Politik Dinasti, Angin Segar untuk Petahana

Pada intinya, aturan yang dibatalkan MK ini bukan melarang orang berpolitik dinasti, tetapi dinasti korupsi.

oleh Luqman RimadiTaufiqurrohmanNafiysul Qodar diperbarui 10 Jul 2015, 00:11 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2015, 00:11 WIB
Anggap Pilpres Curang, Pendukung Prabowo Serbu MK
Demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada serentak mulai berlangsung 9 Desember 2015. Beberapa partai politik pun mulai berancang-ancang. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi angin segar kepada kerabat incumbent untuk leluasa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam pilkada. Putusan ini dinilai memuluskan praktik politik dinasti di daerah dan berpotensi mencederai demokrasi.

Putusan yang "melegalkan" politik dinasti ini menyusul adanya permohonan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, terkait konflik kepentingan petahana.

Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, terutama yang berkaitan konflik kepentingan ‎dengan petahana. MK menganggap UU Pilkada Pasal 7 huruf r cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 ‎j ayat 2 UUD 1945.

MK beralasan, UU Pilkada Pasal 7 huruf r akan sulit dilaksanakan oleh pembuat undang-undang maupun penyelenggara pilkada. Frasa tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dinilai sangat subjektif, sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum. ‎Padahal, mencalonkan diri sebagai kepala derah merupakan hak konstitusional.

"‎Pasal 7 huruf r dan penjelasannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar Ketua MK, Arief Hidayat, dalam sidang putusan di Jakarta, Rabu 8 Juli 2015.

MK beranggapan, larangan terhadap diskriminasi dengan tegas sudah diatur dalam Undang-Undang HAM Pasal 3 ayat 3‎, bahwa setiap orang berhak atas hak asasi manusia tanpa diskriminasi.

"Pasal 7 huruf r mengandung muatan diskriminasi. Diakui pembentukan undang-undang memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata atas status kelahiran dan kekerabatan," kata Hakim MK, Patrialis Akbar.

Dengan demikian, Pasal 7 huruf r UU Pilkada yang mengatur bahwa calon kepala daerah tidak boleh punya konflik kepentingan dengan petahana otomatis tidak berlaku. Begitu pula aturan berdasarkan Surat Edaran KPU mengenai petahana.

Pengajuan permohonan uji materi UU Pilkada Pasal 7 huruf r ini dilakukan oleh Adnan Purichta Ichsan. Adnan saat ini menjabat sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan. Dia merupakan anak Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo, yang juga keponakan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo.

Pro dan Kontra

Setiap putusan kerap menuai pro dan kontra. Terlebih lagi putusan MK ini terkait masalah pencalonan kepala daerah yang tak lain perebutan kursi kekuasaan. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, buka suara terkait putusan MK ini.

Tjahjo mengatakan, semua pihak harus menghormati putusan MK tersebut. Apalagi putusan MK bersifat mengikat dan final. "Sebagai negara hukum, diatur oleh ketentuan hukum, proses hukum (MK) memutuskan demikian, ya kita harus taat," kata Tjahjo di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu 8 Juli 2015.
‎
Politisi PDIP ini menerangkan, larangan keluarga petahana maju dalam pilkada merupakan buah dari peraturan pemerintahan dan DPR periode sebelumnya. DPR dalam menerbitkan UU Pilkada merupakan hasil aspirasi dari masyarakat.

"Sekarang masyarakat menggugat kembali ke MK dan MK membatalkan dan mengabulkan salah satu keputusan UU tersebut. Putusan MK kan mengikat dan final," pungkas Tjahjo.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad, mengatakan, potensi maraknya dinasti politik di daerah akibat putusan MK. Namun, yang terpenting adalah stakeholder terkait mampu mengawal dan menegakkan hukum.‎

‎"Kekhawatiran itu ada. Tinggal para pihak ini melakukan upaya-upaya pengawalan dan penegakan hukum tentunya kalau ada masalah hukum, sehingga tidak jadi masalah," ujar Muhammad usai pembukaan acara Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pilkada Serentak di Jakarta, Rabu 8 Juli 2015.

Namun, Muhammad mendukung putusan MK itu. Sebab, jika petahana tak diberi kesempatan membuka peluang keluarga atau kerabatnya maju dalam pilkada, potensi masalah akan lebih besar lagi.‎ "Pasti akan lebih besar permasalahannya."

Gubernur DKI Jakarta yang dikabarkan akan kembali bertarung dalam bursa pilkada, Basuki Tjahaja Purnama, angkat bicara. Menurut dia, tidak ada masalah dengan politik dinasti. Namun, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi petahana dan calon kepala daerah saudaranya.

"Kamu mau dinasti, asal mau mati buat rakyat, ya boleh saja. Kalau mau bekerja buat rakyat kenapa enggak boleh? Yang enggak boleh dinasti, tapi bareng-bareng korupsi. Yang kita cegah itu dinasti korupsi," ujar pria yang akrab disapa Ahok itu di Jakarta, Kamis 9 Juni 2015.

Mantan Bupati Belitung Timur itu menegaskan, aturan yang dibatalkan MK ini bukan melarang orang berpolitik dinasti, tetapi dinasti korupsi. Praktiknya, dalam proses demokrasi Indonesia, hal itu masih sering diselewengkan.

"Kuncinya di situ, bukan ngelarang orang dinasti (tapi korupsi). Lagian MK juga sudah batalin. Kenapa kita mencontoh demokrasi luar negeri? Kenapa enggak kita menghasilkan demokrasi kesejahteraan rakyat? Karena kita membuang undang-undang ratifikasi PBB soal perang melawan korupsi," pungkas Ahok.

Setali tiga uang, Ketua DPR, Setya Novanto, pun mengapresiasi putusan MK ini. Dia percaya keputusan yang diambil MK sudah melewati proses panjang. "Saya sangat menghargai karena itu (putusan) sudah final. Kita harus mengikuti apa yang sudah menjadi putusan MK," jelas Novanto di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 9 Juli 2015.

Menurut dia, seluruh daerah pemilihan sudah mempunyai calon masing-masing. Karena itu, tidak ada masalah atas putusan ini. "Saya akan tetap menjunjung tinggi MK dengan mengapresiasi dan menghormati," ungkap politikus Partai Golkar ini.

Setnov, sapaan akrab Novanto ini mengatakan, pemerintah dan DPR segera menyosialisasikan putusan MK itu kepada partai politik. Dia juga mengungkapkan hal ini akan mendapatkan perhatian khusus dari dewan. DPR segera menggelar rapat konsultasi.

Berbeda dengan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Yuddy Chrisnandi. Dia menilai putusan ini tidak etis, karena dapat melanggengkan politik dinasti.

‎"Kalau pendapat pribadi saya, ya tidak etislah kalau di dalam proses politik yang semakin demokratis dan semakin transparan ini masih ada politik dinasti," kata Yuddy di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis 9 Juli 2015.

Yuddy pun mengingatkan agar aparatur sipil negara (ASN) menjaga netralitasnya dalam pilkada serentak yang akan digelar mulai 9 Desember 2015. Kementeriannya juga akan membuat nota kesepahaman yang mengatur hal tersebut.

"‎Pertama, dia tidak boleh menjadi tim sukses dari kandidat mana pun. Kedua, tidak boleh ikut berkampanye, tidak boleh terlibat kegiatan politik, baik langsung maupun tidak langsung, yang menguntungkan maupun merugikan kandidat tertentu," jelas dia.

Menurut Yuddy, peringatan ini sudah dituangkan dalam ‎Peraturan Menteri (Permen). Nantinya, pihaknya akan mengirimkan surat edaran kepada seluruh jajarannya.

Sanksi tegas pun, kata Yuddy, sudah menanti bila ada ASN atau pegawai sipil negara (PNS) yang tidak netral. Sanksi itu sudah diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS. Dari mulai ringan, sedang, hingga berat atau pemecatan.

Senada dengan Yuddy, Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, juga berpendapat sama. Ia menilai putusan tersebut menandakan para Hakim Konstitusi berpikir terlalu melampaui zaman saat ini. Namun, putusan MK harus tetap dihormati.

"Kalau MK buat keputusan itu ya mau bagaimana lagi. Kita hormati saja. Kenapa MK putuskan itu, karena ia menggunakan idealitas abad ke-22‎. Mereka idealis sekali, berpikirnya Indonesia sudah ke abad ke-22," ujar Jimly kepada Liputan6.com di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis 9 Juli 2015.

Menurut Jimly, masyarakat Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga era reformasi saat ini masih menganut sistem feodal. Saat praktik politik dinasti tidak bisa dihindari dalam masalah kepemimpinan dan bermasyarakat.

Karena itu, kata Jimly, penghapusan pasal petahana ini justru menjadi sebuah kemunduran dan bentuk legalitas praktik politik dinasti di Tanah Air. "Di masyarakat kita kultur politiknya masih banyak dipengaruhi feodalisme, sehingga mudah timbul praktik dinasti begitu."

"Kalau di kita semua masih menganggu, jadi kalau dibiarkan politik dinasti ini kan enggak sehat. Demokrasi yang lebih sehat harusnya mendapatkan dukungan kebijakan hukum yang merekayasa politik yang res (masalah) publika, bukan ke arah dinasti," sambung Jimly.

Sementara Wapres Jusuf Kalla menyikapi putusan MK lebih bijak. Selain meminta publik menghormati putusan MK, dia juga meminta masyarakat agar lebih cerdas memilih calon kepala daerah, dengan melihat kemampuan. Bukan karena kedekatan dengan petahana.

"Kita menghormati keputusan MK itu, namun juga masyarakat memilih siapa saja calon itu berdasarkan kemampuan, bukan karena kekerabatan," kata pria yang akrab disapa JK ini, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis 9 Juli 2015.

"Bukan setuju tidak setuju, tapi keputusan MK itu final dan mengikat," tambah pria yang akrab disapa JK ini.‎

Menurut JK, soal penyalahgunaan wewenang tidak bisa dikaitkan hanya kepada kerabat petahana saja‎. Bisa saja kandidat tersebut memang berjuang sendiri, tanpa menggunakan kekuasaan kerabatnya.

"Tapi penyalahgunaan wewenang ini bukan hanya karena saudara, bukan hanya kekerabatan. Yang tidak kerabat pun banyak juga yang menyalahgunakan kewenangan. Bukan asal kerabat tiba-tiba menyalahgunakan kewenangan, tidak," tegas JK.

Perbedaan Politik Dinasti

Perbedaan Politik Dinasti

Ahok, menilai politik dinasti di Amerika Serikat (AS) atau beberapa negara lain jauh berbeda dengan Indonesia. Politik dinasti di banyak negara maju umumnya mengutamakan rakyatnya, di negara ini sebaliknya.

"Di Amerika juga ada dinasti Kennedy, tapi kenapa mereka dipilih? Karena orang tahu satu keluarga ini mau bekerja mati-matian buat rakyatnya. Kalau dinasti kita kan dinasti korupsi ramai-ramai, memanfaatkan kekuasaan untuk berkuasa kembali," ujar Ahok.

Menurut Ahok, ada yang harus berani menerapkan undang-undang pembuktian terbalik untuk melihat kekayaan para kepala daerah. "Sekarang orang mau enggak ngeluarin duit sekeluarga kalau mesti pakai pembuktian harta terbalik? Enggak berani, mana mau dia. Kamu mau nyogok rakyat dari mana kalau langsung ditangkap," sindir Ahok.

Perbedaan politik dinasti juga dibenarkan Jimly. Menurut dia, budaya di negara ini masih feodal, sedangkan Amerika sudah membebaskan seluruh warganya, tanpa ada batasan apakah ada hubungan dengan petahana atau tidak.

"Kalau nanti negara kita demokrasinya sudah sangat maju seperti di Amerika, kan ada juga dinasti. Sekarang kan Hilary (Clinton) dan George Bush kan dinasti, tapi semua fungsi-fungsi kekuasaan itu sudah berjalan profesional dan rasional, sehingga tidak menganggu. Kalau di kita semua masih menganggu, jadi kalau dibiarkan politik dinasti ini kan enggak sehat," kata dia. ‎

Secara pribadi, Jimly menyetujui penghapusan aturan tersebut bila budaya politik di Indonesia sudah berubah dan tidak lagi feodal. Namun, saat ini hal tersebut belum terlihat. "Kalau di sini sudah rasional Amerika, ya bebasin saja. Seperti misalnya tentara, polisi, pegawai negeri, kalau di Barat itu boleh menjadi caleg, kalau dia tidak terpilih, balik lagi."

"Kenapa dibolehkan? Itu hak politik seseorang, harus sama. Cuma di Barat yang maju tingkat peradabannya itu, kalau dia maju, tidak akan bawa pengaruh kantor atau pekerjaannya. Kalau di kita mempengaruhi sekali, semua anak beranak, tetangganya ikut, pasti ikut," tegas pakar hukum tata negara itu.

Karena sudah diputuskan MK, Jimly mengimbau, masyarakat pun harus menerima. Namun secara pribadi, dia tetap tidak menyetujui segala aturan yang mengarah kepada praktik politik dinasti.

"‎Di kita belum bisa begitu. Itu yang harus jadi pegangan. Tapi ya sekali lagi putusan MK harus kita hormati, cuma agak sedikit sayang aja. Secara pribadi, itu kurang tepat dalam membangun negara bangsa rasional," pungkas Jimly.

Menghambat Perbaikan Pemda

Menghambat Perbaikan Pemda

MK juga dinilai telah mencegah perbaikan pemerintahan di daerah, karena tujuan dibuat aturan pembatasan politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, agar pemerintahan daerah tidak "dijajah" kekuasaan dinasti.

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Johan, menilai, selama 10 tahun evaluasi terhadap pemerintahan daerah, masalah politik dinasti semakin berkembang di daerah. Hal itu dilihat dari data Kemendagri 2013, ada 61 kepala daerah terapkan politik dinasti atau 11% dari jumlah keseluruhan kepala daerah.

"Pertama, saya ucapkan selamat berkembang biak dinasti di daerah-daerah dan perbaikan pemerintah di daerah tersandung di MK. Padahal, ini (politik dinasti) jadi kerisauan pemerintah, apakah didiamkan atau buat aturan," kata Djohermansyah dalam diskusi "MK Melegalkan Politik Dinasti" di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 9 Juli 2015.

"Aturan dalam UU Pilkada yang sudah dibatalkan MK sifatnya bukan melarang, tapi membatasi," sambung dia.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Perancang UU Pilkada ini menilai, politik dinasti ini sudah banyak terjadi penyimpangan, penguasaan hukum besi. Artinya, masa jabatan Presiden dibatasi hanya boleh 2 periode, sedangkan petahana dibatasi 1 periode masa jabatan. Karena pengaruh petahana sangat kuat kepada birokrat, rakyat, dan kekuasaan anggaran.

Karena itu, Djohermansyah mengatakan, Kemendagri dan DPR periode yang lalu dan saat ini sepakat tidak mengubah pasal pembatasan keluarga atau kerabat petahana yang diatur dalam UU Pilkada itu.

"Latar belakang nepotisme bahwa 'AMPI' (Anak, Menantu, Ponakan, Istri) merambat ke KDH (kepala daerah) dan legislatif kita. Makanya kita buat rambu-rambu yang membatasi bukan melarang," tegas Djohermansyah.

Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini pun mempertanyakan putusan MK soal petahana, yang menyebutkan pembatasan keluarga/kerabat petahana melanggar hak asasi manusia (HAM). Menurut dia, ada kepentingan HAM yang lebih besar daripada HAM yang diputuskan MK, yang lebih kepada HAM elite untuk maju pilkada.

"Bandingkan dengan HAM masyarakat yang tidak dapat maju, ribuan sampai jutaan hak rakyat diabaikan karena dihambat oleh kekuasaan. Kita kecewa," ucap dia.

Maka itu, Djohermansyah menyarankan, MK butuh hakim-hakim yang memiliki terobosan hukum seperti Hakim Agung (MA) Artidjo Alkostar. "Saya prihatin, MK butuh hakim yang punya terobosan seperti hakim Artidjo di MA, di mana asasi yang perlu dilihat dari ke-Indonesiaan bukan dari Barat."

"Indonesia ini masih gotong-royong. Ke depan harus ada pemikiran itu," tegas dia.

Meski demikian, Djohermansyah mengimbau, semua pihak harus menghormati putusan MK tersebut. Karena putusan MK final dan mengikat yang harus disikapi dengan pengawasan.

"Uji publik perlu dilakukan melalui media massa tolong dibuka, termasuk skandal-skandalnya. Publik punya ruang untuk mengetahui calonnya, karena data Kemendagri ada istri KDH incumbent yang kalah Dada Rosada di Bandung, istri kalah," kata dia.

Djohermansyah berpendapat, pendidikan politik melalui partai politik bisa saja mencegah dan mengawasi keluarga/kerabat petahana. "Tapi itu panjang prosesnya. Maka dari itu, perbaikannya kepada persoalan antinepotisme. Cuma kita lihat 10 tahun mulai tumbuh," pungkas Djohermansyah.

Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria juga mendukung pernyataan Djohermansyah. Dilegalkannya politik dinasti menghambat perbaikan pemerintah daerah. Karena akan muncul istilah raja-raja kecil seperti kerajaan, lantaran petahana ini mempunyai kekuasaan penggunaan anggaran.

"Petahana ini punya otoritas mengangkat, memberhentikan, memutasi, dan membuat program yang seharusnya buat masyarakat, tapi untuk kroni-kroninya dan keluarganya," kritik Riza.

Menurut Riza, keluarga/kerabat petahana yang maju pilkada, mempunyai modal triliunan rupiah dari petahana yang menyisipkan kampanye dalam program.

"Pemerintah harus membuat sistem, makanya tidak bisa keadilan itu sama rata. Keberpihakan itu harus tertuang dalam sistem, sistem itu diatur dalam UU. Putusan MK tidak ada keberpihakan," ujar dia.

Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, para petahana begitu gencar melanggengkan keluarga/kerabatnya maju pilkada. Karena ada kepentingan menutup dan menjaga kebijakan yang salah di pemerintahan sebelumnya agar tidak terungkap.

"Sulit mengungkap kasus di daerah karena saling menyandera antara Kadin, pengusaha, dan lainnya. Kalau bupatinya bukan dari keluarga baik, tidak baik, bisa saja bagian yang lebih awal mengungkap. Tidak bermaksud menjelek-jelekkan," ujar Riza.  

‎Riza pun meminta partai politik tidak mengakomodir keluarga/kerabat petahana maju pilkada. "Media dan LSM turut melakukan sosialisasi untuk cerdas memilih. Jangan hanya karena Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, bahkan sampai Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, kepentingan rakyat terabaikan karena kekuasaan politik dinasti," tegas dia.

Sementara, pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menegaskan, sebenarnya tidak perlu takut dengan politik dinasti. Karena dalam UU Pilkada maupun peraturan lainnya sudah mengatur sistem pencegahan keluarga petahana tidak mudah lolos jadi kepala daerah.

"Jujur saya tegaskan bahwa tidak ada sebab yang cukup mendasar, untuk menangguhkan hak incumbent atau keluarganya," kata Margarito.

Margarito menambahkan, para ketua umum partai agar merekrut para calon kepala daerah dengan membuat persyaratan yang ketat. "Tidak perlu takut mencalonkan keluarga, tentu dengan kriteria kalau dia pintar, baik, punya cinta kasih. Maka tidak perlu ragu dicalonkan. Yang paling pokok tatanan dan sistem yang bekerja tanpa mengurangi hak-hak orang," tandas Margarito. (Rmn/Ans)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya