mereka juga bisa berinteraksi langsung dengan ibu-ibu penjual jamu yang sudah selama puluhan tahun menjual jamu dari kampung ke kampung. Selain dalam bentuk konvensional, pihaknya juga mengkreasikan jamu instan bubuk, supaya "lebih higienis, serta mudah dibawa dan dikirimkan ke seluruh wilayah Indonesia."
Selain itu, batas konsumsi produk tersebut juga lebih lama daripada jamu tradisional yang cair. Dalam catatan sejarahnya, jamu kiringan merupakan kreasi buruh batik di Kota Yogyakarta yang diarahkan abdi salem Keraton Yogyakarta untuk alih profesi ketika Belanda hendak hengkang dari Nusantara.
Â
132 Penjual Jamu
Perempuan diketahui bernama Joparto ini kemudian jadi peramu sekaligus penjual jamu. Dari situ, pendapatnya disebut lebih baik dibandingkan dengan saat ia jadi buruh batik. Karena menjualnya dengan cara digendong, awalnya disebut "jamu gendong."
Berawal dari dua tetangganya yang ikut berjualan, kini ada 132 penjual jamu gendong di Desa Kiringan. Di samping mengenal serba-serbi jamu kiringan, pengunjung juga bisa bermalam di homestay di Desa Wisata Jamu Kiringan. Aktivitas ini akan memungkinkan pengunjung merasakan langsung kehidupan di desa, termasuk makan makanan khas setempat.
Dalam catatan sejarahnya, merujuk pada buku Jamu Gendong Solusi Sehat Tanpa Obat yang ditulis Sukini, seperti ditkup 25 Januari 2023, jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan dan dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol.
Botol-botol jamu itu kemudian disusun di dalam bakul. Penjual jamu menggendong bakul tersebut saat berjualan, yang kemudian melahirkan istilah jamu gendong. Penjual jamu gendong menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Mereka kebanyakan adalah perempuan, lantaran dulu tenaga laki-laki lebih diperlukan untuk bertani.
Â
Advertisement
Jualan dengan Menggendong Barang Dagangan
Konsep berjualan dengan menggendong barang dagangan ini jadi sesuatu yang terbilang menarik. Penjual jamu gendong biasa menggendong bakul jamunya dengan kain panjang, baik kain batik maupun lurik, sebagai salah satu ciri khas perempuan Jawa ketika membawa sesuatu.
Disebutkan, tidak hanya penjual jamu gendong yang membawa dagangannya dengan cara digendong. Dulu, penjual aneka jajanan, seperti nasi pecel dan nasi liwet, juga berjualan dengan menggendong dagangannya.
Para perempuan Jawa, khusus pada zaman dahulu atau di daerah pedesaan, pun membawa aneka barang dengan cara digendong, termasuk ketika membawa kayu bakar, air di dalam jerigen, bahan-bahan pangan, dan hasil pertanian. Inilah yang jadi asal-usul jamu gendong di Indonesia.
Membawa sesuatu dengan cara digendong ini pun menyimpan makna tertentu. Menggendong identik dengan seorang ibu yang membuai bayinya dalam gendongan. Karena itu, para perempuan Jawa yang membawa barang dagangannya dengan cara digendong dimaknai membawa barang dagangan seperti halnya membawa anaknya sendiri.
Barang dagangan merupakan sarana mencari rezeki, sehingga harus dibawa dengan baik, ditawarkan dengan baik, dan disajikan dengan baik. Rezeki pun dicari dengan niat dan cara yang baik. Dengan demikian, usaha mencari rezeki dan apa yang didapat diharapkan memperoleh berkah dari Tuhan.
Tradisi Meracik dan Meminum Jamu
Diyakini bahwa tradisi meracik dan meminum jamu telah ada sejak ratusan tahun silam, tepatnya pada masa kerajaan Hindu dan Buddha. Seiring zaman, orang-orang keraton mulai mengenalkan jamu pada masyarakat luas.
Pengenalan jamu keluar keraton diperkirakan sudah terjadi di periode akhir Kerajaan Majapahit. Tradisi meminum jamu kemudian berlanjut pada masa kerajaan-kerajaan setelahnya dan terus berjalan hingga periode Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Dulu, jamu hanya dibuat orang-orang yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual, seperti wiku atau dukun. Pada masa itu, praktik-praktik pengobatan banyak dilakukan wiku. Para wiku ini umumnya mengobati pasiennya menggunakan ramuan jamu dan doa-doa.
Para wiku sering kali mengirimkan jamu racikannya pada orang-orang yang membutuhkan atau berdasarkan pesanan. Saat itu, jamu dikirimkan para laki-laki yang jadi utusan. Sementara, penjualan jamu dengan cara digendong diperkirakan telah dimulai pada masa Kerajaan Mataram Islam.
Seiring waktu, permintaan terhadap jamu kian meningkat sehingga pengiriman ke berbagai tempat dilakukan secara teratur. Sampai akhirnya, penjualan jamu ke desa-desa terus berkembang, dan banyak orang berjualan jamu secara berkeliling, baik laki-laki maupun perempuan.
Â
Disclaimer: Jamu adalah ramuan tradional berbahan alami yang bisa membantu kesehatan tubuh. Bila ada keluhan kesehatan, sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter.
Advertisement