Agar Women Support Women Tak Hanya Jadi Jargon Semata untuk Majukan Sesama Perempuan

Women support women makin sering digaungkan untuk menggerakkan sesama perempuan agar bisa berdaya. Tapi, ada yang meragukan hal itu hanya jargon semata. Apakah demikian?

oleh Dinny Mutiah diperbarui 16 Mar 2024, 10:16 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2024, 10:02 WIB
Agar Women Support Women Tak Hanya Jadi Jargon Semata untuk Majukan Sesama Perempuan
Puteri Indonesia Lingkungan 2024 Sophie Kirana di malam penobatan. (dok. Yayasan Puteri Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Women support women, kampanye yang bertujuan memasyarakatkan sikap saling memberdayakan antar-perempuan itu makin sering terdengar. Apakah hal itu benar bisa diwujudkan atau hanya jadi jargon semata?

Puteri Indonesia Lingkungan 2024 Sophie Kirana meyakini bahwa hal itu sebenarnya sangat bisa dilakukan dan harus dilakukan. "Kalau enggak perempuan, siapa lagi? Enggak bisa dari laki-laki," ucapnya ditemui Tim Lifestyle Liputan6.com di sela pembekalan tentang literasi keuangan di BCA, beberapa waktu lalu.

Dukungan yang diberikan antar-perempuan, sambung dia, tidak harus yang muluk-muluk. Ia mencontohkan pengalamannya selama mengikuti ajang Pemilihan Puteri Indonesia 2024. Meski saling berkompetisi, ia dan sesama finalis bisa saling membantu saat di belakang panggung.

"Sesimpel makein baju, resletingnya susah ditarikin, mereka pasti akan tolong di backstage... as simple as that. That's a real example women support women," katanya.

Ia juga setuju bahwa kampanye tersebut harus terus digencarkan karena disadari atau tidak, perempuan masih sering memiliki pola pikir yang menyangsikan kemampuan perempuan lain. Kalau pun ada perempuan yang diperlakukan lebih, sebagian perempuan lain akan menudingnya sebagai hak istimewa untuk yang berpenampilan menarik.

"Iya mungkin beauty priviledge exist, tapi sekadar beauty, enggak diiringi brain dan behavior, we can not go anywhere, we always stuck there, becoming pretty. Tapi kalau misalnya cantik, juga berkepribadian baik dan pintar, semua orang suka dan semua orang akan menggunakannya (kemampuannya) lagi," ucapnya.

"Becoming pretty is for the first chance only. Kalau misalnya brain-nya enggak bagus, enggak akan seneng juga orang untuk mempekerjakan dia lagi, kan?" sambung Sophie.

 

Dibutuhkan untuk Patahkan Stigma dan Stereotipe

Agar Women Support Women Tak Hanya Jadi Jargon Semata untuk Majukan Sesama Perempuan
Acara Graduation Day Perempuan Inovasi 2024 di Jakarta, 8 Maret 2024. (dok. Perempuan Inovasi)

Hal senada juga diungkapkan oleh Amanda Simanjuntak, founder dan CEO Markoding. Ia menyatakan bahwa kampanye women support women adalah hal yang harus dilakukan karena perempuanlah yang paling bisa berempati dengan keadaan perempuan lainnya. Di samping, ada stigma atau stereotipe tentang perempuan yang harus dipatahkan.

"Mungkin kita sering dengar, misalnya dari keluarga aja dulu deh. Untuk investasi pendidikan, mungkin yang didahulukan itu laki-laki. Terus di tempat kerja, kita masih sering mendengar ada wage gap atau standar gaji berbeda untuk perempuan dan laki-laki. Kemudian kalau perempuan apply kerja, biasanya suka ditanya, bakal menikah enggak? Bakal punya anak enggak? Karena dianggap produktivitas akan berkurang. Ini satu hal yang enggak akan ditanya sama laki-laki," ia menerangkan.

Padahal, kata Manda, yang dibutuhkan perempuan adalah kesetaraan akses. Maka itu, perempuan yang berada di posisi lebih tinggi didorong untuk bisa membuka akses bagi perempuan lain yang lebih terbatas atau tak didukung lingkungannya.

"Jadi sebenarnya, tugas kita lah untuk saling empower perempuan lain," katanya.

Tak Ingin Bias Gender

Agar Women Support Women Tak Hanya Jadi Jargon Semata untuk Majukan Sesama Perempuan
Amanda Simanjuntak, founder dan CEO Markoding. (dok. Perempuan Inovasi)

Di sisi lain, Manda mengakui bahwa ada beberapa kasus perempuan menjatuhkan perempuan lain. Tapi, ia tak setuju dengan pola pikir demikian. Pasalnya, sikap saling menjatuhkan tidak hanya terjadi antar-perempuan, tapi juga bisa terjadi antara lelaki dan perempuan maupun antar-lelaki.

"Ini (perempuan menjatuhkan perempuan) sebenarnya erat hubungannya dengan representasi di media, di iklan, di film, di mana cerita-cerita, di sosial media, dibahas perempuan menjatuhkan perempuan, padahal kenyataannya enggak. Menurut aku, enggak boleh bias gender perempuan menjatuhkan perempuan. Ini adalah satu hal yang netral saja," ucapnya.

Untuk menghindarinya diperlukan kemampuan berempati sebagai sesama perempuan. "Kalau kita berempati, kita bisa menempatkan posisi kita di tempat perempuan yang lain. Kita pasti akan mau meng-empower mereka, instead of ngejatuhin mereka," ia meyakini.

Berangkat dari kesadaran itu, ia bersama Yayasan Dian Sastrowardoyo dan Magnifique menggelar program Perempuan Inovasi yang pada tahun ini memasuki batch III. Program tersebut diselenggarakan untuk memfasilitasi kaum perempuan yang ingin belajar dan berkarier di bidang IT.

 

Keterampilan Bekerja Sama Harus Dikembangkan

Gemini di Tempat Kerja
Ilustrasi Gemini di Tempat Kerja / Freepik by tirachardz

Sementara itu, psikolog anak, remaja, dan keluarga Rosdiana Setyaningrum meyakini bahwa women support women pada dasarnya bukan sekadar jargon karena perempuan pada dasarnya suka berbagi. Memiliki sifat emotionally expressive, atau kemampuan mengekspresikan emosi dengan lebih baik, perempuan lebih mudah bersosialisasi

"Terbukti bahwa perempuan lebih senang belajar dan senang sharing karena emotionallya expressive. Bikin acara networking itu lebih gampang ke perempuan, karena laki-laki natur-nya, enggak tahu juga kenapa, mereka enggak terlalu antusias," ujarnya.

Bila perempuan kebanyakan menjalin relasi di acara yang melibatkan banyak orang, kaum lelaki lebih suka menjalin relasi di acara yang berhubungan dengan hobinya. "Makanya, bapak-bapak itu networking misalnya pas lagi golf, atau hobinya olahraga lain, ya sambil olahraga sambil networking. Kalau perempuan bisa khusus di acara networking saja," kata dia, dalam kesempatan berbeda.

Di sisi lain, ada pula sifat perempuan yang secara alami adalah nurture atau merawat atau mempertahankan. Sifat itu di sisi lain dibutuhkan, tetapi bisa berbalik jadi kontraproduktif bila egonya disinggung. "Belum tentu merawat orang lain kan? Bisa jadi hanya merawat keluarganya sendiri atau hanya diri sendiri," ia menyebutkan.

Untuk itu, agar perempuan bisa berempati dengan perempuan lain, diperlukan keterampilan bekerja sama dengan lebih baik. Bila belum mampu bekerja sama, ia meminta agar dicari penyebabnya. " Apakah karena self-esteemnya kurang, jadi merasa terintimidasi sehingga keluarnya jadi rese? Atau, takut dikalahin jadi enggak mau kerja sama? Solusinya ya harus pede dengan diri kita sendiri."

Infografis Sejarah Hari Perempuan Internasional
Infografis Sejarah Hari Perempuan Internasional. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya