Saksi Ahli Sidang MK: Pasal 32 UU KPK Sangat Diskriminatif

Saksi ahli di sidang MK pun membandingkan dengan UU Pemda, yakni seorang kepala daerah baru diminta berhenti jika sudah menjadi terdakwa.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 10 Jun 2015, 16:11 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2015, 16:11 WIB
Bambang Widjojanto Ajukan Gugatan UU KPK ke MK
Wakil Ketua KPK non aktif, Bambang Widjojanto menghadiri sidang uji materi UU Komisi KPK di Gedung MK, Jakarta (10/6/2015). Bambang ditetapkan tersangka atas kasus mengarahkan kesaksian palsu, Juni 2010 silam. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto atau BW mengajukan uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terkait ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bambang sebagai pemohon menggugat Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK yang menyatakan pimpinan KPK berhenti atau dapat diberhentikan menjadi terdakwa akibat melakukan tindak pidana kejahatan.

Pada persidangan kali ini, Bambang menghadirkan saksi ahli Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) hukum pidana Eddy Hiariej.

Dalam penjelasannya, Eddy mengatakan Pasal 32 UU KPK tersebut penuh diskriminatif. Dia pun membandingkan dengan UU Pemda, yakni seorang kepala daerah baru diminta berhenti jika sudah menjadi terdakwa.

"Kalimat (Pasal 32 UU KPK) yang menyatakan menjadi tersangka tindak pidana sangat diskiminatif dibandingkan pembatasan jabatan publik yang membawa konsekuensi kejahatan apa pun. Misalnya pada UU Pemda, Kepala Daerah diberhentikan jika berstatus terdakwa, atau kejahatan besar lainnya seperti dapat memecah belah NKRI," ucap Eddy di ruang persidangan MK, Jakarta, Rabu (10/6/2015).

Pasal Dianggap Diskriminatif

Menurut Eddy, perbedaan itu sangat diskriminatif. Selain itu Pasal 32 ayat 2 UU KPK juga bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, yaitu harus ada asas praduga tak bersalah.

"Oleh karena itu, pasal a quo harus dibatalkan kecuali ditafsirkan dan diatur bahwa kejahatan yang dilakukan itu adalah tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, dan tindak hukum berat lainnya seperti pelanggaran HAM atau mengancam keamanan negara, yang hukumannya 10 tahun ke atas," papar Eddy.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas yang juga ahli hukum tata negara, Saldi Isra mengibaratkan apa yang terjadi pada Ketua nonaktif KPK Abraham Samad, yang memasukkan nama orang ke kartu keluarga.

Dalil Dicari-cari

"Orang yang memasukkan nama ke kartu keluarga memang salah, tapi banyak orang melakukan hal itu. Kenapa tidak dicari semuanya. Itu kan banyak kalau mau dicari pelakunya. Jangan sampai penanganan korupsi terganggu karena dalil-dalil yang dicari," tutur dia.

Sebelumnya, Bambang menilai bahwa Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK telah melanggar amanat dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait dengan asas praduga tak bersalah.

Bambang Widjojanto juga berpendapat bahwa Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK tidak menyebutkan secara rinci tindak pidana seperti apa serta waktu terjadinya tindak pidana yang dapat membuat pimpinan KPK diberhentikan.

Adapun pada Senin 25 Mei 2015, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan berkas perkara Wakil Ketua nonaktif KPK Bambang Widjojanto yang diserahkan penyidik Bareskrim Polri telah lengkap atau P21.

"Ya hari ini (25 Mei 2015) berkas perkara dengan tersangka Bambang Widjojanto telah dinyatakan lengkap," kata Kapuspenkum Tony T Spontana.

Sebelumnya, berkas kasus atas dugaan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam persidangan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang menjerat BW, sempat 2 kali dikembalikan Kejagung ke penyidik Bareskrim. (Ans/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya