Menatap RUU Penyiaran yang Baru, Harapan atau Ketidakpastian?

RUU Penyiaran ini, jika disetujui Pemerintah dan DPR, akan menggantikan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jun 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2017, 11:30 WIB
Opini Ishadi SK
Opini Ishadi SK (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu Ketua Komisi 1 DPR Abdul Kharis Almansyuri menyampaikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada akhir masa sidang ini, dan disahkan sebagai RUU Penyiaran inisiatif DPR.

Artinya, RUU Penyiaran tersebut sudah melewati pembahasan mendalam, baik di antara anggota Panja (Panitia Kerja), maupun di antara anggota-anggota Baleg (Badan Legislatif) yang bertugas melakukan harmonisasi pasal demi pasal agar sesuai peraturan perundang- undangan lainnya, termasuk berbagai keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kerangka uji materiil.

Dalam menjalankan tugasnya, sejak dua bulan terakhir, Baleg telah melakukan berbagai Rapat Dengar Pendapat dengan stakeholder industri penyiaran Indonesia untuk mendapatkan masukan, saran, dan pendapat terhadap RUU Penyiaran.

Mulai dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, KPI, berbagai asosiasi penyiaran televisi, asosiasi radio, TVRI dan RRI, kalangan akademisi maupun pihak-pihak yang berkepentingan.

Tujuannya untuk memastikan RUU Penyiaran tersebut dapat menjadi landasan terciptanya keberlangsungan usaha penyiaran Indonesia menuju industri penyiaran yang mandiri, sehat, kuat, dan dapat bersaing di dunia internasional.

RUU Penyiaran ini, jika disetujui Pemerintah dan DPR, akan menggantikan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, dan menjadi landasan utama dari pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog, menjadi digital dimana berdasarkan konsensus yang diterima mayoritas negara-negara anggota ITU (International Telecommunication Union), batas akhir (deadline) dari penggunaan fekuensi analog di Region 1 dan wilayah perbatasan antar negara, atau yang dikenal dengan analog switch off (ASO) atau digital switch over (DSO) adalah 15 Juni 2020.

Kecuali untuk negara-negara di Region 3 (termasuk Indonesia), di mana negara-negara anggota ITU dapat menetapkan tanggal lain sesuai kondisi industri penyiarannya.

Penggunaan sistem penyiaran digital merupakan suatu keniscayaan dan telah menjadi tuntutan global. Khususnya dalam memenuhi ekspektasi pemirsa untuk mendapatkan akses terhadap berbagai konten dan layanan anywhere, anytime dan any device setiap harinya.

Teknologi penyiaran digital juga dapat menciptakan equal level of playing field, karena setiap stasiun televisi sudah pasti menghasilkan kualitas gambar dan suara yang baik, sehingga konsentrasi stasiun televisi nanti adalah bagaimana menciptakan dan memproduksi konten-konten berkualitas dan menarik pemirsa.

Dari sisi penggunaan frekuensi, akan terjadi efisiensi dan efisiensi yang diciptakan menghasilkan digital dividend kurang lebih sebesar 112 Mhz, yang dapat digunakan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan broadband data di Indonesia, khususnya daerah pedesaan.

Dari sisi model bisnis migrasi, telah berkembang 3 konsep yang menjadi bahan diskusi di antara para pelaku industri penyiaran eksisting, pemerintah, dan expert di bidang penyiaran sejak beberapa bulan terakhir, yaitu:

1. Single mux operator, di mana hanya ada 1 operator atau penyelenggara layanan multipleksing penyiaran digital, dalam hal ini LPP RTRI.

Dalam model bisnis ini, RTRI akan menguasai dan mengelola penggunaan frekuensi dan menyediakan infrastruktur transmisi. Sedangkan kegiatan lembaga penyiaran swasta (LPS) hanyalah memproduksi konten dan menyiarkannya melalui kanal frekuensi dan infrastruktur, yang dikelola oleh RTRI melalui sistem sewa.

2. Model multi multipleksing operator, di mana setiap LPS eksisting menjadi pengelola frekuensinya masing-masing, dan menjalankan multipleksing untuk keperluan internal LPS sendiri.

3. Model hybrid, di mana LPP dan LPS yang memiliki kemampuan teknologi yang mumpuni, ditunjuk menjadi operator atau penyelenggara layanan multipleksing.

Masing-masing operator multipleksing mengelola frekuensi dan infrastruktur penyiaran, untuk dipergunakan oleh LPP atau LPS penyelenggara multipleksing dan LPS lainnya, melalui penyewaan kanal frekeunsi dan infrastruktur.

Berdasarkan data yang diperoleh dari EBU (European Broadcasting Union), ABU (Asia Pasific Broadcasting Union), maupun ITU (International Telecommuniation Union), dipastikan bahwa hampir seluruh negara anggota ITU yang telah melakukan proses migrasi digital ataupun telah menetapkan ASO, memilih sistem hybrid mux operator.

Hanya ada 2 (dua) negara yang menggunakan sistem single mux operator, yakni Jerman dan Malaysia.

Model single mux operator dipilih oleh Jerman karena dari sisi populasi pemirsa, TV FTA hanya melayani 10 persen dari total penduduknya, sedangkan 90 persen dilayani oleh cable dan DTH.

Di Jerman, TV FTA digital hanyalah layanan komplementer untuk daerah rural. Model ini juga dipilih oleh Malaysia yang segera meluncurkannya kepada publik.

Di Malaysia, hampir 70 persen masyarakat dan pemirsa dilayani oleh DTH dan Cable ASTRO. Sedangkan jumlah LPS hanya 7 dan sebagian besar dimiliki oleh atau di bawah kontrol Pemerintah.

Kenapa model hybrid maupun multi mux operator yang dipilih, bukan model single mux operator?

Berikut beberapa alasannya:
1. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke.

Apabila pemerintah menyerahkan pengelolaan frekuensi dan penyediaan infrastruktur penyiaran kepada LPP RTRI atau BUMN, sebagai single mux operator, maka pemerintah harus menyediakan dana APBN sangat besar untuk membiayai investasi, yang akan dikeluarkan oleh single mux operator.

Pembiayaan infrastruktur penyiaran digital melalui mekanisme APBN atau pinjaman dari luar negeri G2, akan membebani anggaran negara yang saat ini fokus pada pembangunan ekonomi kerakyatan.

2. LPS eksisting akan kehilangan hak untuk mengelola frekuensi, yang merupakan roh dari penyiaran TV FTA dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya penyiaran secara berkesinambungan.

3. TV FTA eksisting telah melakukan investasi sangat besar, untuk membangun jaringan infrastruktur penyiaran yang berada di lebih dari 50 wilayah layanan dan dapat melayani lebih dari 200 kabupaten dan kota di seluruh Nusantara.

Apabila model single mux operator yang dipilih, maka seluruh infrastruktur tersebut menjadi tidak dapat digunakan lagi. Artinya, terjadi pemborosan investasi.

4. Pemilihan model single mux operator akan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap ribuan karyawan teknik penyiaran, yang selama ini bekerja dan berkarya untuk mengelola infrastruktur penyiaran LPS eksisting.

5. Karena tidak ada kompetisi yang sehat, maka tidak ada kontrol terhadap biaya sewa yang akan diberlakukan oleh single mux operator.

LPP RTRI atau BUMN yang ditunjuk, akan membebankan seluruh biaya investasi yang dikeluarkan kepada LPS atau penyedia konten siaran yang menggunakan infrastrukturnya.

Tidak adanya kompetisi, berakibat pada rendahnya service level layanan penyiaran tv digital.

6. Single mux operator tidak akan dapat adaptif dalam menghadapi perkembangan teknologi penyiaran televisi masa depan, yang berubah sangat cepat. Saat ini teknologi gambar HDTV (High Definition Televison) akan segera digantikan oleh teknologi UHD (Ultra High Definition) 4K, 8K dan 16K.

Sementara itu, dari sisi teknologi kompresi juga berkembang dari MPEG 2, MPEG 4, dan sekarang HEVC (High Efficiency Video Coding).

Mekanisme pembiayaan via APBN atau pinjaman luar negeri harus melalui proses birokrasi panjang, yang membuat single mux operator terlambat mengantisipasi permintaan atas layanan terbaru oleh LPS dan pemirsa.

Selain berbagai alasan di atas, pemilihan single mux operator sebagai model bisnis migrasi digital TV FTA, berpotensi menciptakan praktik monopoli yang diharamkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebab, penguasaan atas faktor produksi dalam hal ini frekuensi siaran/slot kanal dan infrastruktur oleh single mux operator, dalam hal ini LPP RTRI, adalah salah satu kegiatan yang menunjukkan bahwa ada posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah, yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini, dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Dengan alasan single mux operator akan meningkatkan PNBP bagi negara, konsep single mux malah sebuah langkah mundur dalam industri penyiaran. Karena akan menghambat kreatifitas pelaku usaha, dan menyebabkan nilai sewa standar antar pelaku di industri penyiaran menjadi tidak kompetitif dan tidak terjadi service level layanan penyiaran yang baik dan berstandar internasional.

Ujungnya adalah industri penyiaran menjadi tidak efisien dalam jangka panjang. Industri penyiaran TV FTA secara alamiah merupakan industri padat modal, yang menuntut ketersediaan modal investasi dan modal kerja yang besar.

Padat modal karena industri penyiaran sejak awal dituntut terus menerus mampu melakukan investasi, baik untuk menghadapi perkembangan teknologi penyiaran yang sangat cepat, dan pada saat sama dituntut menayangkan konten-konten berkualitas, walaupun harus diakuisisi atau diproduksi dengan biaya sangat mahal.

Setelah dikelola secara profesional dalam kurun waktu lama dan dengan kerja keras, dengan mempertaruhkan seluruh resources yang dimiliki, industri penyiaran TV FTA Indonesia telah menjadi industri strategis yang menjadi salah satu pilar penggerak ekonomi Indonesia.

Didukung lebih dari 15 stasiun televisi berjaringan, di mana 7 di antaranya merupakan bagian dari perusahaan publik, ratusan televisi lokal dengan mempekerjakan lebih dari 50,000 karyawan tetap dan pendukung.

Di era digital dan konvergensi media saat ini, industri TV FTA Indonesia dituntut dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan dapat bersaing secara regional dan internasional.

Sudah saatnya pemerintah, khususnya Menteri Komunikasi dan Informasi dan DPR, mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan masing-masing bisnis model migrasi digital secara saksama, dengan mempertimbangkan masukan dari stakeholder penyiaran, khususnya LPS eksisting agar industri TV FTA dapat tumbuh dan berkembang.

Penggunaan konsep atau bisnis model yang tidak akomodatif, bukan saja membuat industri strategis ini menjadi tidak kompetitif, tetapi dapat mengancam keberlangsungan usahanya.

Usulan ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) agar RUU Penyiaran mengadopsi model hybrid, merupakan solusi terkait polemik monopoli akibat dipilihnya sistem single mux operator dalam RUU Penyiaran saat ini.

Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing, merupakan bentuk nyata demokratisasi penyiaran, di mana LPP dan LPS menjadi operator atau penyelenggara multipleksing akan mengakomodir kepentingan pihak-pihak, baik yang memiliki kepentingan komersil maupun yang tidak.

Sistem hybrid akan menjamin ketersediaan kanal untuk program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog terbatas) menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran masa depan seperti UHD4K, UHD 8K dan Hybrid Broadband Broadcast Television (HbbTV).

Ketersediaan frekuensi untuk system hybrid ini tetap mencukupi, baik untuk mengakomodir siaran LPS, antisipasi perkembangan teknologi ke depan, maupun digital deviden.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya