Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam ), Wiranto mempersilakan bagi pihak yang keberatan dengan diterbitkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau lebih dikenal Perppu Ormas untuk mengambil langkah hukum. Namun ia mewanti-wanti, proses di pengadilan bagi yang akan mengambil langkah tersebut berlangsung cukup panjang.
"Nanti setelah dibubarkan enggak keterima, silakan ke pengadilan. Kalau mau membubarkan pengadilan harus lewat pengadilan dulu, makan waktu panjang. Peringatan, peringatan, peringatan, baru pengadilan, banding, kasasi, PK, wah panjang. Nanti keburu ribet kita," jelas Wiranto.
Wiranto pun menegaskan tidak ada motif politik atau tendensi terhadap organisasi keagamaan di balik terbitnya Perppu tersebut.Â
Advertisement
"Ini bukan akal-akalan pemerintah untuk berbuat sesuatu yang dapat keuntungan dari ini, tidak. Kita harus waspada. Suatu saat, cepat atau lambat ini segera ada suatu pengaruh yang sangat masif di kalangan masyarakat," kata Wiranto.Â
Lebih lanjut, Wiranto menjelaskan, pemerintah mempunyai pandangan tersendiri terkait diterbitkannya Perppu tersebut. Salah satunya adalah mengedepankan asas hukum contrario actus, yakni pemerintah mencoba mengembalikan asas hukum tersebut yang tidak ada di undang-undang sebelumnya, yaitu UU nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan.
"Itu hukum universal. Siapa pun yang mengeluarkan izin, memberikan keabsahan, maka dia berhak untuk mencabut izin itu, tatkala organisasi atau yang diberikan izin itu mengingkari komitmen dari awal. Sekarang kami berikan izin, tatkala memberi izin itu mengingkari, kita membubarkan enggak bisa. Harus lewat pengadilan, itu mengikrari asas itu. Kita hanya ingin memasuki asas itu," kata Wiranto.
Sementara itu, pakar hukum bidang perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono mengatakan, untuk menilai apakah perppu konstitusional atau inkonstitusional, maka dapat digunakan dua tolok ukur, yaitu tolok ukur formil dan tolok ukur materiil. Ukuran formil perppu salah satunya menilai konteks lahirnya sebuah Perppu, apakah genting atau tidak.
"Tafsir 'kegentingan yang memaksa' sebagai syarat dapat ditetapkannya Perppu terpenuhi, maka hal tersebut dapat merujuk kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang di dalamnya telah membuat penafsiran yang mengikat perihal makna 'kegentingan yang memaksa' tersebut," ucap Bayu.
Bayu menilai, penafsiran kegentingan yang memaksa tersebut dalam kasus Perppu Perubahan UU Ormas telah terpenuhi, mengingat secara faktual saat ini terdapat organisasi masyarakat yang ideologi dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 meskipun telah melahirkan tuntutan secara luas untuk membubarkannya, namun dengan UU Ormas yang lama tidak dapat dibubarkan, karena UU lama hanya mengatur yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme (yang terlarang)," ucap pakar hukum Universitas Jember itu.Â
Â
Saksikan video di bawah ini: