Setahun Jokowi-JK, Begini Pandangan Para Akademisi

Pengamat Ekonomi UI Berly Martawardaya optimis dengan kerangka besar tersebut, tahun depan perekonomian lebih membaik.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 20 Okt 2015, 16:22 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2015, 16:22 WIB
Jokowi-JK
Sidang kabinet Paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/2/2015) pagi, membahas Pilkada serentak, Perppu perubahan UU tentang kelautan, dan tentang perumahan rakyat. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, Selasa 20 Oktober 2015, genap setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Banyak yang memuji kinerja kedua pimpinan itu.

Para akademisi muda yang tergabung dalam Sukarelawan Indonesia Untuk Perubahan menyatakan, apa yang dihadapi pemerintah sekarang penuh dengan rintangan.

"Apa yang dihadapi pemerintahan Jokowi-JK sekarang, sama yang dialami rezim politik sebelumnya. Ini adalah sebuah proses adaptasi politik dalam masa transisi, tak mudah dan penuh rintangan," ujar koordinator Sukarelawan Dimas Oky Nugroho di Jakarta, Selasa (20/10/2015)

Tahun pertama pemerintahan, kata Dimas, Jokowi-JK harus menghadapi gejolak politik, baik di dalam maupun di luar kabinet. Karena itu, Presiden harus segera menciptakan stabilitas politik, seperti apa yang dilakukan rezim pemerintahan sebelumnya.

"Harus ada partai tengah yang kuat dibangun. Seperti zaman Soeharto, dia gunakan Golkar. Era SBY menggunakan koalisi partai yang baru solid di pemerintahan kedua kalinya, yakni di tahun 2009. Karena itu perlu ada disiplin politik baik di tingkatan elite kabinet maupun parpol," saran dia.

Menurut Dimas, dengan menjalankan disiplin politik baik di tingkatan elite politik maupun kabinet, maka stabilitas politik yang diciptakan akan lebih cepat daripada pemerintah lainnya.

"Karena itu saya harapkan di tahun kedua ini selesai, sehingga program-program bisa terlaksana dengan baik," tutur politikus PDI Perjuangan yang juga calon Walikota Depok itu.

Perubahan Positif

Di tempat yang sama, akademisi Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengatakan, gejolak ekonomi yang dialami selama setahun belakangan, bukan kesalahan Pemerintah Jokowi-JK. Sebab, dari 2011 tren ekonomi memang turun.

"Sejak 2011 ekonomi kita memang turun. Pak Jokowi melihat dan melakukan transisi bahwa konsep SBY sudah pada limitnya. Perubahan ini memang memerlukan waktu," kata dia.

"Misalnya, memotong subsidi BBM dan untuk pembangunan infrastruktur. Dan untuk pertama kali dalam sejarah, anggaran lebih besar disalurkan ke daerah daripada belanja pusat. Ini positif dan memang seharusnya dilakukan," sambung Berly.

Pengamat ekonomi itu mengatakan, external shock atau guncangan eksternal terkait nilai tukar mata uang memang sempat terjadi. Namun dia optimis dengan kerangka besar tersebut, maka tahun depan keadaan kemungkinan lebih membaik.

"Dari Rp 11.000, menjadi Rp 13.000 dan Rp 14.000. Tapi ini semua dirasakan semua regional baik itu di Brasil, Malaysia, maupun Turki. Terlebih saat pemerintah menyetop impor. Ada spekulan mafia beras yang coba menjegal. Untung pemerintah cepat belajar dan segera mengamankan harga beras. Apalagi reshuffle kemarin juga semakin kokoh," ujar Berly.

Sementara, pengamat politik dari Universitas Medan Faizal Andri Mahrawa berpendapat, tidak elok menilai sukses dan tidak suksesnya Jokowi-JK hanya dalam waktu setahun.

"Apa yang dibutuhkan Pemerintahan Jokowi-JK adalah menunggu 4 tahun lagi. Nawacita sudah berjalan tapi memang belum maksimal," tegas Faizal.

Karena itu, kata dia, perlu dalam tahun-tahun ke depan konsolidasi pemerintahan yang belum selesai. "Seolah-olah sekarang bukan satu matahari. Perlu ada kepemimpinan yang efektif. Seperti sebuah gebrakan kebijakan."

Hampir sama yang dilakukan Rizal Ramli (Menko Maritim), di mana apa yang dilakukannya adalah mencabut akar masalah dan bukan hanya menyelesaikan masalah. Saya masih optimis, Jokowi-JK masih on the rail track," pungkas Faizal. (Rmn/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya