Cerita Ahli Pertanian Jepang Membuat dan Menjual Jamu Tradisional Indonesia

Naofumi Nomura membuat dan menjual jamu untuk mengenalkan minuman herbal asal Indonesia itu sebagai alternatif obat tradisional di Jepang.

oleh Henry diperbarui 08 Mei 2023, 05:27 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2023, 05:04 WIB
Jamu - Vania
Ilustrasi Jamu/https://www.shutterstock.com/Iryna Pohrebna

Liputan6.com, Jakarta - Jamu tak hanya dikonsumsi dan diminati orang Indonesia saja. Sejumlah negara seperti Jepang bahkan tidak hanya mengonsumsi jamu tapi juga memproduksi jamu.

Seorang ahli botani atau pertanian dan ekologi tumbuhan asal Jepang Naofumi Nomura membuat dan menjual jamu tradisional Indonesia sejak 2014. “Dulu saya belajar botani di Jepang dan saya belajar botani di hutan Indonesia, dari situ saya mulai tahu bahan-bahan jamu,” kata Naofumi saat ditemui di Fujisawa, Jepamg, melansir Antara, Minggu, 7 Mei 2023.

Naofumi menuturkan tujuan membuat dan menjual jamu adalah untuk mengenalkan minuman herbal asal Indonesia itu sebagai alternatif obat tradisional. "Di Jepang itu adanya obat China saja, obat China dan obat Jawa itu berbeda, jadi saya mau kasih tahu ke orang Jepang kalau kita punya alternatif lain,” ungkapnya.

Menurut Naofumi, jamu sangat berkhasiat untuk kesehatan, termasuk dalam mengobati beberapa jenis penyakit. Pria yang meraih gelar Ph.D dari Universitas Kyoto itu menuturkan bahwa saat ini masyarakat Jepang hidup di lingkungan yang lebih hangat dibandingkan masa lampau karena perubahan cuaca dan pengaruh teknologi, seperti pendingin atau penghangat ruangan.

Situasi itu membuatnya ingin lebih mengenalkan jamu di Jepang guna menjaga kesehatan masyarakat Jepang. Dia mengaku berkomitmen tidak memakai bahan kering untuk membuat jamu, tetapi lebih memilih bahan yang segar langsung diimpor dari Indonesia.

"Saya selalu menjaga resep tradisional jamu Indonesia, Saya pakai jahe, temulawak yang segar,” terang pria yang sempat tinggal di Solo, Jawa Tengah, untuk mendalami jamu itu.

 

Ingin Mengenalkan Jamu Gendong

Ilustrasi masyarakat Jepang
Ilustrasi masyarakat Jepang. (AFP)

Jamu-jamu dengan merek “Tetes Manis” itu di antaranya kunyit asam, beras kencur, temulawak, pegagan, campuran dan jamu set. Satu kemasan kantong (pouch) kecil jamu yang berisi 100 ml harganya mulai dari 650 yen atau sekitar Rp70 ribu hingga 800 yen (Rp85 ribu).

Menurut Naofumi, ia selalu merasakan dan mengecek terlebih dahulu rasa dan kualitas jamu yang dibuatnya sebelum dijual. Untuk cita rasa jamu, lebih disesuaikan kepada selera orang Jepang pada umumnya yang lebih menyukai rasa manis.

"Ya, karena saya orang Jepang, jamunya sedikit lebih manis daripada jamu Indonesia. Kami terbiasa makanan camilan manis dan rasa manis ini bisa diterima oleh mereka," katanya. Kedepannya, Naofumi berharap bisa mendirikan pabrik jamu di Indonesia agar bisa mengekspor jamu ke Jepang.

Dia mengaku tidak tertarik untuk berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan jamu yang sudah tersohor di Indonesia karena mereka menggunakan bahan-bahan dan menjual jamu kering atau bubuk.

"Saya ingin membuat jamu yang segar, jadi di masa yang akan datang saya ingin mengenalkan jamu gendong ke orang-orang Jepang," katanya. Saat ini, Naofumi masih menjual produk jamu di sebuah toko di Tokyo dan belum berminat untuk menjual secara daring.

 

Cabai Jamu

Ilustrasi
Ilustrasi bahan-bahan pembuat jamu. (dok. pexels/Glaucio Guerra)

Di sisi lain, dengan semakin diminatinya jamu di berbagai negara maka peluang ekspor tanaman obat aromatik dan rempah-rempah asli Indonesia punya potensi menjanjikan. Hal itu juga terjadi saat situasi pandemi Covid-19 masih melanda banyak negara.

Salah satu komoditas yang banyak diminati adalah cabai jamu (Long pepper) asal Lampung. Komoditas ini terus menunjukan tren peningkatan kinerja ekspor dari tahun ke tahun.

Kementerian Pertanian melalui Karantina Pertanian Lampung mencatat, fasilitasi ekspor untuk komoditas asal subsektor hortikultura ini sejak Januari hingga pekan pertama Juni 2020 mencapai 249 ton. Sementara pada periode yang sama di 2019, total ekspor hanya sebesar 48,9 ton, atau meningkat 5 kali lipat di tahun ini.

"Selain produksi dan kualitas yang baik, cabai jamu asal Lampung ini juga telah dapat memenuhi persyaratan teknis negara tujuan ekspor, jadi makin laris," jelas Kepala Karantina Pertanian Lampung Muhammad Jumadh dalam keterangan tertulis, dilansir dari kanal Bisnis Liputan6.com, 10 Juni 2020..

Negara Pelanggan Rempah Indonesia

Cabai Jamu
Cabai Jamu. (Dok. Kementan)

Menurut Jumadh, ini menjadi angin segar bagi pelaku agribisnis di wilayah kerjanya. Setidaknya saat ini ada 12 negara yang menjadi pelanggan rempah asal Lampung, antara lain Uni Emirat Arab, India, China, Nepal, Pakistan, Banglades, Jepang, Jerman, Malaysia, Vietnam, Inggris, dan Turki.

"Selain bimbingan teknis bagi pelaku usaha, kami juga menyiapkan layanan in-line inspection. Selain untuk menjamin keterusan, juga untuk percepatan waktu layanan di pelabuhan," ungkap Jumadh.

Sementara itu, Kepala Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian Ali Jamil mengungkapkan, pihaknya terus menggiatkan Gerakan Tiga Kalilipat Ekspor (Gratieks) melalui seluruh unit kerjanya.

Beragam kegiatan terus digaungkan, seperti berupa sinergisitas pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah, integrasi aturan perkarantinaan dengan negara tujuan, percepatan layananz hingga kampanye publik untuk lakukan terobosan ekspor.

"Dengan dibukanya pembatasan secara bertahap atau new normal ini kita harapkan Gratieks semakin giat sehingga target peningkatan dapat tercapai," tutur Jamil.

 

Infografis Jamu Populer di Indonesia
Infografis jamu populer di Indonesia. (Dok: Liputan6.com Tim Grafis)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya