Namanya Muncul di Rekaman, Jokowi Disarankan Klarifikasi

Pemerintah disarankan memberi klarifikasi agar publik tidak penasaran.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 05 Des 2015, 12:54 WIB
Diterbitkan 05 Des 2015, 12:54 WIB
20151201-Presiden Jokowi-FF
Presiden Jokowi saat memberikan pidato di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (2/12). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam rekaman pembicaraan kasus dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin, terselip nama Presiden Jokowi.

Dalam pembicaraan itu, disebutkan pula ada pengerahan Babimnas dan pengaturan noken untuk pemenangan pemilu.

Terkait hal ini, pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menyarankan, harus ada klarifikasi agar tidak menjadi catatan buruk pada sejarah Indonesia.

"Pemerintah kalau merasa nama baik tercemar lebih baik klarifikasi. Ini lebih besar dari kasus pencatutan nama Presiden, ini soal kredibilitas Presiden karena dituduh curang dalam pilpres. Ketiganya harus dipanggil‎," ujar Hendri, di Jakarta, Sabtu (6/12/2015).

Menurut Hendri, Jokowi tentunya terusik dengan adanya informasi dari rekaman itu. Begitupun publik jadi makin penasaran. Karena itu, dia menyarankan sebaiknya pihak istana segera menggelar konferensi pers untuk klarifikasi pada publik.

 



‎"Saat Jokowi tidak klarifikasi itu akan jadi catatan sejarah. Itu risiko yang harus ditanggung. Kalau salah, buktikan itu salah. Ini beban sejarah Jokowi-JK," tambah Hendri.

Berikut penggalan percakapan yang dibuka dalam Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Rabu 2 November 2015, yang memunculkan nama Komjen BG dan Komjen Syafruddin. Percakapan melibatkan Setya Novanto (SN), M Riza Chalid (MR), dan Maroef Sjamsoeddin (MS).

MR: Di Solo ada…., ada Surya Paloh, ada si Pak Wiranto pokoknya koalisi mereka. Dimaki-maki Pak, Jokowi itu sama Megawati di Solo. Dia tolak BG. Gila itu, saraf itu. Padahal, ini orang baik kekuatannya apa, kok sampai seleher melawan Megawati. Terus kenapa dia menolak BG. Padahal pada waktu pilpres, kita mesti menang Pak. Kita mesti menang Pak dari Prabowo ini. Kalian operasi, simpul-simpulnya Babimnas. Bapak ahlinya, saya tahu itu. Babimnas itu bergerak atas gerakannya BG sama Pak Syafruddin. Syafruddin itu Propam. Polda-polda diminta untuk bergerak ke sana. Rusaklah kita punya di lapangan.

SN: Termasuk Papua

MR: Termasuk Papua. Noken kita habis.

SN: Habis Pak, hampir setengah triliun.

MR: Kapolda Papua itu kan sahabat saya, sahabat deket.

MS: Tito

MR: Tito. Akhirnya ditarik ke Jakarta supaya nggak menyolok, jadi Asrena. Sekarang Papua sudah jalan, kasih hadiah sama Jokowi. Padahal maunya Jakarta bukan dia. Pak BG maunya bukan Tito. Pak BG maunya Pak Budi. Tapi Budi ditaruh Bandung. Tito Jakarta. Yang minta Jokowi.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya