Isi Pleidoi Lengkap yang Dibacakan Ahok

Ahok membacakan pleidoi atau pembelaan di sidang ke-21 kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jaksel.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 25 Apr 2017, 12:29 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2017, 12:29 WIB
Sidang Pledoi Ahok
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menjalani sidang kasus dugaan penistaan agama di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). Sidang beragendakan pembacaan pledoi. (Liputan6.com/Kristianto Purnomo/Pool)

Liputan6.com, Jakarta - Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membacakan pleidoi atau pembelaan di sidang ke-21 kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.

Berikut pleidoi lengkap Ahok yang dibacakan di depan majelis hakim:

Tetap Melayani Walau Difitnah

Setelah mengikuti jalannya persidangan, memperhatikan realita yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, serta mendengar dan membaca tuntutan penuntut umum yang ternyata mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan agama, seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini dan karenanya terbukti saya bukan penista atau penoda agama. Saya mau tegaskan, saya bukan penista atau penoda agama. Saya juga tidak menghina suatu golongan apa pun.

Majelis hakim yang saya muliakan, banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah. Bahkan Penuntut Umum mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa saat di Kepulauan Seribu, banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungan saya.

Bahkan disiarkan secara langsung yang menjadi materi pembicaraan di Kepulauan Seribu, tidak ada satu pun mempersoalkan, keberatan, atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut.

Bahkan termasuk pada saat saya diwawancara setelah dialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu. Namun baru menjadi masalah sembilan hari kemudian, tepatnya tanggal 6 Oktober 2016 setelah Buni Yani mem-posting potongan video pidato saya dengan menambah kalimat yang sangat provokatif. Barulah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa sangat terhina. Padahal mereka tidak pernah mendengar langsung, bahkan tidak pernah menonton sambutan saya secara utuh.

Adapun salah satu tulisan yang menyatakan saya korban fitnah adalah tulisan Goenawan Mohamad: "Stigma itu bermula dari fitnah. Ia tak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus menerus diulang akan jadi "kebenaran". Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian.Ahok pun harus diusut oleh pengadilan, dengan undang-undang "penistaan agama" yang diproduksi rezim Orde Baru -- sebuah undang-undang yang batas pelanggarannya tak jelas, dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu.Walhasil, Ahok diperlakukan tidak adil dalam tiga hal: (1) difitnah, (2) dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, (3) diadili dengan hukum yang meragukan.Mengakui adanya ketidak-adilan di dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok -- yang tak bisa diubah -- adalah sebuah ketidak-jujuran.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menjalani sidang pembelaan atau pleido kasus dugaan penistaan agama di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). (Liputan6.com/Kristianto Purnomo/Pool)

Majelis Hakim yang saya muliakan,

Ketika saya memilih mengabdi melayani bangsa tercinta ini, saya masuk ke pemerintahan dengan kesadaran penuh untuk mensejahterakan rakyat -- otak, perut dan dompet. Untuk itu ketika saya memberikan sambutan di Pulau Pramuka, saya memulai dengan kata 'saya mau cerita biar bapak ibu semangat'. Dari sambutan saya jelas sekali, saya hanya punya satu niat, saya, keluarga tebal kantongnya mau ambil program yang sangat menguntungkan ini.

Terbukti penuntut umum mengakui tidak memiliki niat sedikit pun untuk menista atau menoda agama. Dan saya tegaskan, saya tidak punya niat sedikit pun untuk menghina golongan tertentu‎.

 

Cerita Ikan Nemo

Majelis Hakim yang saya muliakan,

Bicara melayani orang lain, ketika ada anak-anak TK yang menemui saya di Balai Kota, saat itu ada anak TK melakukan tanya jawab, mungkin sama dengan majelis hakim tanya, anak TK juga punya persepsi yang sama. anak TK bertanya, 'saya ingin tanya sama bapak kenapa bapak melawan semua orang, melawan arus. Ribut sama semua orang'. Ini pertanyaan anak TK sebetulnya. Saya waktu itu bingung menjawab anak TK untuk pertanyaan begitu.

Kemudian saya nonton di TV, saya bingung karena banyak pertanyaan akhir.

Kemudian saya mengajak mereka ke Balai kota untuk menonton cuplikan film Finding Nemo. Setelah itu saya menjelaskan pesan moral dalam film Finding Nemo, sebagaimana bisa dilihat dalam video Youtube yang saya kutip sebagai berikut,

'Bapak mau kasih tahu pelajaran dari ikan ini. Kalian bisa lihat gak tadi? Papanya tidak izinkan Nemo masuk ke dalam jaring, jadi jaring tadi Nemo bisa keluar masukkan. Ikan besarkan tertangkap, ikan Nemo boleh masuk gak? boleh juga. Buat apa dia membahayakan nyawanya dia masuk, padahal papanya khawatir. Kalau Nemo masuk ikan begitu banyak bisa kejepit, bisa keangkat, lalu kita sekarang hidup di zaman orang-orang yang kadang-kadang berenangnya searah, persis seperti ikan. Yang benar harus berenang ke bawah tapi semua ikan ikut jaring ke atas kalau dibiarkan ikut ke atas, ikan-ikan ini akan mati tidak? jawab anak-anak mati. Bagaimana mereka bisa tahu yang benar.

Suasana sidang sidang kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok  di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). Sidang beragendakan pembacaan pledoi. (Liputan6.com/Kristianto Purnomo/Pool)

"Bapak mau kasih tahu melalui pelajaran ikan ini, kalian bisa lihat ga tadi, papanya tidak izinkan Nemo masuk ke jaring, ya jadi jaring tadi Nemo bisa keluar masuk kan, ikan besar kan tertangkap, kalau ikan Nemo ga mau masuk boleh gak?, boleh juga. Buat apa dia membahayakan nyawanya, dia masuk padahal papanya khawatir dia masuk, ikan gitu banyak bisa kejepit, bisa keangkat, lalu kita hidup di zaman dimana orang-orang itu berenangnya salah arah, jadi persis seperti ikan, yang benar harusnya berenang ke bawah. Tapi semua ikan ikut jaring ke atas. Kalau dibiarkan ikut ke atas ikan ikut kejaring mati gak?. Jawab anak-anak mati. Nah bagaimana mereka bisa tau apa yang benar. Nemo yang tahu, waktu Nemo minta berenang berlawanan arah, kira-kira orang nurut gak? Gak nurut, jadi sama, kita hidup di dunia ini, kadang kita melawan arus melawan orang yang ke arah berbeda sama kita, tapi kita tetap lakukan demi menyelamatkan dia, dia bilang kalau gak si Dori bisa mati nih, ikan yang biru, jadi papanya mengikhlaskan, merelakan anaknya untuk masuk, lalu ketika dia mulai teriak minta tolong Nemo papanya tau ga resikonya. Tau, bisa kejepit mati ikan kecil, lalu begitu terlepas ada ga ikan yang berterima kasih oleh Nemo yang terkapar pingsan? Tidak ada.

Jadi inilah yang harus kita lakukan. Sekalipun kita melawan arus semua, melawan semua orang berbeda arah kita harus tetap teguh, semua tidak jujur gak apa-apa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita juga tidak peduli karena Tuhan tidak menghitung untuk kita, bukan orang.

Nah ini pelajaran dari film ikan Nemo, jadi bukan soal ketangkap ikannya itu tadi. Jadi orang tanya sama saya, kamu siapa? saya bilang saya hanya seorang ikan kecil Nemo di tengah Jakarta seperti itu. Ini pelajaran untuk kita... (disambut  tepuk tangan anak-anak).

Majelis hakim yang saya muliakan,

Sambutan tepuk tangan anak-anak kecil di akhir cerita saya tersebut memberi saya penghiburan dan kekuatan baru untuk terus berani melawan arus menyatakan kebenaran dan melakukan kebaikan sekalipun seperti ikan kecil Nemo. Karena saya percaya di dalam Tuhan segala jerih payah kita tidak ada yang sia-sia. Tuhan yang melihat hati mengetahui isi hati saya, saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta, yang akan terus menolong yang miskin dan membutuhkan, walaupun saya difitnah dan dicaci maki dihujat karena perbedaan iman dan kepercayaan saya, saya akan tetap melayani dengan kasih.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bersiap menjalani sidang pembelaan atau pleido kasus dugaan penistaan agama di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). (Liputan6.com/Kristianto Purnomo/Pool)

Majelis hakim yang saya muliakan,

Saya bersyukur karena dalam persidangan ini saya bisa menyampaikan kebenaran yang hakiki, dan saya percaya majelis hakim yang memeriksa perkara ini, tentu akan mempertimbangkan semua fakta dan bukti yang muncul dalam persidangan ini dimana penuntut umum mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan terhadap agama, sepreti yang dituduhkan pada saya selama ini, dan karenanya saya tidak terbukti sebagai penista agama.

Berdasarkan hal tersebut di atas, haruskah masih dipaksakan bahwa saya menghina satu golongan padahal tidak ada niat untuk memusuhi atau menghina siapa pun, dan tidak ada bukti bahwa saya telah mengeluarkan perasaan atau mengeluarkan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penghinaan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama, atau penghinaan terhadap satu golongan? Saya berkeyakinan bahwa majelis hakim akan memberikan keputusan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, karena mengambil keputusan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Majelis hakim yang saya muliakan,

Demikian nota pembelaan ini saya buat untuk mematahkan semua tuduhan dan fitnah atas sambutan saya selaku Gubernur DKI Jakarta, yang sedang menjalankan tugas di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 dengan maksud mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program budidaya ikan kerapu berdasarkan pasal 31 UU Pemerintahan Daerah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya