Janji Indonesia untuk Australia di Sidang Jessica Wongso

Apakah mungkin tuntutan jaksa untuk Jessica karena kesepakatan kedua negara?

oleh Nafiysul QodarAndreas Gerry TuwoMuslim ARNurul Basmalah diperbarui 09 Okt 2016, 00:06 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2016, 00:06 WIB
20160919- Sidang ke-22 Jessica Kumala Wongso -Jakarta- Helmi Afandi
Jessica Kumala Wongso berjalan menuju kursi saat sidang ke-22, kasus kematian Mirna Wayan Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (19/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Jaksa Penuntut Umum (JPU) menepati janjinya. Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin dengan racun sianida, lolos dari tuntutan hukuman mati. Jessica dituntut pasal pembunuhan berencana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (340 KUHP).

Suasana Rabu 5 Oktober 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, tampak lain. Para pengunjung sidang membludak sampai dengan luar ruangan. Ratusan polisi berjaga di sekitar gedung pengadilan.

Hari itu JPU akan membacakan tuntutan Jessica Kumala Wongso di depan Majelis Hakim yang diketuai Kisworo. Ini adalah babak baru 'pertempuran intelektual' kasus kopi sianida yang sudah berjalan 26 kali persidangan.

Ahli-ahli dari kedua kubu dihadirkan untuk mengeroyok fakta-fakta yang didapatkan selama penyelidikan dan penyidikan. Termasuk catatan-catatan pelanggaran Jessica selama tinggal di Australia.

Persidangan yang seharusnya digelar pada pukul 09.00 WIB, molor hingga tengah hari. Pembacaan berkas tuntutan setebal 287 halaman itu berjalan higga larut malam. Sementara tuntutan baru dibacakan sekitar pukul 20.00 WIB. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Jessica Kumala atau Jessica Kumala Wongso dengan pidana penjara selama 20 tahun," kata Jaksa membacakan tuntutannya.

Jessica yang mendengar tuntutan tersebut tidak kuasa menahan kesedihan. Matanya terlihat berkaca-kaca. Kondisi itu terlihat jelas pada layar TV LCD milik PN Jakarta Pusat.

Jessica menyandarkan punggungnya ke kursi seakan menunjukkan ketidakberdayaan. Namun Jessica segera bangkit. Dia mencoba menegakkan posisi duduknya dan memberanikan menatap majelis hakim yang ada di depannya.

Ada lima hal yang dinilai jaksa memberatkan Jessica dalam kasus yang menyedot perhatian masyarakat luas tersebut.

"Pertama meninggalnya korban telah menyebabkan kepedihan mendalam terhadap keluarga. Kedua perencanaan terdakwa dilakukan secara matang, sehingga terlihat keteguhan," ucap jaksa Melanie.

Hal ketiga yang memberatkan adalah perbuatan Jessica dinilai sangat keji. Sebab, Jessica melakukannya terhadap temannya sendiri.

"Keempat perbuatan tergolong sadis karena tak langsung membunuh, tetapi membuat korban tersiksa," Melanie memaparkan.

"Kelima saudara terdakwa dalam pemeriksaan berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara tidak ada hal-hal yang meringankan," kata Melanie.

Menurut koordinator JPU Ardito Muwardi, tuntutan 20 tahun sudah sesuai, serta merupakan hukuman yang maksimal.

"Artinya kan ini juga sebuah hukuman maksimal, 20 tahun dengan tak ada hal yang meringankan, 20 tahun juga sebuah hukuman maksimal," ujar Ardito.

Ardito menyatakan, tuntutan 20 tahun penjara tak menunjukkan mereka goyah dalam menentukan hukuman yang tepat bagi Jessica.

"Kami dalam pembuktian mantap sekali. Cuman, ya itulah. Kami berada pada sisi subjektivitas kami. Kami anggap 20 tahun hukuman yang pantas," tegas dia.

"Kalaupun hakim melihat lebih objektif, masyarakat juga punya pandangan lain. Kalau hakim merasa kurang berat, akan diperberat, itu hak dia," Ardito memungkasi.

Murka Keluarga Mirna

20160914- Kembaran Mirna Made Sandy Salihin-Jakarta- Helmi Afandi
Kembaran Mirna, Made Sandy Salihin (kanan) saat menghadiri sidang lanjutan dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, Jakarta, Rabu (14/9). Sandy mengaku hingga kini dirinya dan keluarga sampai sekarang masih berkabung. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Keluarga mendiang Wayan Mirna Salihin tidak terima dengan tuntutan 20 tahun Jessica Kumala Wongso. "Saya tidak puas dan kecewa sekali," ujar suami Wayan Mirna Salihin, Arief Soemarko, sambil terisak saat jumpa pers di sebuah restoran di gedung Panin Tower, di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Selatan, sehari setelah pembacaan tuntutan.

"Pemutaran balik fakta yang luar biasa menurut saya. Karena kami keluarga tidak pernah merasa puas, karena Mirna hilang. Enggak bisa balik lagi," Arief menambahkan.

Dia meminta agar Jessica dihukum seberat-beratnya. Selain itu, hukuman berat terhadap Jessica untuk mencegah tindakan serupa tidak terjadi pada orang lain.

"Bagaimana ini kalau terjadi dengan orang lain. Di mana hati nurani kalian? Kita sedih, yang jelas kita selalu di sisi Mirna, kita semua sayang Mirna," kata Arief.

Arief mengungkapkan, telah mengenal Mirna sejak 2006. Mereka menjalin kasih hingga 8 tahun lamanya hingga akhirnya menikah. Kisah perjalanan cintanya dengan Mirna banyak membuat dia berubah lebih baik.

"Kepergian dia ini kita baru sebulan lebih menikah. Perginya dia ini menyayat hati apalagi yang ngelakuinnya itu temannya," Arief menuturkan.

Dia mengatakan, tidak menyangka nasib tragis akan dialami oleh istrinya. Sebab, dia sendiri yang mengantar Mirna ke Kafe Olivier di Grand Indonesia pada 6 Januari 2016 untuk bertemu Jessica dan Hani.

"Saya sendiri yang anter dan bilang akan jemput. Enggak nyangka dapat telepon yang seperti itu. Sampai sekarang kata-kata Hani masih teringat, waktu jemput itu masih ada ekspresinya, enggak ke hapus. Saya enggak mau balik ke waktu itu karena itu sangat menyakitkan bagi saya," kisah dia.

Saudara kembar Wayan Mirna Salihin, Made Shandy Salihin, berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersikap adil saat menjatuhkan vonis terhadap Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuh Mirna.

"Cuma bisa berharap hakim jatuhkan seumur hidup, saya percaya hakim bijak dan adil. Pembunuh berdarah dingin tanpa penyesalan berbahaya jika hidup di luar penjara," ujar Shandy dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (8/10/2016).

Ia menjelaskan, tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) agar Jessica dihukum selama 20 tahun, bagi keluarga Mirna dinilai terlalu ringan dan belum memberikan rasa keadilan. Shandy pun menilai hukuman maksimal pantas diberikan kepada Jessica.

"Kami berharap seumur hidup, karena dia tidak ada rasa penyesalan dan tak mengakui atas perbuatannya serta tidak ada minta maaf," ujar dia.

Menurut ibu satu ini, dengan tuntutan yang ringan, dikhawatirkan Jessica berpotensi melakukan kejahatannya lagi di kemudian hari. Bahkan yang ditakutkan oleh Shandy, Jessica dapat membahayakan keluarganya bila bebas dari masa hukuman.

"Apalagi, sudah ada yang terinspirasi oleh Jessica meracuni pakai kopi bersianida. Itu kan sudah tidak benar, jadi dicontoh sama semua orang bahaya bagi negara ini," jelas dia.

Selain itu, Shandy menilai pertimbangan Jessica harus menerima hukuman berat karena sikap Jessica yang tidak kooperatif di persidangan. Salah satu contoh, banyaknya keterangan berbeda yang disampaikan oleh Jessica.

"Tapi pas ditanya lupa atau tidak ingat seperti amnesia. Namun, saat ditanya oleh lawyer-nya menjawab lancar sekali seperti sudah di setting oleh mereka dan saat ditanya JPU atau pak hakim dia tak bisa jawab dengan jelas, kebanyakan menjawab lupa atau tidak ingat," Sandy menandaskan.

Datangi Kejaksaan Agung

Segala upaya dilakukan keluarga mendiang Wayan Mirna Salihin untuk mencari keadilan. Salah satunya dengan mendatangi markas Kejaksaan Agung di Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan.

"Ada satu poin juga di sana kami menanyakan soal tuntutan 20 tahun karena awalnya kami berharap bisa semaksimal mungkin seperti hukuman mati atau seumur hidup," kata Sepupu Mirna, Yongki Susilo di Kompleks Kejaksaan Agung, Jumat (7/10/2016).

Yongki yang datang bersama dengan suami Mirna, Arief mengaku sudah bertemu dengan Jampidum Noor Rahcmad. Dalam pertemuan itu, mereka menanyakan alasan jaksa menuntut Jessica 20 tahun penjara.

"Kejaksaan bilang, mereka berjuang keras tanpa ragu sedikit pun. Kami hanya ingin dapat penjelasan clear," ucap Yongki.

Yongki mengaku, menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim terkait putusan atau vonis Jessica nantinya.

"Kami serahkan majelis hakim, berdoa majelis mendapat nurani bisa menghukum terbaik," ujar Yongki.

Janji Tidak Dihukum Mati

20160924 Menkumham Yasonna Laoly Tutup Rakor Pembangunan Hukum Indonesia
Menkumham Yasonna Laoly. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya membeberkan, Pemerintah Australia bersedia membantu proses penyidikan aparat Polda Metro Jaya dengan syarat Jessica Wongso tidak akan dijatuhi hukuman mati.

Masih kata Yasonna, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya tidak akan mungkin mendapat salinan berkas catatan pelanggaran hukum Jessica di Sydney, jika pemerintah tidak menyepakati syarat Australia.

"Krishna Murti (Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya) ke Aussie (Australia) karena sudah ada jaminan. Mereka dapat akses untuk mencari bukti-bukti yang berkenaan dengan Jessica," kata Yassona di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta Selatan, 13 Juni 2016.

"Sebagai negara, harus menghargai perjanjian internasional, MLA (Mutual Legal Assistence). Mengapa kita lakukan (kesepakatan)? Dalam rangka memperjelas crime yang dilakukan seseorang. Bukan untuk intervensi kewenangan peradilan," tandas Yassona.

Merespons hal itu, ayah kandung mendiang Mirna Salihin, Darmawan Salihin meminta Pemerintah Australia tidak ikut campur dalam penentuan hukuman Jessica Kumala Wongso. Darmawan menegaskan, Jessica masih berstatus Warga Negara Indonesia, meskipun ia memiliki status permanent resident di Negeri Kangguru.

"Dia itu orang Indonesia, bukan Australia. Masa Australia mau ikut campur? Hargai (Indonesia) dong," tegas Darmawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa 21 Juni 2016.

Darmawan menilai, Australia takut pengadilan Indonesia menjatuhi hukuman mati kepada Jessica, karena Polisi Australia (Australian Federal Police) memberikan catatan pelanggaran hukum Jessica selama di Sydney.

Laporan ABC 730 menyebut, dokumen tersebut diserahkan kepada kepolisian Indonesia. Salah satu isinya mengungkapkan bahwa Jessica terindikasi mengalami gangguan kesehatan mental.

Seperti dikutip dari News.com.au, Senin (8/8/2016), Jessica tinggal di Sydney, Australia, selama 7 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk berlibur ke Jakarta.

Pada saat masa liburan tersebutlah perempuan itu menjadi tersangka pembunuhan temannya sendiri, Mirna Salihin.

Jessica dituduh meracuni Mirna hingga tewas, ia diduga memasukkan racun sianida ke dalam kopi korban di kafe Olivier Jakarta. Tersangka dan korban dilaporkan berkenalan saat menempuh pendidikan di Billy Blue Design College di Sydney.

Menteri Kehakiman Australia, Michael Keenan, menyetujui penyerahan berkas AFP yang berisikan detail mengenai perilaku Jessica, selama setahun sebelum dia diduga membunuh Mirna.

Berkas yang didapat ABC 730 mencantumkan laporan rahasia intelijen polisi yang berisikan detail 4 percobaan bunuh diri yang membutuhkan perawatan rumah sakit, perilaku mengancam rekan kampus, dan kecelakaan lalu lintas akibat mengonsumsi alkohol.

Dokumen disebut-sebut juga berisikan informasi tindak kekerasan yang dilakukan oleh mantan kekasih Jessica kepadanya.

Sejauh ini, pihak berwajib Indonesia menggunakan berkas-berkas tersebut untuk mendakwa Jessica. Namun, pengacara wanita tersebut, Yudi Wibowo, mengatakan, informasi dalam dokumen telah disalahgunakan.

"Sebuah laporan kepada polisi Australia dijadikan sebagai tindakan kriminal oleh pihak Indonesia -- ini jelas penyalahgunaan," kata Yudi.

"Ya, mereka menginginkan hukuman mati, dan tugas saya sebagai pengacara adalah mencoba untuk menghindari hukuman tersebut dan membuat Jessica bebas. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menuntut Jessica dihukum mati," ujar sang pengacara.

Hingga saat ini Jessica telah menjalankan sidang yang ke-10, terkait tuduhan pembunuhan terhadap temannya, Mirna Salihin.

Sidang tersebut  menyingkap fakta-fakta baru dari bukti scientific yang dikumpulkan dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara Pusat Raden Said Sukanto, dr Slamet Poernomo, dan Kepala Bidang Kimia dan Biologi Laboratorium Forensik Bareskrim Polri, Komisaris Besar Nursamran Subandi.

Seperti tidak adanya otopsi menyeluruh yang dilakukan pada jasad Mirna, jumlah sianida yang ditemukan dalam kopi korban tidak cukup untuk merenggut nyawa seseorang, serta 'kepintaran' sang pembunuh -- siapa pun dia sesungguhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya