Tarik Ulur Pasal 'Karet' Penghinaan Presiden

Presiden merupakan simbol negara yang harus dijaga kewibawaannya.

oleh Luqman RimadiSilvanus AlvinDewi DiviantaPutu Merta Surya PutraGerardus Septian Kalis diperbarui 11 Agu 2015, 00:12 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2015, 00:12 WIB
Suasana Pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla
Presiden SBY memeluk Jokowi saat hadir di acara pelantikan di Senayan, Jakarta, Senin (20/10/2014) (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Sejak jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia mengenal zaman Reformasi. Di zaman ini, semua bebas berekspresi, bebas menyuarakan pendapat termasuk bebas mengritik pemimpin negara. Saat ini, kritik bahkan bisa langsung disampaikan kepada Presiden melalui media sosial.

Saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat Presiden, beberapa kali dia harus menahan marah atas kritikan dan hinaan yang ditujukan kepadanya. Kritikan dan hinaan terhadap pemimpin negara tidak berhenti saat Joko Widodo dilantik menggantikan SBY. Kritikan dan hinaan bahkan disampaikan secara nyata dan vulgar terhadap Presiden Jokowi.

Namun, baik SBY maupun Jokowi, tidak bisa berbuat banyak atas hinaan atau kritik negatif yang ditujukan kepada mereka. Sebab tak ada pasal yang mengatur hal itu. Kalau pun akhirnya si penghina diseret ke penjara, itu karena menggunakan pasal pencemaran nama baik.

Dengan dalih melindungi kepala negara, baru-baru ini pemerintah mengajukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kepada DPR. Salah satu pasal yang direvisi yaitu mengenai pasal penghinaan presiden.‎

Revisi UU KUHP-KUHAP ini sebenarnya telah diusulkan kepada DPR sejak periode 2009-2014, saat SBY berkuasa. Namun baru dibahas kembali oleh Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan HAM.

Presiden Jokowi sendiri menganggap keberadaan pasal tersebut diperlukan. Menurut dia, pasal itu bukan untuk membungkam pihak yang ingin mengkritisi kepala negara, tapi justru untuk melindungi orang-orang yang bersikap kritis.

"Kalau saya lihat sebetulnya justru itu untuk memproteksi orang-orang yang kritis, masyarakat yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jangan dibalik-balik," ujar Jokowi, Selasa 4 Agustus 2015 lalu.

Tidak hanya itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mengatakan, pengajuan pasal tersebut bertujuan untuk melindungi presiden sebagai simbol negara.

"Urusannya presiden sebagai simbol negara bukan pas saya saja kan. Nantinya juga jangka panjang. Kalau untuk saya pribadi, seperti yang saya sampaikan, (penghinaan) itu sudah seperti makanan sehari-hari," ucap Jokowi. Menurut Presiden ke-7 RI ini, pengajuan pasal itu pernah dilakukan pada masa pemerintah sebelumnya.

"Saya itu yang namanya diejek, namanya dicemooh, namanya dicaci, dihina, sudah jadi makanan sehari-hari. Kalau saya mau, bisa saja itu dipidanakan. Ribuan kalau kayak gitu itu, kalau saya mau (saya pidanakan). Tapi sampai detik ini hal tersebut tidak saya lakukan," tukas Jokowi.

Santri melihat tabloid Obor Rakyat di Ponpes Darul Ulum Rejoso Peterongan, Jombang, Jawa Timur, Selasa (3/6). (ANTARA FOTO/Syaiful Arif)

Presiden Simbol Negara

Terkait hal ini, Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, Presiden merupakan simbol negara yang harus dijaga kewibawaannya. Untuk itu, masyarakat harus dapat mengerti bagaimana menyampaikan kritik atau pendapatnya secara baik kepada Presiden.

"Presiden harus dijaga karena itu simbol negara," ujar Setya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 4 Agustus lalu. Dia menambahkan, pihaknya akan mengevaluasi masukan dari masyarakat dan pemerintah terkait pasal penghinaan presiden.

Wakil Presiden Jusuf Kalla secara tegas mendukung dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden.

"Presiden kan kepala negara, di mana pun di dunia ini, presiden itu dihormati . Jadi, kalau memaki-maki atau menghina presiden tentu fungsi pemerintahan juga terkena. Jadi wajar saja (pasal itu dihidupkan)," kata JK.

Tapi, dibanding jumlah yang mendukung, lebih banyak pihak yang menolak dihidupkannya kembali pasal penghinaan kepada presiden.

Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, menilai keberadaan pasal tersebut tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia.

‎Saat Jimly memimpin MK, dia menghapus pasal yang dinilai inkonstitusional tersebut. Keputusan itu, ucap Jimly, bahkan dipuji Dewan HAM PBB. Namun demikian, mantan ketua MK ini menegaskan, sebagai kepala negara, tidak boleh ada warga yang menghina presiden.

Penolakan tegas terhadap penghidupan kembali pasal penghinaan presiden disampaikan aktivis 1998 yang pernah menjadi korban pasal tersebut, I Wayan Suardana.

"Saya menolak diaktifkan lagi pasal itu (penghinaan presiden) agar demokrasi negara ini tidak mundur lagi dan konstitusi dapat tegas dalam seluruh aspek hukum di Indonesia," kata Suardana kepada Liputan6.com di Denpasar, Rabu 5 Agustus 2015.

Menurut pria yang akrab disapa Gendo itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden secara hukum sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Jika dipaksakan, kata dia, pasal tersebut sangat rentan disalahtafsirkan oleh presiden. Akibatnya, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam demokrasi.

Terlebih, putusan MK sudah final dan mengikat. Oleh karena itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tidak bisa diaktifkan lagi. Jika dipaksakan, pasal penghinaan presiden cacat konstitusi.

Keputusan Final dan Mengikat

Ketua MK Arief Hidayat. (Antara Foto)

Ketua MK saat ini, Arief Hidayat, tidak banyak komentar bila pasal yang sudah dicabut MK kembali diusulkan pemerintah. Ia hanya mengatakan, keputusan yang telah ditetapkan MK merupakan keputusan hukum yang final dan mengikat.

"S‎aya nggak boleh komentar soal itu. Tapi k‎ita bisa mengatakan begini, putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Itu saja," ujar Arief usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 10 Agustus 2015. ‎

Namun begitu, Arief mempersilakan pemerintah bila ingin kembali mengusulkan pasal tersebut. Tentunya, pengajuan tersebut harus melalui proses terlebih dahulu seperti mendapatkan persetujuan DPR.

Dia mencontohkan saat ‎Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang digugat ke MK kemudian diajukan kembali. ‎

"Dalam UU MD3, itu kan kita mengajukan lagi, padahal kita sudah pernah memutus. Tapi apakah itu menjadi pengujian UU lagi nggak tahu saya. Saya tidak boleh komentar, karena kemungkinan itu bisa menjadi objek sengketa atau perkara di MK kembali," jelas Arief.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengaku optimistis usulan agar pasal penghinaan kepada persiden bisa diwujudkan.

"Hukum itu kan sesuatu yang berkembang, mungkin saja pada saat itu belum dibutuhkan dan belum dianggap urgent (genting). Tapi sekarang bisa jadi dibutuhkan. Tidak ada salahnya pasal penghinaan presiden dimasukkan lagi," ujar Masinton di Jakarta.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menegaskan, akan meminta akademisi untuk mengkaji lebih dalam. "Kita juga akan meminta masukan dari masyarakat. Tentu usulan kami tidak boleh mencederai demokrasi seperti bebas berpendapat dan berekspresi," tandas dia.

Masinton mengingatkan, pihaknya akan berusaha memasukkan pasal ini demi menjaga martabat Presiden. "Kita akan usahakan nanti. Intinya kalau penghinaan presiden tidak boleh. Ini untuk menjaga marwah Presiden juga. Kalau hanya kritik-kritik ya boleh saja," pungkas Masinton. (Sun/Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya