Jokowi di Akhir Drama Aturan Penjegal Pelaku Rasuah

Larangan mantan narapidana kasus korupsi mencapai antiklimaks. Setelah polemik panjang, pemerintah meneken aturan itu.

oleh Lizsa EgehamYunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 05 Jul 2018, 00:03 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2018, 00:03 WIB
banner larangan eks koruptor jadi caleg
banner larangan eks koruptor jadi caleg (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Kabar itu sampai ke telinga wartawan Selasa (6 Juli 2018) malam. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengirim pesan di grup WhatsApp juru warta yang biasa bertugas di lembaga penyelenggara pemilu.

"PKPU Diundangkan," tulisnya singkat pada pukul 21.25 WIB. Wahyu juga mengirimkan file digital Berita Negara Republik Indonesia bernomor No.834,2018 tentang pengesahan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Dokumen itu mengakhiri tarik-menarik pemerintah dan KPU. Dalam PKPU itu termaktub larangan eks narapidana menjadi calon anggota legislatif, yang beberapa bulan terakhir menjadi polemik.

KPU mengirimkan PKPU ke Kementerian hukum dan HAM Senin (4 Juni 2018) lalu. Di hari yang sama, Menkumham Yasonna Laoly mengisyaratkan bakal menolak menekennya.

Alasannya, PKPU tersebut dianggap bertentangan dengan undang-undang. Hak politik mantan terpidana kasus rasuah dianggap dilanggar dengan aturan tersebut.

Yasonna mengaku dihadapkan pada dilema. Meski sepakat dengan substansi larangan eks narapida korupsi menjadi caleg.

Namun, mengundangkannya juga bisa diartikan persetujuan terhadap aturan yang menabrak undang-undang. Politikus PDIP ini khawatir hal semacam ini menjadi preseden.

Terlebih, melarang eks narapidana korupsi dianggap bukan kewenangan KPU. Mahkamah Konstitusi juga pernah membuat keputusan yang isinya memberi ruang eks terpidana kasus korupsi maju menjadi caleg.

"Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU itu saja," kata Yasonna kala itu.

Penolakan juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam beberapa kali kesempatan rapat dengar pendapat, KPU seolah dikeroyok. DPR, Kemendagri, Kemenkumham dan Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) berada di posisi menolak larangan eks narapidana korupsi masuk PKPU.

Sementara KPU memilih bergeming. Bahkan, lembaga pimpinan Arief Hidayat menegaskan akan tetap maju terus meski PKPU nantinya tak diundangkan Kemenkumham.

KPU benar-benar menetapkan larangan tersebut, Senin (2 Juli 2018) lalu. Presiden Jokowi angkat bicara. Ia menegaskan menghormati langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Presiden menghormati langkah KPU sebagai lembaga mandiri," kata Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Kementerian dan Lembaga, Adita Irawati, Senin (2 Juli 2018).

Meski secara pribadi Jokowi sempat mengutarakan bahwa menjadi caleg merupakan hak setiap orang, termasuk eks narapidana korupsi. Jokowi sempat sumbang usul agar KPU cukup memberi tanda 'mantan koruptor' bagi caleg semacam itu.

Arah Angin Berubah

Arah angin pun mendadak berubah. Sehari setelah pernyataan Jokowi, Kemenkumham melalui Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana mengundangkan PKPU itu.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari mengungkapkan kunci di balik persetujuan pemerintah terhadap larangan eks narapidana korupsi menjadi caleg.

"Programnya Presiden ini salah satunya bersih-bersih korupsi. Itu artinya ada titik temu apa yang dikerjakan KPU dengan programnya Presiden," ujar Hasyim, di Gedung KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (4/7/2018).

Menurut dia, sikap Presiden Jokowi sejak awal jelas menghormati keputusan KPU. Persetujuan itu, katanya, meliputi dua aspek.

Jokowi menghormati KPU sebagai lembaga mandiri yang independen. Di sisi lain, subtansi PKPU juga tak bertentangan dengan semangat Jokowi.

"Kalau membaca rilis humas resmi Istana kan sudah jelas yang Beliau ke Sulsel. Itu kan jelas sikapnya menghormati KPU," kata Hasyim.

Menurut Komisioner KPU Wahyu Setiawan ada perubahan PKPU yang disahkan Kemenkumham dengan draft awal KPU. Sebelumnya, aturan larangan eks narapidana korupsi terletak dalam pasal 7 tentang Persyaratan Bakal Calon, dalam bagian ketiga, Bab II mengenai Pengajuan Bakal Calon.

Setelah diundangkan, aturan tersebut tercantum dalam pasal 4, dalam ketentuan Umum, bagian pertama dalam Bab II mengenai Pengajuan Bakal Calon.

Konsekuensinya, partai politiklah yang harus memastikan bakal calon anggota legislatif bersih dari riwayat mantan terpidana korupsi. Begitu juga dengan larangan lainnya, yakni mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba.

"Tapi bila ada pelanggaran atas PKPU maka KPU juga punya kewenangan eksekusi sejak tahapan pendaftaran bakal calon, calon sementara, calon tetap, dan calon terpilih," ujar Komisioner KPU Wahyu Setiawan kepada wartawan, Selasa (3 Juli 2018).

Ia menegaskan, meskipun terdapat perubahan secara redaksional, namun substansinya tetap sama. Ketiga model mantan napi tersebut tak boleh mencalonkan diri.

"Substansinya sama. Mantan napi korupsi, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba tidak boleh nyaleg," ucapnya menegaskan.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan alasan institusinya mengundangkan PKPU yang melarang eks koruptor maju sebagai calon legislatif. Menurut dia, disahkannya PKPU itu untuk memastikan tahapan pemilu tak terganggu.

"Sebelumnya diametrikal dia bertentangan, tapi ini diserahkan kepada partai politik untuk tidak mencalonkan orang-orang yang mantan itu. Nah itu sudah diserahkan dan supaya jangan menganggu tahapan, ya sudah kita sahkan," kata Yasonna di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/7/2018).

Suara partai politik yang sebelumnya menolak atau belum mengambil sikap pun berubah setelah PKPU diundangkan.

Punya Instrumen

Tak cuma perangkat regulasi, Komisioner Komisi Pemilihan Umum KPU Hasyim Asyari mengatakan lembaganya juga punya instrumen untuk mendeteksi bakal calon anggota legislatif yang merupakan mantan terpidana korupsi.

Begitu juga dengan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba, yang dilarang menurut Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 untuk menjadi caleg.

"KPU punya sistem yang bisa mendeteksi di dalam daftar calon tuh, ada mantan napi koruptornya nggak. Silon ini sistem informasi pencalonan," ungkap Hasyim di Gedung KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (4/7/2018).

Menurut dia, jika nantinya terdeteksi ada bacaleg yang pernah terkena ketiga kasus tersebut, maka KPU akan langsung mengembalikan berkas yang telah mereka serahkan. Hasyim pun menegaskan, partai politik bisa mengganti bacalegnya yang bermasalah.

"Boleh (diajukan kembali) kalau calon yang itu tadi sudah diganti. Atau dicoret," ujar Hasyim menegaskan.

Bacaleg disebut telah terdaftar, kata dia, jika bacaleg itu sudah dinyatakan tak bermasalah.

"Kan mereka dateng nih kita periksa dulu. Itu sistemnya KPU sudah bisa kelap kelip (terdeteksi) itu kalau masuk kategori 3 tadi, 'mohon maaf ya bawa pulang dulu' itu artinya belum didaftar. Baru didaftar kalo apa? Kalau sudah bersih," imbuhnya.

 

Masih Bisa Berubah

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menjelaskan, Peraturan KPU (PKPU) yang melarang eks narapidana kasus korupsi menjadi caleg dapat diubah.

"Peraturan itu kan bukan sesuatu yang mati. Mau diubah, bisa. Tapi cara mengubahnya ada mekanismenya," ujar Arief di Gedung KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa 3 Juli 2018.

Dia menuturkan, terdapat dua cara mengubah aturan tersebut. Cara pertama yakni internal KPU sendiri.

"Wong KPU yang buat maka bisa juga mengubahnya," tutur Arief. Cara kedua, dengan pihak lain mengajukan uji materi atau judicial review.

Arief menyatakan, meski peraturan tersebut telah resmi diberlakukan, KPU tetap membuka ruang untuk berdiskusi dengan berbagai pihak.

Menurut dia, terdapat sejumlah situasi dan kondisi yang bisa membuat KPU mengubah peraturannya sendiri ketika tahapan pemilu sudah berjalan. Namun dia menegaskan, pasti ada alasan logis atau rasional sehingga PKPU tersebut harus diubah.

"Misal ada putusan MK. PKPU mengatakan A, MK memutus untuk hal yang sama, harus B. Maka KPU mengubah PKPU," sebut Arief.

"Kedua, dalam perjalanannya, KPU melihat 'wah nggak tepat harusnya pakai yang ini'. KPU melakukan rapat mengubah, boleh. Jadi ada kejadian, putusan hukum baru. Begitu," sambungnya.

Namun, Arief menyangkal lembaganya akan takluk dengan tekanan yang bersifat politik untuk mengubah PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu. Dia menegaskan, fakta logis atau rasionallah yang dapat mengubah peraturan tersebut.

"Enggak. KPU secara mandiri. Kalau direvisi bukan karena tekanan. Pasti karena ada fakta yang logis rasional yang membuat itu," Arief menegaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya